Bagaimana Proses Metode Rukyat dan Hisab Dalam Penentuan Awal Bulan Hijriah Dilakukan?

Pada hari Selasa (12/5) Kementerian Agama  resmi menetapkan bahwa Idul Fitri 1442 H jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021. […]

blank

Pada hari Selasa (12/5) Kementerian Agama  resmi menetapkan bahwa Idul Fitri 1442 H jatuh pada hari Kamis, 13 Mei 2021. Dengan demikian bulan Ramadhan tahun ini genap menjadi tiga puluh hari, dikarenakan posisi hilal (bulan baru) di seluruh titik pantuan di Indonesia masih belum terlihat dan ketinggianya di bawah ufuk barat. Ketetapan proses rukyatul hilal ini membuat seluruh masyarakat Indonesia akan menjumpai 1 Syawal 1442 secara serempak, karena proses hisab (perhitungan) seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah pun telah mendapatkan hasil penanggalan 1 Syawal 1442  bertepatan pada 13 Mei 2021 terlebih dahulu. Lantas yang menjadi pertanyaan banyak orang, bagaimana sih proses rukyatul hilal dilakukan? Apa perbedaanya antara proses rukyatul hilal dengan proses hisab, yang terkadang menyebabkan terjadi perbedaan penanggalan?

Mengenal Metode Rukyatul Hilal

Pada masa Nabi Muhammad  ﷺ  sebenarnya cara menentukan datangnya bulan baru itu sederhana, yaitu dengan melihat hilal (bulan baru, berbentuk sabit) pada waktu setelah maghrib. Sebagaimana  hadits “Berpuasalah kalian pada saat kalian telah melihatnya (bulan), dan berbukalah kalian juga di saat telah melihatnya (hilal bulan Syawal) Dan apabila tertutup mendung bagi kalian maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari” riwayat Bukhari dan Muslim. Karena dalam penaggalan kalender Hijriah perhitungan hari dimulai saat matahari tenggelam (waktu maghrib), maka cukup menanti matahari terbenam di hari ke-29 lalu amati langit apakah telah terlihat hilal atau tidak.

Untuk memastikan terlihatnya hilal khusus pada bulan Ramadhan, cukup diperlukan satu orang saksi, berbeda dengan bulan selain Ramadhan yang diperlukan dua orang saksi (pendapat yang dipilih Imam Syafi’i), maka sudah bisa dilaporkan kepada pihak terkait dan lantas dipastikan bahwa malam itu sudah masuk tanggal 1 bulan baru. Sebaliknya, jika saat itu hilal tidak terlihat, maka jumlah hari dalam bulan tersebut akan digenapkan menjadi 30 hari.  Penanggalan Hijriah didasarkan atas peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan). Setiap bulan diawali dengan kemunculan hilal yaitu bulan sabit muda pertama (first visible crescent) di ufuk barat langit saat waktu terbenamnya matahari dan juga diakhiri dengan dengan kemunculan hilal.

Secara astronomis, waktu revolusi bulan terhadap bumi adalah 29.531 hari, maka terdapat dua pilihan dalam menentukan penanggalan esok harinya, yaitu pilihannya antara 29 hari atau digenapkan 30 hari, bergantung kepada kondisi saat hilal akan dilihat (dirukyat). Mungkin timbul pertanyaan, mengapa waktu revolusi bulan bisa tidak genap dalam bilangan bulat?

Hal ini terjadi karena dari hari ke hari penampakan bulan akan berubah jika dilihat dari bumi. Letak perubahan yang mengakibatkan “wajah bulan” juga akan mengalami perubahan. Semakin menjauh dari matahari, maka cahaya bulan akan semakin luas. Perubahan inilah yang kemudian jadi tanda, bahwa bulan sabit adalah awal/akhir bulan (antara tanggal 29, 30, atau 1) dan bulan purnama adalah tepat di hari pertengahan bulan (tanggal 15).

Dari pembacaan fase wajah bulan itu kemudian lahirlah metode yang kemudian kita kenal sebagai metode “Rukyatul Hilal”. Rukyat secara etimologis berarti melihat, sedangkan Hilal adalah bulan sabit baru pertama yang teramati sesudah maghrib. Rukyatul Hilal berarti upaya untuk melihat secara langsung bulan sabit di kaki langit di waktu ghurub dengan mata, baik menggunakan alat bantu optik maupun dengan mata telanjang (Muhammad Hadi Bashori, Pengantar Ilmu Falak, hal. 193).

Namun patut diakui, melihat hilal adalah perkara yang tidak mudah, terlebih bila kondisi cuaca mendung. Hal ini disebabkan karena hanya sekitar 1.25%  bagian dari permukaan bulan saja yang terkena paparan sinar matahari menjelang matahari terbenam.

Apabila dilihat dari posisi  bumi di ufuk barat, posisi matahari, hilal, dan cakrawala (horison) akan membentuk sudut segitiga. Horison sebagai garis di sudut bawah, hilal sebagai titik di sudut atas, dan matahari sebagai titik sudut bawah. Jarak antara bulan dan horison disebut sebagai sudut azimut. Sedangkan sudut garis antara bulan ke matahari ini disebut sudut elongasi.

Untuk terlihat, hilal paling tidak harus berada di sudut azimut (sudut antara bulan & horison) bernilai  lebih 2˚ dari matahari. Sederhananya, bulan harus ada di atas matahari. Jika kurang dari itu maka posisi bulan dari bumi akan terlihat sejajar dengan matahari, dan itu akan membuat hilal ikut tenggelam saat langit mulai sedikit gelap dan membuat posisi menjadi ijtimak (posisi bumi, bulan, matahari sejajar) yang membuat hilal tidak terlihat. Oleh karenanya, Prof. Thomas Djamaluddin, Ketua LAPAN dan Guru Besar Astronomi ITB, menyatakan bahwa melakukan wujudul hilal mulai dilakukan ketika matahari terbenam sebelum bulan terbenam karena visibilitas tampaknya lebih tinggi.

Pada masa sekarang, tentunya pengelihatan hilal sudah dilakukan dengan teknologi yang canggih Teleskop dan binokuler (keker) adalah utama yang digunakan membantu pengamatan. Fungsi utama teleskop dalam pengamatan objek redup seperti hilal adalah memperbanyak cahaya yang dikumpulkan dan difokuskan ke mata. Sebagai perbandingan, pupil mata diameternya hanya sekitar 0,5 cm, sehingga cahaya yang ditangkap minim sekali. Dengan menggunakan teleskop dengan diameter lensa objektif atau cermin yang jauh lebih besar, maka cahaya yang diteruskan ke mata semakin banyak. Para pengamat LAPAN pun menggunakan juga teknologi kamera CCD (Charged-coupled Device) yang prosesnya cepat karena terbantu oleh berbagai program komputer pengolah citra dan kontrasnya dapat diperjelas. Untuk kasus di Indonesia, LAPAN bersama Tim Falakiyah dari Kemenag RI menetapkan kriteria imkan rukyat sebesar  (2˚- 3’- 8”), yaitu (1) tinggi bulan minimal 2 derajat, (2) jarak sudut elongasi 3 derajat, dan (3) umur bulan minimal 8 jam. 

Mengenal Metode Hisab

Hisab secara harfiah bermakna perhitungan. Istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi untuk penanggalan, dimana pada kasus paling lazim untuk penentuan waktu bulan Ramadhan.

 Perhitungan hisab yang dilakukan para ahli falak (astronomi) dipandang cukup dan punya akurasi yang presisi. Karena alasan ini, tidak sedikit ulama kontemporer yang menggunakan metode ini. Meskipun di sisi lain ada juga beberapa ulama yang menganggap bahwa penggunaan hisab secara murni (dalam kasus penentuan bulan Ramadan) juga dinilai sebagai bid’ah, bila tidak dibarengi dengan metode rukyatul hilal.

Sederhananya,  perbedaan ini terletak pada konsep Wujudul Hilal (keberadaan hilal) bagi golongan yang menggunakan metode hisab murni. Artinya, makna terkait dari “melihat hilal” dipahami sebagai melihat tidak harus dengan mata kepala tetapi juga bisa menggunakan ilmu. Dengan hisab, posisi hilal akan bisa diprediksi ada “disana” sekalipun wujudnya tidak terlihat.

Terdapat dua metode hisab yang digunakan, yaitu Hisab Taqribi (mengukur ketinggian bulan berdasarkan umur bulan) dan Hisab Hakiki (mengukur posisi bulan sesungguhnya) dalam terminologi ilmu falak. Karena bulan secara rata-rata bergerak ke Timur 12 ˚ perhari, maka tinggi bulan ditaksir setengah umur bulan (dari 12˚ / 24 jam x umur bulan). Jadi bila ijtimak terjadi pukul 13.00 dan maghrib pukul 18.00, maka umur bulan = 5 jam dan tinggi bulan ditaksir 5/2 = 2.5˚ derajat. Hasil hisab taqribi umumnya lebih tinggi dari hisab hakiki.

Dewasa ini, metode hisab telah banyak menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab sering kali digunakan sebelum rukyat dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah.

Kriteria Visibilitas Sebagai Dasar Penyatuan Kalender Islam

Dua metode ini adalah gambaran, bahwa dengan metode hisab, para ulama mencoba menggunakan pendekatan rasional. Melihat pola, membacanya, lalu menyusun prediksi-prediksinya. Semua dilakukan dalam rumus-rumus. Sedangkan metode rukyat, para ulama menggunakan metode teknis dengan pendekatan empirik secara real-time. Bagaimana pengalaman menyaksikan tanda-tanda alam adalah penentu sebuah hukum syariat berlaku.

Penyatuan kriteria menjadi prasyarat utama untuk menyatukan kalender Islam. Mewujudkan kalender Islam yang mapan adalah cita-cita utama penyatuan umat. Karena penentuan awal bulan qamariyah juga terkait dengan ibadah, khususnya dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, maka kalender Islam semestinya juga menjadi kalender ibadah. Terkait dengan kalender ibadah, pemilihan kriteria menjadi titik krusial yang harus disatukan. Dalam hal ini, kita juga harus menyadari bahwa pengamal rukyat dan pengamal hisab harus diwadahi setara. Bagi pengamal hisab, cukuplah awal bulan mengikuti hasil hisab yang tercantum di kalender. Sedangkan bagi pengamal rukyat, awal bulan harus dibuktikan dengan hasil rukyat yang di-itsbat-kan (ditetapkan) oleh pemerintah. Jadi, demi persatuan ummat dan penyatuan kalender Islam, kriteria yang harus digunakan adalah kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat). Dengan kriteria itu, hasil rukyat akan sama dengan hasil hisab yang tercantum di kalender.

Dalam mencari titik temu, tentu masing-masing pihak perlu terbuka untuk menerima konsep pihak lain, tanpa merasa menang atau kalah. Para pengamal hisab harus terbuka untuk menerima konsep rukyat sehingga kriteria yang disepakati harus berbasis visibilitas hilal atau imkan rukyat. Sementara para pengamal rukyat pun harus terbuka untuk menerima konsep hisab yang pasti sehingga ketika posisi bulan yang telah memenuhi kriteria namun gagal rukyat haruslah hisab diterima sebagai penentu masuknya awal bulan. Hal itu mendasarkan pada Fatwa MUI No. Kep/276/MUI/VII/1981 yang membolehkan penetapan awal bulan berdasarkan hisab saja bila bulan sudah imkan rukyat (mungkin dirukyat), walau hilal tidak terlihat.

Bila kita sudah bersepakat menggunakan kriteria yang sama, maka langkah berikutnya adalah merumuskan kriterianya. Pilihannya bisa menggunakan kriteria optimistik ala Odeh, Yallop, SAAO, atau Shaukat. Atau menggunakan kriteria optimalistik ala kriteria LAPAN 2010 atau kriteria lain yang disepakati.  Agar kalender yang disepakati menjadi kalender yang mapan, perlu juga disepakati otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender tersebut, yaitu otoritas defacto atau pemerintah. Juga perlu ditegaskan batas wilayah keberlakukannya, misalnya negara kesatuan Republik Indonesia atau misalkan ke tingkat regional meliputi wilayah Asia Tenggara.

Pada akhirnya, seperti yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun, pemerintah Indonesia menggabungkan dua metode ini secara bersamaan. Pendekatan rasional dengan hisab dan pendekatan empirik dengan rukyat ini harus terus dilakukan secara beriringan dengan menyepakati kriteria yang disepakati secara resmi oleh pemerintah NKRI dan dikeluarkan fatwa oleh Majelis Ulama Indonesia.

REFERENSI

[1] T. Djamaluddin. (2013). Peran Astronomi Dalam Penyatuan Penetapan Awal Bulan Qamariyah https://tdjamaluddin.wordpress.com/2013/08/05/peran-astronomi-dalam-penyatuan-penetapan-awal-bulan-qamariyah/

[2] Ahmad Khadafi. (2019). Memahami Rukyat dan Hisab untuk Menentukan 1 Ramadan https://tirto.id/memahami-rukyat-dan-hisab-untuk-menentukan-1-ramadan-coNg

[3] M. H. Bashori. (2015). Pengantar Ilmu Falak. Pustaka Al-Kautsar

[4] J. Arifin. (2019). Dialektika Hubungan Ilmu Falak dan Penentuan Awal Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah di Indonesia (Sinergi Antara Independensi Ilmuwan dan Otoritas Negara). Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Indonesia

[5] Cara Melakukan Pemantauan Hilal  https://www.youtube.com/watch?v=lU2UdNIfQo4&pbjreload=10 diakses 12 Mei 2021.

[6] Cukup Satu Saksi dalam Melihat Hilal Ramadhan  https://rumaysho.com/3457-cukup-satu-saksi-dalam-melihat-hilal-ramadhan.html diakses 12 Mei 2021.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *