Menguji Kelayakan Baterai Nuklir Untuk Ponsel

Baterai nuklir bukan ide baru. Ide ini sudah ada sejak tahun 1900-an, ketika muncul ketertarikan untuk menciptakan baterai dengan usia […]

Baterai nuklir bukan ide baru. Ide ini sudah ada sejak tahun 1900-an, ketika muncul ketertarikan untuk menciptakan baterai dengan usia pakai panjang. Baterai nuklir menggunakan prinsip peluruhan radioaktif (baik alfa, beta maupun gamma) untuk dikonversi menjadi energi listrik [1].

Hingga saat ini, jenis baterai nuklir yang paling sering digunakan adalah baterai nuklir tipe radioisotope thermoelectric generator (RTG) [1]. Perangkat ini digunakan untuk membangkitkan listrik untuk kebutuhan wahana luar angkasa. Wahana Curiosity yang dikirim ke Mars menggunakan RTG dengan bahan bakar plutonium-238 (Pu-238) [3].

Gambar 1. Wahana Curiosuity (sumber: NASA)

Selain RTG, baterai nuklir juga pernah digunakan untuk menjadi catu daya alat pacu jantung pada pertengahan 1950-an [2]. Namun, alat pacu jantung jenis ini sudah tidak digunakan lagi. Pada abad 21, beberapa perusahaan membuat baterai nuklir skala kecil untuk keperluan sensor dan perangkat elektronik yang membutuhkan daya rendah [2,4]. Di dalam negeri, BATAN juga mulai melakukan riset tentang baterai nuklir, memanfaatkan limbah radioaktif yang tersimpan di Pusat Teknologi Limbah Radioaktif (PTLR) [5].

Baca juga Bagaimana Pengelolaan Limbah Radioaktif PLTN?

Keunggulan khusus dari baterai nuklir adalah usia pakainya yang relatif panjang, bergantung pada jenis isotop yang digunakan. Namun, baterai nuklir memiliki densitas daya yang relatif rendah, walau densitas energinya tinggi [1,2]. Hal itu disebabkan efisiensi konversi radiasi-elektrik baterai nuklir relatif rendah.

Lalu, bagaimana seandainya baterai nuklir digunakan di ponsel? Misalnya menggunakan material strontium-90 (Sr-90). Mengapa Sr-90? Karena kelimpahannya di bahan bakar bekas PLTN maupun reaktor riset cukup besar. Tidak seperti Pu-238 yang lebih langka dan sulit didapatkan.

Isotop Sr-90 merupakan pemancar radiasi beta. Artinya, sistem konversi dayanya menggunakan prinsip betavoltaic, Pancaran radiasi beta (elektron) dari Sr-90 dikonversi menggunakan material semikonduktor menjadi arus listrik [2].

Baca juga Menguak Mitos Bahaya Limbah Radioaktif

Karena radiasinya beta, Sr-90 tidak membutuhkan perisai radiasi tebal. Cukup menggunakan lembar aluminium tipis. Sehingga, proteksi radiasinya tidak terlalu repot. Kecuali jika ternyata emisi radiasi gamma sekunder dari efek Bremmstrahlung terlalu besar. Namun, hal itu diabaikan untuk saat ini.

Yang jadi soal adalah bagaimana efisiensinya.

Sr-90 memiliki umur paruh 28,2 tahun dan memancarkan radiasi beta dengan energi 546 keV [6] Selama 28,2 tahun tersebut, tiap mol Sr-90 akan memancarkan elektron sebanyak Avogadro/2, berarti 3,01E+23 elektron. Per tahunnya, dipancarkan 1,045E+22 elektron, dan per detiknya 3,314E+14 elektron.

Realitanya, peluruhan radioaktif itu bersifat eksponensial, tidak linier. Tapi sementara disimplifikasi saja dulu. Dari sana, didapatkan arusnya sebesar (3,314E+14/6,25E+18)*1000 = 0,05 mA.

Perangkat betavoltaic memiliki efisiensi konversi antara 4-8% [7]. Anggap saja bisa 6%. Maka, didapatkan daya baterai Sr-90 per mol adalah (546*0,05*6%) = 1,74 Watt/mol.

Kebutuhan daya puncak untuk ponsel zaman sekarang berbeda-beda. Sebagai contoh adalah Andromax B SE, yang berdasarkan sebuah tinjauan, mampu bertahan selama empat jam dengan penggunaan aktif [8]. Dengan kapasitas baterai 1950 mAh dan tegangan baterai 3,8 V, maka berarti konsumsi daya rerata ponsel tersebut adalah 1,8525 W.

Sebagai margin, daya maksimum baterai nuklir harus dinaikkan setidaknya menjadi 2 W. Maka, kebutuhan baterainya naik menjadi (2/1,8525)*1 = 1,08 mol Sr-90.

Baca juga Apa Benar Listrik Dari Nuklir Mahal? Tanggapan Untuk Arcandra Tahar

Masalahnya? Satu mol Sr-90 itu massanya 90 gram. Sementara, harga 1 gram Sr-90 itu sekitar USD 14 [9] atau sekitar Rp 189 ribu. Maka, 1,08 mol Sr-90 harganya USD 1.360 atau Rp 18,4 juta.

Itu belum mempertimbangkan berapa lama ketahanan material betavoltaic-nya plus berapa ketebalan perangkat baterainya. Patut diingat juga, pada tahun ke 28,2, daya baterai sudah turun jadi setengahnya, alias tinggal 1 Watt.

Seandainya daya baterai hanya diizinkan sampai batas tertentu, katakanlah 1,5 Watt, sehingga tidak mengompensasi performa terlalu jauh, maka baterai hanya boleh beroperasi hingga tinggal (1,5/2) = 75% kapasitas pembangkitan listrik aslinya, kemudian harus diganti.

Seberapa lama sebelum baterai mencapai 75% performa aslinya?

Persamaan dasar peluruhan radioaktif adalah sebagai berikut [10].

Untuk mendapat t (waktu), maka persamaan diubah menjadi sebagai berikut.

Karena λ = ln 2/umur paruh, maka t = 11,7 tahun.

Supaya performa ponsel tidak terganggu, baterai Sr-90 hanya bisa digunakan selama 11,7 tahun. Setelah itu mesti diganti baterai baru agar ponsel masih bisa digunakan dengan optimal.

Tapi itu seandainya pengguna memang memakai ponselnya sampai menyedot daya maksimum terus menerus. Jika ponsel yang dipakai punya kebutuhan daya puncak lebih rendah, katakanlah hanya 1 Watt, maka usia pakai baterainya bisa lebih lama. Tapi yang kebutuhan daya maksimum 1 Watt itu paling ponsel-ponsel lama, bukan ponsel pintar zaman sekarang.

Tetap saja… Siapa, sih, yang mau membeli baterai yang harganya Rp 18 juta hanya untuk ponsel saja? Dengan pemakaian optimal hanya 11 tahun pula?

Kecuali ada konverter betavoltaic yang memiliki efisiensi lebih dari 50% dan atau harga Sr-90 bisa direduksi jadi USD 1/gram, sepertinya baterai lithium masih belum perlu diganti dengan baterai nuklir. Namun, jika untuk dipakai pada perangkat-perangkat elektronik berdaya rendah di daerah-daerah terpencil, seperti sensor dan detektor, baterai nuklir jelas opsi menarik.

Referensi

  1. Mark Prelas dkk. 2014. A review of nuclear batteries. Progress in Nuclear Energy 75: 117-148.
  2. Suhas Kumar. 2015. Atomic Batteries: Energy from Radioactivity. (https://arxiv.org/pdf/1511.07427). Diakses pada 25 April 2018.
  3. Curiosity (rover). (https://en.wikipedia.org/wiki/Curiosity_(rover)). Diakses pada 26 April 2018.
  4. Eric S. Brown. The Atomic Battery. (https://www.technologyreview.com/s/404293/the-atomic-battery/). Diakses pada 25 April 2018.
  5. Batan Kaji Limbah Radioaktif Jadi Baterai Nuklir. (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/04/19/p7fvi2284-batan-kaji-limbah-radioaktif-jadi-baterai-nuklir). Diakses pada 25 April 2018.
  6. Nuclear Safety Data Sheet Strontium-90. (http://hpschapters.org/northcarolina/NSDS/90SrPDF.pdf). Diakses pada 25 April 2018.
  7. Betavoltaic device. (https://en.wikipedia.org/wiki/Betavoltaic_device). Diakses pada 25 April 2018.
  8. Smartfren Andomax B, Cukup Menarik Di Kelasnya. (http://teknologi.metrotvnews.com/review/VNxQV7xb-smartfren-andromax-b-cukup-menarik-di-kelasnya). Diakses 26 April 2018.
  9. W.E. Sande dan R.L. Aalberg. 1978. Economic Feasibility of Strontium-90 Fueled Heaters for Use in Cold Regions. Washington: Pacific Northwest Laboratories.
  10. 2013. Diktat Proteksi Radiasi. Yogyakarta: Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada.

1 thought on “Menguji Kelayakan Baterai Nuklir Untuk Ponsel”

  1. Janganlah.. Krn hp tll familiar dg mns. Resiko krn human error, tinggi. Kecuali utk perangkat yg disetujui oleh bdn internasional, diizinkan menggunakan baterai spt itu..

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top