Dongeng Gempa dan Bencana Nuklir

Jika ada satu kondisi geologis Indonesia yang membuat masyarakat sedikit paranoid terhadap energi nuklir, maka kondisi tersebut adalah kerawanan terhadap gempa bumi.

blank

Jika ada satu kondisi geologis Indonesia yang membuat masyarakat sedikit paranoid terhadap energi nuklir, maka kondisi tersebut adalah kerawanan terhadap gempa bumi.

Isu risiko gempa bumi yang dikaitkan dengan keselamatan reaktor nuklir bukan berita baru. Terakhir Menko Marves, Luhut B. Panjaitan, mengkhawatirkan aspek gempa bumi ketika Indonesia ingin mengembangkan energi nuklir, mempertanyakan kesiapan terkait risiko tersebut [1]. Namun, tentu saja, tidak dijelaskan kaitannya antara gempa bumi dan keselamatan PLTN. Luhut malah mengaitkannya dengan Fukushima Daiichi di Jepang, walau realitanya kecelakaan tersebut disebabkan oleh tsunami, bukan oleh gempa [2].

Kerawanan Indonesia akan bencana alam disebabkan oleh lokasi geografis Indonesia yang terletak di Cincin Api Pasifik. Sejumlah 127 gunung berapi aktif tersebar mulai dari ujung Pulau Sumatera hingga Kepulauan Maluku dan Sulawesi Utara [3]. Selain itu, Indonesia juga merupakan pertemuan dari tiga lempeng tektonik, yakni lempeng India-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Imbasnya, Indonesia menjadi rawan gempa [4].

Kerawanan gempa ini sering dikutip menjadi alasan untuk menghambat hingga menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Mereka khawatir, bahwa jika terjadi gempa, maka akan terjadi kecelakaan nuklir yang mengerikan. Walau demikian, pihak yang sama tidak pernah menjelaskan kecelakaan nuklir semacam apa yang mungkin terjadi dengan terjadinya gempa yang menghantam PLTN. Tidak heran, karena propaganda ini dalam mayoritas kasus memang hanya dongeng belaka. Dongeng yang diulang-ulang seolah-olah adalah sesuatu yang nyata. Lantas, bagaimana hubungan antara gempa dan PLTN? Apakah pembangunan PLTN tidak pernah memerhatikan aspek kegempaan?

Baca juga: Chernobyl Membuktikan Bahwa Nuklir Itu Selamat!

Dalam kajian tapak PLTN, yang tercakup di dalam proses pembuatan Laporan Analisis Keselamatan (LAK) PLTN, aspek kegempaan pasti dimasukkan, mengingat hal ini diatur dalam regulasi, yakni Perka Bapeten No. 8 Tahun 2013 tentang Evaluasi Tapak Instalasi Nuklir Untuk Aspek Kegempaan [5]. Secara umum, kriteria penerimaan tapak reaktor daya berdasarkan Perka Bapeten tersebut dapat diringkas menjadi dua:

  1. Tidak ada patahan aktif pada jarak 5 km dari tapak reaktor daya;
  2. Percepatan tanah maksimum (peak ground acceleration/PGA) dengan periode siklus 10.000 tahun kurang dari 0,6 g.

Lebih detail bisa dibaca pada Perka Bapeten tersebut. Namun, pada dasarnya, dari sini jelas bahwa aspek kegempaan sudah diatur secara regulasi. Mengingat regulasi tersebut, bukan tanpa alasan kenapa Pulau Kalimantan menjadi calon lokasi tapak paling sering diajukan, mengingat Kalimantan secara umum memenuhi kedua kriteria penerimaan di atas. Di Pulau Jawa, calon lokasi tapak yang memenuhi kriteria adalah di Semenanjung Muria.

Aspek kegempaan ini tertuang secara detail dalam dokumen LAK, sehingga jika ada suatu tapak yang dianggap layak dibangun PLTN, maka secara umum lokasi tersebut memang minim risiko kebencanaan semacam gempa bumi. Dengan kata lain, pemilihan tapak PLTN sejak awal menganut prinsip pencegahan.

Dengan demikian, jika suatu tapak dinyatakan layak untuk dibangun PLTN, maka lokasi tapak PLTN tersebut pada dasanya sudah relatif selamat dari gangguan kegempaan. Sehingga, risiko kecelakaan akibat kegempaan relatif bisa dihindari.

Pertanyaan berikutnya, jika wilayahnya agak-agak rawan gempa, apakah kemudian jadi tidak bisa dibangun PLTN?

Baca juga: Mamuju Membuktikan Bahwa Radiasi Dosis Rendah Itu Tidak Membahayakan

Kalau mau bicara realita, maka Jepang juga rawan gempa, mengingat geografinya merupakan pertemuan dari empat lempeng tektonik alih-alih tiga. Jepang dilanda setidaknya 1500 gempa tiap tahun, walau mayoritas bukan gempa yang cukup membahayakan. Profil bencana gempa dan tsunami Jepang dan Indonesia pun memiliki irisan. Gempa skala besar di Jepang dan Indonesia pada periode 1900-2012 masing-masing terjadi sejumlah 221 dan 246 kali [6]. Namun, Jepang tetap menggunakan energi nuklir. Bagaimana bisa?

Karena masalah ketahanan terhadap gempa adalah masalah struktur bangunan. Pasca gempa Kobe tahun 1995, Jepang merevolusi perancangan struktur bangunan, dengan menerapkan sistem isolasi seismik dari kuil-kuil tradisional Jepang. Imbasnya, bangunan di Jepang jadi lebih tahan gempa.

Saat ini, sekitar 20% PLTN beroperasi di daerah rawan gempa, termasuk utamanya di Jepang. Pada tapak-tapak rawan gempa ini, desain seismik PLTN diatur lebih tinggi daripada normal. Jika normalnya PLTN didesain dengan PGA antara 0,2-0,3 g, maka di Jepang bisa mencapai 0,5-1 g. PLTN Kashiwazaki-Kariwa, sebagai contoh, memiliki desain seismik hingga 1,02 g [7].

PLTN Fukushima Daiichi memiliki desain seismik hingga 0,61 g. Ketika terjadi gempa Tohoku dengan skala 9.0M, desain seismik ini terlewati pada unit 2, 3, dan 5 kira-kira 20% [7]. Namun, tidak ada kerusakan parah akibat gempa. Bangunan PLTN tetap sukses bertahan dari gempa dan reaktornya padam dengan selamat. Sebaliknya, kecelakaan justru diinisiasi oleh tsunami yang mematikan sistem pendinginan pasca padam [8].

Walau sering disebut-sebut, faktanya gempa bukanlah penyebab kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi.

blank
Gambar 1. PLTN Fukushima Daiichi

Pertanyaan berikutnya, apa hubungan antara gempa dan bencana nuklir? Tanpa hubungan sebab-akibat yang jelas, korelasi keduanya hanya akan menjadi dongeng belaka.

Baca juga: Seberapa Besar Paparan Radiasi dari Reaktor Daya Eksperimental?

Jika percepatan tanah ketika gempa melebihi desain seismik reaktor, tentu saja bangunan reaktor bisa rusak. Tetapi apakah kerusakan itu berpengaruh terhadap reaktor nuklir? Apakah terjadi patahan atau kerusakan struktur yang menyebabkan teras reaktor hancur dan bahan bakarnya jadi rusak? Lalu entah bagaimana bahan radioaktif ‘bocor’ ke lingkungan?

Hal tersebut memang mungkin terjadi. Khususnya jika PLTN tersebut dibangun di atas patahan aktif yang bisa menghancurkan struktur bangunan, menyebabkan kerusakan pada sistem pendingin primer maupun sekunder, sehingga terjadi inisiasi kejadian kecelakaan parah [9]. Hanya saja, peluang terjadinya sangat rendah karena sudah ada pencegahan dari segi lokasi tapak (dijauhkan dari patahan) dan sistem pertahanan berlapis dalam PLTN, sehingga satu butuh terjadi kerusakan berlapis dalam keseluruhan sistem keselamatan agar kecelakaan parah dapat terjadi.

Sekalipun terjadi kecelakaan parah dan terjadi lepasan radioaktif, jumlahnya tidak akan sebesar kecelakaan Chernobyl, yang mana dampak kontaminasi radiasi di sekitar kawasan PLTN tidak menunjukkan dampak negatif terhadap flora dan fauna di sana, bahkan justru membuat populasi serigala menjadi tahan terhadap paparan radiasi [10,11].

PLTN Onagawa dapat menjadi kisah menarik. PLTN tersebut berada paling dekat dengan episentrum gempa Tohoku. Walau demikian, PLTN Onagawa dapat menahan guncangan gempa tanpa kerusakan signifikan. Reaktor nuklir dapat padam dengan selamat, dan menjadi tempat pengungsian bagi warga yang terkena dampak gempa [12]. PLTN Onagawa memiliki desain basis seismik sama dengan Kashiwazaki-Kariwa [7], dan nilai beban percepatan tanah maksimum yang diterima kurang dari setengahnya.

Memperkuat desain seismik adalah langkah logis dan cocok untuk menanggulangi potensi bencana kegempaan di sebuah tapak PLTN.

Dari sini, sebenarnya bisa dipahami bahwa, sekalipun risiko kegempaan terhadap PLTN memang ada, bagaimana hal tersebut dinarasikan tidak lebih dari dongeng pengantar tidur. Pasalnya, pemilihan tapak sejak awal sudah mempertimbangkan masalah kegempaan, sehingga pemilihan tapak dicari yang tidak banyak mengalami gempa atau punya kekuatan maksimum di bawah standar regulasi. Jikalau pun dibangun di tempat yang agak lebih rawan gempa, maka mengubah desain seismik agar bangunan lebih tahan gempa sudah terbukti sukses diterapkan di Jepang.

Kekhawatiran terhadap keselamatan PLTN adalah wajar. Yang tidak wajar adalah membawa-bawa narasi tertentu yang tidak jelas benang merahnya untuk menakut-nakuti publik.  Narasi seperti itu tidak ada bedanya dengan dongeng Poseidon yang mampu menyebabkan bencana di lautan. Walau terdengar menakutkan, tapi tidak lebih dari imajinasi belaka.

Referensi:

  1. https://www.cnbcindonesia.com/news/20240126172537-4-509391/ri-mau-kembangkan-nuklir-luhut-saya-khawatir-gempa-bumi
  2. https://world-nuclear.org/information-library/safety-and-security/safety-of-plants/fukushima-daiichi-accident.aspx
  3. https://magma.esdm.go.id/v1/edukasi/tipe-gunung-api-di-indonesia-a-b-dan-c
  4. Sean J. Hutchings, Walter D. Mooney, 2021. The Seismicity of Indonesia and Tectonic Implications. Geochemistry, Geophysics, Geosystems, vol. 22, no. 9, e2021GC009812. https://doi.org/10.1029/2021GC009812
  5. Perka Bapeten No. 8 Tahun 2013.
  6. Novia Budi Parwanto, Tatsuo Oyama. 2014. A statistical analysis and comparison of historical earthquake and tsunami disasters in Japan and Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, Vol. 7, pp. 122-141. https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2013.10.003
  7. https://world-nuclear.org/information-library/safety-and-security/safety-of-plants/nuclear-power-plants-and-earthquakes.aspx
  8. https://world-nuclear.org/information-library/safety-and-security/safety-of-plants/fukushima-daiichi-accident.aspx
  9. Aybars Gürpinar, Leonello Serva, Franz Livio, Paul C. Rizzo, 2017. Earthquake-induced crustal deformation and consequences for fault displacement hazard analysis of nuclear power plants. Nuclear Engineering and Design, vol. 311, pp. 69-85. https://doi.org/10.1016/j.nucengdes.2016.11.007
  10. G. Deryabina et al. 2015. Long-term census data reveal abundant wildlife populations at Chernobyl. Current Biology, vol. 25, pp. 824-826.
  11. https://www.ans.org/news/article-5761/cancerresistant-genes-in-wolf-population-at-chernobyl/
  12. Michaela Ibrion a, Nicola Paltrinieri a, Amir R. Nejad, 2020. Learning from non-failure of Onagawa nuclear power station: an accident investigation over its life cycle. Results in Engineering, vol. 8, 100185.  https://doi.org/10.1016/j.rineng.2020.100185  

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *