Ditulis oleh Ratu Balqis Salsabila
Genetic modified organism (GMO) atau produk rekayasa genetika (PRG) tidak pernah berhenti memunculkan kontroversi sejak dikomersialkan pertama kali pada tahun 1996 (Amirhusin 2011). Selalu saja ada pihak yang pro dan kontra. Bagi yang pro, GMO dianggap memiliki potensi tak terbatas dalam rekayasa genetika yang bermanfaat (Hardinsyah 2000). Di sisi lain, pihak yang kontra beralasan penggunaan GMO atau tanaman transgenik belum dievaluasi secara mendetail untuk keamanan konsumsinya bagi manusia karena masih berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan (Maskar et al. 2015).
GMO memang banyak mengalami penolakan di berbagai negara. Eropa misalnya, menolak produk GMO yang ditunjukkan dengan advokasi European network of non-governmental non-profit organisations pada 2010 agar eropa bebas dari GMO (http://genet-info.org). Penolakan juga terjadi di Indonesia pada tahun 2001 di Sulawesi Selatan oleh berbagai LSM lingkungan ketika Indonesia mengujicobakan penanaman kapas transgenik, hingga penanamannya berhenti pada tahun 2003 (http://beritabumi.or.id).
Bagaimanapun persepsi masyarakat, GMO sendiri sebenarnya hanya organisme biasa yang diperoleh melalui rangkayan manipulasi komponen genetik berupa DNA genom atu gen yang memiliki sifat lebih unggul dibandingkan dengan sifat organisme asalnya (Lotter 2008; Marinho et al. 2012). Pengembangan GMO bertujuan mengatasi berbagai masalah kekurangan pangan yang dihadapi penduduk dunia yang tidak mampu dipecahkan secara konvensional karena pertumbuhan penduduk yang begitu cepat (Amin et al. 2010). Di bawah ini merupakan grafik pertambahan jumlah penduduk selama 12000 tahun terakhir.
Grafik diatas menampilkan jumlah penduduk dunia yang meningkat secara eksponensial. Populasi manusia saat ini sekitar 1860 kali populasi 12 milenium lalu yang hanya berjumlah 4 juta penduduk. Demografi historis memerkirakan bahwa sekitar tahun 1800 populasi dunia hanyalah sekitar 1 juta, yang berarti rataan kecepatan pertumbuhan penduduk sangat pelan sejak 10000 SM hingga 1700 an dan setelah tahun 1800 berubah secara drastis hingga kini meningkat tujuh kali lipatnya (https://ourworldindata.org/world-population-growth).
Domestikasi tumbuhan dimulai 10000 tahun yang lalu (sekitar 8000 SM). Sejak itu populasi manusia bertambah sekitar 0.04% setiap tahun hingga tahun 1700 (https://ourworldindata.org/world-population-growth).
Selama tahun 1700-an petani dan saintis memulai persilangan tanaman dan mencapai tahap yang lebih tepat dan terkontrol pada 1980-an. Produk rekayasa genetika pertama diproduksi pada 1982 berupa tembakau yang resisten terhadap antibiotik (Shetty et al. 2018). Selanjutnya pada 1983 tanaman transgenik bunga matahari disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia dan sejak itu pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial terus dilakukan oleh manusia. Tanaman transgenik pertama yang berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai. Contoh produk rekayasa genetika lainnya yang berkembang di dunia ialah padi, jagung, kapas, kentang, dan tomat (Sateesh 2008).
Produk hasil rekayasa genetika (GMO) memiliki karakteristik yang lebih unggul dibandingkan dengan yang bukan (non GMO). Padi misalnya, dimodifikasi mengandung provitamin A dalam jumlah tinggi, jagung, kapas, dan kentang lebih resisten terhadap hama, tembakau lebih tahan terhadap cuaca dingin, serta tomat memiliki proses pelunakan yang lamban sehingga dapat disimpan lebih lama (Sateesh 2008).
Tanaman pangan hasil rekayasa genetika juga memiliki produktifitas lebih tinggi yakni dengan daging buah yang lebih tebal, mutu yang lebih baik, serta nutrisi yang lebih seimbang (Merdiana 2002 dalam Susiyanti 2003). Selain itu, jumlah rendemen juga bertambah hingga 22 persen serta meningkatkan keuntungan petani hingga 68% (Klumper dan Qaim 2014).
GMO terutama yang tahan hama dan toleran herbisida diisukan dapat menurunkan kualitas lingkungan seperti terbunuhnya musuh alami dan serangga yang menguntungkan. Nyatanya, hasil penelitian di Brasil yang merupakan negara mega biodiversitas menunjukkan bahwa GMO sejak 1998 tidak menurunkan biodiversitas melalui pembukaan lahan baru (deforestasi) guna meningkatkan produksi pertanian hingga 207%. Hasil ini bahkan diperoleh dengan hanya membuka lahan baru sebanyak 57% dari kebutuhan sebenarnya (Brondani 2018).
GMO memang memiliki berbagai potensi yang mampu meningkatkan kesejahteraan di bidang pangan seperti mengatasi masalah kelaparan, pengembangan tanaman di lahan marjinal, pengembangan tanaman yang tahan kekeringan serta toleran garam, mengurangi pestisida dan herbisida, pengembangan tanaman tahan hama, meningkatkan kualitas nutrisi, serta dapat didesain sebagai makanan yang memenuhi target nutrisi yang spesifik, serta potensi manfaat lainnya (Shetty et al. 2018)
Komoditas GMO yang telah mendapat sertifikat keamanan pangan, pakan, atau lingkungan di Indonesia sejak tahun 2011 ialah jagung, kedelai, tebu, kentang, dan jasad renik (pakan ternak) (Sateesh 2008).
|
|
Sumber:https://starfarm.co.id/inilah-tips-budidaya-tanaman-jagung-agar-panen-melimpah/ |
Sumber:https://id.lovepik.com/image-501120851/soybean.html |
|
|
Sumber:https://www.kibrispdr.org/data/gambar-bunga-tebu-hitam-14.jpg |
Sumber:https://cdn2.tstatic.net/jakarta/foto/bank/images/kentang_20180408_115947.jpg |
Di sisi lain, GMO juga memiliki beberapa potensi negatif seperti dapat menimbulkan reaksi alergi, tidak 100% ramah lingkungan, rasa makanan yang berbeda, tidak sepenuhnya aman dimakan, polinasi silang, penyakit baru, polusi gen, dan potensi berbahaya lainnya (Sparrow 2010).
Di Indonesia kekhawatiran munculnya dampak negatif dari GMO sangat beralasan karena negara ini telah mengimpor berbagai bahan pangan yang diduga berasal dari teknik rekayasa genetika. Hal ini namun tidak disertai dengan deteksi dampak negatif dari penggunaan GMO (belum pernah dilaporkan). Tidak hanya itu, komoditas yang diimpor bahkan tidak dideteksi apakah mengandung GMO (Mahrus 2014).
Perspektif masyarakat terhadap GMO pernah dicoba ditanyakan terhadap 140 mahasiswa di Program Studi Pendidikan Biologi UIN Jakarta melalui penelitian Herlanti (2014). Hasilnya ialah 88 orang menyatakan tidak setuju terhadap penanaman dan konsumsi GMO, 52 orang tidak setuju, serta sisanya tidak jelas. Setiap argumen tersebut dilandasi oleh alasan yang beragam, baik dan segi keamanan, kualitas, karamahan terhadap lingkungan, jaminan, halal, serta kemandirian pangan. Namun bagaimanapun, baik bagi kalangan masyarakat (termasuk pelajar), petani hingga pemerintah semua perlu diberikan edukasi mengenai GMO. Berbagai lapisan masyarakat perlu mengetahui apa saja potensi baik dan buruk yang dimiliki GMO sehingga semua dapat mengambil manfaat serta mencegah keburukannya. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak menjadi parno, petani dapat meningkatkan produktivitasnya, serta pemerintah dapat mengambil keputusan yang bisajaksana serta membuat regulasi yang sesuai demi menjamin keamanan dan kesejahteraan bagi semua orang.
DAFTAR PUSTAKA
http://beritabumi.or.id
http://genet-info.org
https://ourworldindata.org/world-population-growth
Amin L, Azlan AA, Gausmian MH, Ahmad J, Samian AL, Haron MS, Sidek NM. 2010. Ethical perception of modern biotechnology with special focus on genetically modified food among Muslims in Malaysia. AsPac J. Mo.
Amirhusin B. 2011. Agricultural Biotechnology R&D and its application in Indonesia. Tech Monitor.
Brondani, A. (2018). Using biotechnology to address envronment sustainability and biodiversity in Brazil. A Presentation at APEC High Level Policy Dialogue on Agriculture Biotechnology, Piura, Peru, September 19-20, 2016.
Hardinsyah. 2000. Potensi Kekuatan dan Kelemahan Produk Pangan Hasil Rekayasa Genetika. Makalah pada Seminar Pangan Rekayasa Genetika. Kolaborasi, Bogor.
Herlanti Y. 2014. Analisis argumentasi mahasiswa pendidikan biologi pada isu sosiosainfik konsumsi genetically modified organism (GMO). Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. 3(1): 51-59.
Klumper W, Qaim M. 2014. A meta-analysis of the impacts of genetically mdified crops. Plos One. 9(11).
Lotter, D. 2008. The Genetic Engineering of Food and the Failure of Science – Part 1: The Development of a Flawed Enterprise. Int. Jrnl. of Soc. of Agr. & Food, 16(1): 31–49.
Mahrus. 2014. Kontroversi produk rekayasa genetika yang dikonsumsi masyarakat. Jurnal Biologi Tropis. 2(14): 108-120.
Marinho, C.D., F.J.O. Martins, A.T. Amaral Júnior, L.S.A. Gonçalves, S.C.S. Amaral, dan M. P. de Mello. 2012. Use of transgenic seeds in Brazilian agriculture and concentration of agricultural production to large agribusinesses. Genet. Mol. Res., 11 (3): 1861-1880.
Maskar DH, Hardinsyah, Damayanthi E, Astawan M, Wresdiyati T. 2015. Evaluasi kesepadanan mutu gizi tempe kedelai pangan rekayasa genetik (PRG) dan non-PRG serta dampak konsumsi pada tikus percobaan. J. Gizi Pangan. 10(3):207–216.
Sateesh MK. 2008. Bioethics and Biosafety. I K International Pvt Ltd. ISBN 978-81- 906757-0-3. Page.456.
Shetty MJ, Chandan K, Krishna HC, Aparna GS. 2018. Genetically modified crops: An overview. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. 7(1): 1405-2410.
Sparrow PAC. 2010. GM risk assessment. Molecular biotechnology. 44(3):267-275.
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.