Menyadari Miskonsepsi Umum dan Melawan Hoaks Teori Evolusi

Ditulis oleh Muhamad Daffa Fawwaz Fir Jatullah. “Manusia itu Gak Mungkin Berasal dari Monyet!” Saya yang seorang mantan pelajar (karena […]

Ditulis oleh Muhamad Daffa Fawwaz Fir Jatullah.

“Manusia itu Gak Mungkin Berasal dari Monyet!”

Saya yang seorang mantan pelajar (karena baru lulus SMA dan belum diterima di perguruan tinggi manapun, hehe) sering dengar “ocehan” demikian, terlebih dari teman-teman saya yang berpendapat bahwa manusia enggak mungkin ada dari seekor monyet, melainkan “muncul secara magis” menjadi Nabi Adam A.S., hal tersebut jadi acuan mereka terhadap penolakan adanya teori evolusi, sangat disayangkan ketika guru pun ada saja membawa Harun Yahya sebagai acuan dari pembelajaran evolusi.

Penolakan terhadap evolusi jadi bukti bahwa pendidikan dan pemikiran ilmiah belum merata, bahkan memprihatinkan. Mengangkat tema memerangi hoaks, artinya kita tentu akan melihatnya secara dominan dari sisi sosial daripada sains.

Kenapa Teori Evolusi Cenderung Ditolak?

Dalam kasus ini, ada beberapa poin yang jadi hipotesisku tentang pertanyaan ini, bias kognitif, gengsi, dan miskonsepsi.

Definisi bias kognitif berdasarkan University of Wisconsin – Green Bay Libraries adalah kecenderungan atau prasangka mengenai suatu informasi yang diterima atau ditolak. Dalam hal ini terdapat beberapa jenis bias yang dalam kasus ini yang utamanya adalah Framing Cognitive Bias, Anchoring Bias, dan Herd Mentality.

Framing Cognitive Bias terjadi ketika keputusan seseorang diambil berdasarkan yang ingin mereka terima, bukan pada fakta sebenarnya. jika faktanya bertentangan dengan informasi tersebut, mereka menganggap fakta tersebut sebagai kekeliruan. Mirip dengan sebelumnya, Anchoring Bias terjadi ketika seseorang menjadikan informasi yang diterima lebih dulu sebagai reference point atau titik acuan informasi valid/tidaknya informasi tersebut tanpa memperhatikan fakta. Sedangkan Herd Mentality terjadi ketika seseorang membuat keputusan berdasarkan “Herd” atau masyarakat umum, mirip dengan sesat pikir Argumentum Ad Populum.

Ketiga jenis bias kognitif ini membentuk sebuah penolakan teori evolusi karena yang kita dapatkan lebih dulu adalah dogma-dogma dan tafsiran lama serta ditambah masyarakat yang menentang demikian, yang kemudian diikuti masyarakat lainnya. Kepercayaan dijadikan penolakan fakta ilmiah bertolak belakang esensi agama yang mana adalah petunjuk tentang hal ghaib dan bilamana membahas tentang hal fisik (dapat diindrakan) maka bergantung pada tafsirnya.

Dikutip dari Ustadz Felix Siauw dalam wawancaranya dengan Fadli Zon,

“Seharusnya Sains selalu cocok dengan Islam, kalau pun kita enggak bisa membuktikan bahwa dia cocok, maka kesalahan adalah milik kita”

Dalam hal ini beliau menjelaskan tentang kesalahan tafsir pada saat muslim zaman dahulu percaya bahwa bumi itu datar, yang kemudian ditafsirkan ulang di zaman modern bahwa bumi itu bulat, yang mana mengakui bahwa kesalahan tafsir jadi poin mengapa sains dan agama bisa “bertentangan”.

Apabila sains dan agama bisa sepaham dalam tafsiran, tembok selanjutnya adalah gengsi,  superioritas manusia. Sebagian yang menganggap bahwa akal adalah pemberian Tuhan paling khusus dibanding pada makhluk hidup lainnya akan merasa derajatnya lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya selain manusia. Saat peneliti berhasil menemukan bahwa DNA manusia dan kera sangat identik dan sampai pada kesimpulan bahwa keran dan manusia berkerabat dan punya kemiripian hampir 99%. Orang-orang yang merasa derajatnya tinggi karena diberkati privelege akan merasa hina ketika disamakan dengan monyet yang juga disebabkan budaya yang menjadikan “monyet” sebagai kata makian.

“The consortium found that the chimp and human genomes are very similar and encode very similar proteins. The DNA sequence that can be directly compared between the two genomes is almost 99 percent identical.”

Gengsi karena enggak mau disamakan dengan monyet, kera dan lain-lainnya secara enggak langsung menganggap rendah makhluk hidup yang pada dasarnya merupakan ciptaan-Nya juga dan membuat manusia seolah sombong dimana berlawanan dengan sikap rendah hati yang diajarkan agama.

Hipotesis penyebab terakhir adalah miskonsepsi, seringkali argumen yang mereka paparkan dalam sebuah perdebatan teori evolusi adalah seperti berikut ini,

“Kalau manusia berasal dari kera, kenapa masih ada kera hingga sekarang?”

“Teori Darwin itu sesat, dia bilang di bukunya The Origin of Species bahwa nenek moyang manusia itu kera, gak mungkin itu *isi argumen basis kepercayaan* ”

Manusia Memang Enggak Berasal dari Kera maupun Monyet

Miskonsepsi pertama, Darwin enggak pernah bilang demikian, faktanya pun tidak demikian. Darwin menyinggung hubungan kera dan manusia sebagai kelompok yang punya nenek moyang tunggal dan dianggap punya kekerabatan, itu pun bukan dalam buku The Origin of Species, melainkan pada bukunya yang lain yang berjudul The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex.

Yang kedua, isi teori evolusi dianggap “kera adalah nenek moyang manusia” yang berdasarkan pada ilustrasi yang ambigu. Dikatakan ambigu karena sebagian orang menginterpretasikan spesies di urutan kedua dari kiri sebagai kera modern (padahal bukan) sebagai proses evolusi.

Pertanyaan sebelumnya yang mengarah pada “Kalau manusia berasal dari kera, kenapa kera sekarang belum ada yang berevolusi menjadi manusia?” pun jadi akibat ilustrasi ambigu ini.

Berdasarkan ilustrasi tersebut sudah jelas bahwa kera bukanlah “sesuatu yang akan berevolusi” melainkan “hasil evolusi”. Bentuk ilustrasi percabangan menandakan bahwa kera dan manusia, serta primata lainnya berkerabat bukan satu garis keturunan.

Selain kesalahpahaman tentang evolusi, frasa “missing link” jadi salah satu miskonsepsi yang sering dilontarkan, berisi tentang evolusi perlu ada bukti sosok tunggal yang jadi transisi suatu spesies tertentu. Padahal, spesies tunggal saja enggak pernah cukup buat buktiin terjadinya evolusi.

We know evolution happened not because of transitional fossils such as A. natans but because of the convergence of evidence from such diverse fields as geology, paleontology, biogeography, comparative anatomy and physiology, molecular biology, genetics, and many more. No single discovery from any of these fields denotes proof of evolution, but together they reveal that life evolved in a certain sequence by a particular process.”

Menganggap teori evolusi “hanya sekadar teori” jadi miskonsepsi umum saat kita enggak bisa membedakan definisi teori dalam ranah umum dan sains. Definisi teori sains bukan seperti teori konspirasi, teori film WandaVision mephisto, teori bumi datar, di sains mereka menyebut itu hipotesis. Sedangkan teori dalam sains punya keakuratan tinggi dengan didukung berbagai macam penelitian, bukti ilmiah, hukum-hukum yang berlaku sehingga enggak bisa disebut “sekadar teori”.

Dalam pondasi awal perlawanan hoaks ini diperlukan peran pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan, serta para pendidik yang juga kompeten bukan malah ikut menyebarkan hoaks. Apabila pemahaman tentang evolusi sudah merata maka sama halnya seperti teori bumi bulat, setidaknya membuat masyarakat satu langkah lebih tidak tersesat dalam pemahaman sains di Indonesia. Hingga akan mudah pula mencetak generasi yang lebih rasional dan mampu membawa kemajuan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

1.Libguides.uwgb.edu. what is bias?. Apr 27, 2021 5:49 PM. [Diakses pada 7 Juni 2021].

Diakses dari : https://libguides.uwgb.edu/bias

2.Yourgenome.org. What is Evolution?. 17 February 2017. [Diakses pada 7 Juni 2021].

Diakses dari : https://www.yourgenome.org/facts/what-is-evolution

3.Genome.gov. New Genome Comparison Finds Chimps, Humans Very Similar at the DNA Level. March 12, 2012. [Diakses pada 7 Juni 2021].

Diakses dari : https://www.genome.gov/15515096/2005-release-new-genome-comparison-finds-chimps-humans-very-similar-at-dna-level

4.Bagus Triadi, Rai. 2017. Penggunaan Makian Bahasa Indonesia pada Media Sosial (Kajian Sosiolinguistik). Jurnal Sasindo Unpam. Volume 5, nomor 2.

Diakses dari : http://download.garuda.ristekdikti.go.id

5.Ncbi.nlm.nih.gov. Evidence Supporting Biological Evolution. 1999 by the National Academy of Sciences, All rights reserved. [Diakses pada 8 Juni 2021].

Diakses dari : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK230201/#!po=97.0000

6.Biomedcentral.com. Charles Darwin and Human Evolution. 6 December 2008. [Diakses pada 8 Juni 2021].

Diakses dari : https://evolution-outreach.biomedcentral.com/articles/10.1007/s12052-008-0098-8

7.IU Bloomington. If we evolved from apes, why are there still apes?. 26 September 2017. [Diakses pada 7 Juni 2021].

Diakses dari : https://blogs.iu.edu/sciu/2017/09/26/why-are-there-still-apes/

8.Corporatefinanceinstitute.com. Cognitive Bias : List of the top 10 most important biases in behavioral finance. [Diakses pada 7 Juni 2021]. Diakses dari : https://corporatefinanceinstitute.com/resources/knowledge/trading-investing/list-top-10-types-cognitive-bias/
9.Scientificamerican.com. EVOLUTION : The Fossil Fallacy. March 01, 2005. [Diakses pada 10 Juni 2021].

Diakses dari : https://www.scientificamerican.com/article/the-fossil-fallacy/

.

.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *