Selama lockdown yang dilakukan oleh banyak negara untuk menghadapi pandemi Covid-19, ternyata berpengaruh terhadap roda kehidupan secara global. Di seluruh dunia penerbangan dibatalkan atau dibekukan, sehingga industri penerbangan mulai terpuruk serta mulai berkurangnya kegiatan industri dan transportasi yang menyumbang emisi karbon terbesar. Semua orang diperintahkan untuk tinggal di rumah saja, dan untuk mereka yang bisa melakukannya, kegiatan bekerja dan belajar dilakukan dari kediaman masing-masing. Semua langkah ini bertujuan mengendalikan penyebaran Covid-19, juga dengan harapan mengurangi korban jiwa. Tapi semua perubahan ini juga menyebabkan konsekuensi yang tak terduga.
Lockdown, Peluang Perubahan Nyata Turunkan Emisi Karbon Global
Selama lockdown yang dilakukan oleh banyak negara untuk menghadapi pandemi Covid-19. Ternyata berpengaruh terhadap penurunan emisi karbon dioksida harian secara global, tetapi bersifat sementara. Dalam jurnal Nature Climate Change, terungkap bahwa emisi harian merosot hingga 17 persen atau 17 juta ton karbon dioksida secara global selama puncak lockdown pada awal April 2020, dibandingkan dengan tingkat rata-rata harian pada 2019. Pemimpin analisis studi dari Universitas East Anglia, Profesor Corinne Le Quere mengatakan bahwa emisi karbon tersebut sama seperti level emisi pada tahun 2006 lalu. Secara umum rata-rata, masing-masing negara mengalami penurunan emisi rata-rata hingga 26 persen di saat puncak lockdown.
Bersama dengan timnya, Le Quere menganalisis kebijakan tentang lockdown dilakukan di 69 negara, yang bertanggung jawab atas 97 persen emisi karbon dioksida (CO2) global. “Lockdown telah menyebabkan perubahan drastis dalam penggunaan energi dan emisi CO2. Penurunan ekstrem ini cenderung bersifat sementara, karena tidak mencerminkan perubahan struktural dalam sistem ekonomi, transportasi atau energi,” kata Le Quere dalam keterangan tertulisnya. Penurunan emisi karbon dioksida hanya sementara, bagaimana seharusnya implementasi setelah pandemi? Ketua Global Carbon Prohect dari Stanford University sekaligus penulis pendamping analisis ini, Profesor Rob Jackson mengatakan bahwa penurunan tahunan inipun dinilai sebanding dengan jumlah pengurangan emisi tahunan yang dibutuhkan dari tahun ke tahun selama beberapa dekade untuk mencapai target iklim Perjanjian Paris PBB. Untuk diketahui, Perjanjian Paris PBB merupakan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi dan keuangan.
Penurunan emisi yang sangat besar ini juga menggambarkan tantangan untuk mencapai komitmen iklim Paris. “Kita membutuhkan perubahan sistematik melalui energi hijau dan mobil listrik, bukan pengurangan sementara dari perilaku yang dipaksakan,” ujar Jackson. Berkaitan dengan hasil analisis studi ini, para penulis mengingatkan, terburu-buru untuk meramu dan memulai paket stimulus ekonomi tidak boleh membuat emisi masa depan menjadi lebih tinggi dengan menunda New Green Deals ataupun melemahkan standar emisi.
“Sejauh mana para pemimpin dunia mempertimbangkan perubahan iklim ketika merencanakan respon ekonomi mereka setelah Covid-19, akan memengaruhi tingkat emisi CO2 global selama beberapa dekade mendatang,” kata Le Quere. Le Quere menegaskan peluang untuk membuat perubahan yang nyata, tahan lama dan lebih tangguh terhadap krisis di masa depan sangat mungkin bisa dilakukan sejak saat ini. Adapun caranya yaitu dengan menerapkan paket stimulus ekonomi yang juga membantu memenuhi target iklim, terutama untuk mobilitas, yang telah diketahui menyumbang setengah dari penurunan emisi selama lockdown. Baca juga: Pandemi Corona: Emisi Karbon Global Turun Ekstrem, Krisis Iklim Masih Mengancam Berikut beberapa saran Le Quere terkait cara yang baik diterapkan untuk menyumbang penurunan emisi karbon dioksida selama pandemi hingga pandemi Covid-19 ini usai nantinya. Ia menyebutkan kebijakan yang jelas dan tegas terkait wilayah di kota dan pinggiran kota mendukung gerakan jalan kaki dan bersepeda, dan penggunaan sepeda listrik. “Yang kesemuanya itu jauh lebih murah dan lebih baik untuk kesejahteraan dan kualitas udara daripada membangun jalan dan menjaga jarak sosial (seperti selama lockdown Covid-19),” tuturnya.
Apakah Bumi Membeku Imbas Matahari Lockdown ?
Belakangan, fenomena Matahari lockdown ramai diperbincangkan di berbagai media sosial. Bukan tanpa alasan, fenomena ini disebut-sebut bisa menimbulkan sejumlah bencana, seperti musim dingin ekstrem, gempa bumi, dan bahaya kesehatan bagi para astronaut yang tengah menjalani misi di luar angkasa.
Matahari lockdown sendiri diartikan sebagai aktivitas permukaan Matahari yang saat ini berada pada periode minimumnya atau disebut solar minimum. Saat itu terjadi, sunspot atau bintik Matahari menghilang sehingga berdampak pada penurunan sinar yang amat drastis. Matahari disebut telah kehilangan 76 persen sunspot pada 2020.
Hal ini sontak memicu kekhawatiran para ilmuwan akan terjadinya penurunan suhu drastis di Bumi. Salah satu yang mengkhawatirkannya adalah seorang astronom bernama Dr. Tony Philips. Ilmuwan NASA juga telah menyatakan keprihatinannya bahwa terjadinya solar minimum dapat mengarah pada peristiwa seperti Dalton Minimum yang terjadi pada 1790 hingga 1830. Di mana pada saat itu terjadi kehancuran besar di Bumi akibat sungai-sungai di Eropa membeku dan tanaman utama rusak. Kondisi itu disusul dengan gempa bumi
Menanggapi hal ini, Thomas Djamaluddin, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), mengatakan fenomena Matahari lockdown memang terjadi secara periodik setiap 11 tahun sekali. Namun, ia menegaskan bahwa fenomena ini tidak bisa dikaitkan dengan bencana. “Kejadian sebenarnya fase minimum Matahari, yang merupakan kondisi periodik sekitar 11 tahunan, tidak ada dampak yang signifikan. Bahkan dipastikan hampir tidak ada dampaknya,” Kalaupun ada dampaknya, maka itu hanya berpengaruh pada variabilitas iklim, bukan pada potensi terjadinya bencana seperti gempa bumi. Dampak dari siklus 11 tahunan ini pernah terjadi pada tahun 2009 hingga 2010. Pada saat itu, musim dingin yang ekstrem terjadi di Bumi belahan utara, termasuk Eropa, Rusia, dan Amerika Utara. Hal itu terjadi diduga kuat terkait dengan aktivitas Matahari minimum yang sangat rendah. Adapun cuaca ekstrem di beberapa daerah. Meskipun solar minimum yang terjadi ‘cukup parah,’ janganlah kita khawatir akan kembali memasuki zaman es mini, BMKG menyatakan fenomena Grand Solar Minimum (GSM) atau Matahari Lockdown tidak akan membuat bumi membeku. Dia mengatakan dampak zaman es kecil atau Little Ice Age’ saat GSM ratusan tahun lalu dipengaruhi hal lain. GSM atau fenomena yang sekarang dinamai ‘matahari lockdown‘ yang diprediksikan beberapa pihak dapat berlangsung dalam beberapa dekade ke depan, mulai 2020 ini sering disalah interpretasikan oleh banyak orang akan membuat suhu bumi mendingin lagi, bahkan 2 derajat Celcius lebih dingin”. GSM pada periode aktivitas matahari yang sangat rendah sekitar tahun 1650 hingga 1715 di belahan bumi utara terkombinasi dengan pendinginan suhu bumi efek dari aerosol akibat letusan besar banyak gunung api. Dia berkata letusan itu menghasilkan suhu permukaan bumi menjadi lebih rendah. beberapa ilmuwan pakar aktivitas matahari juga meragukan dapat terjadinya GSM dan menyatakan bahwa relatif kecil kemungkinan dari variasi siklus matahari terakhir (disebut SC24) akan membentuk Grand Solar Minimum baru dalam beberapa dekade mendatang.
Jika GSM dapat berlangsung, dia berkata para ilmuwan telah mengkalkulasi besarnya efek yang mungkin dapat ditimbulkannya.
Dalam perhitungan daya rubah radiatif iklim (radiative forcing), Siswanto berkata efek GSM terhadap (pengurangan) luaran pancaran energi matahari yang diterima permukaan bumi diperkirakan sekitar -0,1 Watt/m^2.
Besaran itu, lanjutnya sebenarnya ekivalen dengan dampak pertumbuhan konsentrasi karbon dioksida (CO2) selama tiga tahun ini. “Jadi, GSM yang diperkirakan bisa terjadi itu hanya berfungsi mengimbangi beberapa tahun pemanasan yang disebabkan oleh aktivitas manusia (perubahan iklim antropogenik),” ujarnya.
Di sisi lain, Siswanto menyampaikan pemanasan suhu global yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil oleh manusia adalah enam kali lebih besar daripada pendinginan selama beberapa dekade dari Grand Solar Minimum yang diprediksikan dapat terjadi tersebut. Bahkan, dia berkata suhu global akan terus menghangat jika GSM bertahan satu abad.
“Karena lebih banyak faktor yang menjadikan tren pemanasan suhu global terus naik daripada hanya variasi luaran energi matahari 11 tahunan tersebut. Faktor yang paling dominan saat ini adalah pemanasan yang berasal dari emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia,”
Selama Lockdown, Senyuman di langit malam tampak di wilayah dekat Katulistiwa
Para ahli astronomi sedang sibuk belakangan ini. Akhir April lalu mereka sibuk melihat hilal yang menandai awal bulan Ramadan. Sekali lagi ini akan dilakukan menjelang akhir Ramadan. Tapi masih banyak yang bisa diamati di langit malam hari. Jika tak percaya, lihatlah sendiri ke angkasa di malam hari. Bulan sabit, Planet Jupiter dan Planet Venus seperti ingin bermain dengan kita.
Di manapun Anda berada di dunia salah satu buah dari pembatasan gerak secara global, atmosfer Bumi menjadi lebih terang, tak terganggu polusi, jadi kita bisa melihat langit malam dengan lebih jelas.
Apakah kita tinggal di kota, di daerah industrial atau di tempat yang tenang di pedalaman, jika cuaca sedang cerah, maka pengamatan terhadap bintang akan menyenangkan. Keluarlah di malam hari, dan manfaatkan sebaik-baiknya. Fenomena ini lebih mudah terlihat bagi kita yang tinggal di dekat khatulistiwa. Karena Bumi dan Bulan berada di orbitnya masing-masing, bulan sabit pada bulan Mei bisa terlihat seperti senyum raksasa di cakrawala, tergantung di mana kita berdiri.
Namun yang akan membuat fenomena ini sangat spesial adalah berkat adanya dua planet paling terang, Venus dan Jupiter, yang terlihat di atas bulan sabit, dan memberi kesan bahwa keduanya menjadi “mata” yang melengkapi senyum si bulan sabit.
Untuk pengamatan yang ideal, silakan lihat dari jendela atau tempat terbuka pada tanggal 16 Mei, dan tetap waspada karena fenomena ini terjadi tidak terlalu lama sesudah matahari terbenam.
Jika Anda berada di wilayah bumi bagian utara, Anda bisa coba temukan karena adanya “bintang yang bernama Polaris, yang menjadi penanda dari langit kutub utara”.
Kalau kita tinggal di bumi belahan utara, Segitiga Musim Panas adalah salah satu sumber kegembiraan astronomi, serta bisa digunakan untuk menjadi alat bantu navigasi langit malam hari.
“Itu bukan termasuk sistem rasi bintang, melainkan asterism, sekelompok bintang yang bermafaat untuk diketahui, Segitiga imajiner dibentuk oleh tiga bintang terang yang dinamai oleh ahli astronomi Arab sebagai Altair, Deneb, dan Vega.”
Dan jika Anda bisa mengenali ketiga bintang itu, maka Anda cukup paham untuk bisa mengenali tiga rasi bintang terkait: Aquila, Cygnus, dan Lyra.
Referensi :
- Hadi, Ahmed A. (2012). Deep solar minimum and global climate changes. Journal of Advanced Research. Article Number: 2-6. www.sciencedirect.com
- National Geographic – https://www.nationalgeographic.com/science/2020/05/plunge-in-carbon-emissions-lockdowns-will-not-slow-climate-change/
- BMKG Buka Suara soal Bumi Membeku Imbas Matahari Lockdown. Diakses 28 Mei 2020. https://www.cnnindonesia.com/
- Penampakan Langit Malam Tanpa Polusi akibat Lockdown. Diakses 28 Mei 2020. https://www.suara.com/
Menyukai Dunia Pendidikan, Senang Membaca serta mengedukasi lewat tulisan, Sains dan Teknologi