Melihat Resistansi Terhadap Modernitas dalam Novel “Kenanga” karya Oka Rusmini

Dari sekian banyaknya novel yang mengangkat wacana lokalitas, novel Kenanga karya Oka Rusmini merupakan salah satu novel yang menarik untuk […]

blank

blank

Dari sekian banyaknya novel yang mengangkat wacana lokalitas, novel Kenanga karya Oka Rusmini merupakan salah satu novel yang menarik untuk dilihat kelokalitasan masyarakat yang ada di dalamnya. Dalam novel tersebut, Oka Rusmini menggambarkan kehidupan masyarakat Bali dengan sangat eksplisit, melalui tokoh-tokohnya yang dapat mereprsentasikan keadaan sosial masyarakat Bali, yang kemudian berhasil mengangkat wacana yang terjalin antara tradisi dan modernitas dengan sangat kompleks. Hal itu membuat pembaca dapat dengan mudah memahami apa yang terjadi dalam struktur masyarakat lokal-Indonesia–khususnya Bali (dalam novel Kenanga)–pada masa modern ini.

Kompleksitas antara tradisi dan modernitas yang dibuat sedemikian rupa oleh Oka Rusmini pada novel tersebut menyadarkan bahwa adanya dinamika pada struktur sosial masyarakat—khususnya masyarakat lokal Indonesia—yang pada akhirnya membentuk suatu hubungan dialektis antara lokal dan global memang benar-benar tergambar dengan apa adanya. Hal itulah yang membuat suatu keberhasilan bagi Oka Rusmini dalam setiap karya-karya yang telah dibuatnya, salah satunya adalah novel Kenanga.

Istilah dari kedua bentuk dialektik antara lokal dan modernitas menjadi sebuah hal yang menarik pada pembahasan yang berkaitan dengan novel tersebut. Lokal berarti apa yang berkaitan dengan tradisi, sedangkan global berarti apa yang berkaitan dengan modernitas. Keduanya merupakan dua orientasi yang berbeda. Hal itu tergambar dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini melalui tokoh-tokohnya dengan upaya yang dilakukan melalui tindakan resistansi terhadap modernitas. (Adnani, 2016: 3) mendefinisikan bahwa pengertian resistansi menunjukkan pada sebuah sikap untuk berperilaku bertahan, berusaha melawan, menentang, atau upaya oposisi.

Dalam novel Kenanga, upaya resistansi yang dilakukan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya merupakan upaya perlawanan tokoh yang mempertahankan tradisi Bali yang telah lama ada dengan upaya pemertahanan norma-norma terhadap hegemoni yang ada. Hal itu tergambar oleh tokoh-tokoh yang ada dalam novel Kenanga salah satunya adalah tokoh Kenanga. Dalam novel tersebut, Kenanga merupakan tokoh utama. Dengan dijadikan tokoh utama, tokoh Kenanga sudah pasti tokoh yang paling menonjol di antara tokoh-tokoh lainnya. Tokoh Kenanga pulalah–tokoh yang paling dominan dalam melakukan upaya resistansi yang terdapat dalam novel tersebut.

Upaya yang dilakukan oleh tokoh Kenanga dapat ditemukan pada sikap, perilaku, serta tindakan yang dilakukannya. Meski tokoh Kenanga merupakan salah satu tokoh yang memiliki pandangan lebih mengenal modernitas di antara tokoh-tokoh lainnya–namun, hal itu tidak membuat tokoh Kenanga meninggalkan hukum, adat, dan tradisi yang ada di Bali. Dalam hal lain, tokoh Kenanga tetap melakukan ibadah-ibadah atau upacara-upacara, memuja Dewa yang dianutnya, serta memahami batas-batas norma yang berlaku dalam hukum, agama, dan adatnya tersebut, seperti pada kutipan di bawah ini.

“Tertatih-tatih Kenanga melangkah dalam hangat pelukan Bhuana. Dibiarkannya tangan kekar lelaki itu mencengkeram tubuh ringkihnya. Tiba-tiba waktu terasa begitu lamban. Sikap Bhuana yang begitu penuh perhatian seperti ujung runcing keris yang mengorek perasaannya. Memperparah beban sakitanya. Dia adalah laki-laki yang dicintai adiknya sendiri. Cinta itu bahkan telah sah terlindung hukum, adat, dan agama. Tapi seluruh perlakuan Bhuana kepadanya jelas-jelas mengalirkan kehangatan cinta. Seembus kasih yang bukan haknya. Yang ia tak mampu membendungnya! Hyang Jagat, janganlah kau bolehkan aib itu terulang lagi, bisik Kenanga dalam hati, dengan tanpa keyakinan. Perasaan berdosa dan tak berdaya terus memukul-mukul jiwanya.

Sesampainya di mobil, hati-hati Bhuana menaruh tubuh Kenanga di jok depan samping sopir. Di luar rinai gerimis mengetuk-ngetuk kaca jendela, mengaburkan wajah dunia. Benda-benda seakan menari dalam baying-bayang remang, dan perlahan mulai menghitam. Menghilang. Terserap semesta kegelapan yang kembali menelan kesadaran Kenanga.” (Kenanga: 60)

Kutipan di atas merupakan salah satu gambaran resistansi yang dilakukan oleh tokoh Kenanga. Jika dilihat, kehidupan tokoh-tokoh yang tergambar dalam novel tersebut dapat dikatakan sudah mengenal modernitas. Seperti halnya pada secuil kutipan di atas–yang kemudian dengan digunakannya mobil sebsebsebsebagai latar yang ada menandakan bahwa itu adalah modernitas. Namun di sisi lain, tokoh Kenanga tetap melakukan resistansi seperti pada paragraf awal bahwa tokoh Kenanga tetap mematuhi hukum, agama, serta adat yang ada di Bali atas cintanya terhadap Bhuana yang berstatus suami dari adik Kenanga itu sendiri. Itulah salah satu resistansi yang ada.

Sumber:

  • Jalil, Abdul. Siti, Aminah. (2017). Resistensi Tradisi Terhadap Modernitas. Yogyakarta: FDK UIN.
  • Rusmini, Oka. (2018). Kenanga. Jakarta: Grasindo.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *