Rekontruksi Iklim Melalui Pendekatan Palinologi

Apa keterkaitan iklim purba dengan palinologi? Keberadaan vegetasi pada suatu lingkungan dapat dijadikan sebagai penentu perubahan kondisi habitat atau lingkungan, […]

Apa keterkaitan iklim purba dengan palinologi?

Keberadaan vegetasi pada suatu lingkungan dapat dijadikan sebagai penentu perubahan kondisi habitat atau lingkungan, misalnya iklim. Iklim suatu daerah dapat dikaitkan dengan keanekaragaman vegetasi pada daerah tersebut.

“Lantas bagaimana cara mengetahui iklim yang terjadi pada masa purba?”

Rekontruksi iklim pada masa silam dapat diketahui dengan pendekatan palinologi. Palinologi  merupakan  ilmu terapan yang  mempelajari tentang polen, spora dan palinomorf lainnya, baik  yang  masih  hidup  maupun yang  sudah  menjadi  fosil. Analisis palinologi telah banyak dilakukan oleh ilmuwan. Aplikasi  dari  analisis  polen pada palinologi mencakup berbagai bidang diantaranya: mengetahui keanekaragaman flora, menunjang beberapa data dalam bidang kriminologi, merekontruksi  umur  batuan dan iklim masa lalu,  fitogeografi,  arkeologi, taksonomi, eksplorasi batu bara, dan beberapa penelitian lain (Erdtman, 1954).

Mengapa polen dan spora dapat dijadikan sebagai sumber palinologi dan analisis iklim masa lalu?

Polen  dan  spora merupakan sumber data palinologi yang dapat diterapkan dalam analisis iklim masa lalu, hal ini dikarenakan beberapa sifat dari polen dan spora, meliputi:

  1. Terdapat melimpah dan dapat terawetkan dalam sedimen serta jumlahnya dapat dihitung  sehingga menghasilkan suatu spektrum.
  2. Resisten terhadap kerusakan baik oleh asam, kadar garam, temperatur dan tekanan lain sehingga dapat tereservasi pada berbagai keadaan meskipun dalam waktu lama.
  3. Dapat diidentifikasi dengan mikroskop sehingga secara taksonomi dapat diketahui.
  4. Berukuran kecil dan  melimpah sehingga hanya diperlukan sedikit sedimen sebagai sampel yang memadai.
  5. Berasal dari tumbuhan yang membentuk vegetasi suatu area sehingga polen dan spora dapat digunakan  untuk  merekontruksi vegetasi baik lokal maupun regional yang berada  di sekeliling lingkungan pengendapannya (Moore & Webb,1978; Birk & Birks, 2005; Morley, 1990).

Mengapa polen dan spora mampu terawetkan dan resisten pada kondisi yang ekstrim?

Struktur dasar dinding sel polen dan spora tersusun atas dua lapisan dasar yaitu  eksin dan intin. Intin merupakan lapisan bagian dalam polen atau spora yang tersusun atas selulosa yang lansung berhubungan dengan bagian sitoplasma, yaitu butiran membran sel yang akan hilang setelah sel mati. Sedangkan eksin merupakan bagian luar polen yang tersusun dari sporopollenin yang berupa substansi keras sebagai pemberi daya tahan yang kuat pada dinding sel sehingga akan tahan terhadap daya destruktif, tekanan, suhu, kondisi asam maupun keadaan anaerob dan oksidasi selama proses fosilisasi (Gambar 1) (Morley, 1990). Selain mempunyai substansi yang kuat, eksin juga mempunyai karakter morfologi yang berbeda pada setiap tumbuhan sehingga dijadikan sebagai dasar dalam identifikasi jenis tumbuhan atau dalam taksonomi.blank

Gambar 1. Penyusun dinding polen dan spora (Morley, 1990)

Bagaimana tahapan dalam analisis palinologi untuk mempresentasikan iklim pada masa lampau?

Identifikasi dapat dilakukan dengan mengamati polen dan spora yang terendap dalam sedimen daerah yang akan dipresentasikan iklim pada daerah tersebut dengan beberapa tahapan  berikut:

  1. Pengeringan: Pengeringan dilakukan secara kering panas menggunakan oven.
  2. Penimbangan: Sampel kering diambil dibagian paling dalam dari sedimen yang telah dikeringkan. Sampel ditimbang dengan timbangan digital sehingga tiap sampel mempunyai berat seragam yaitu 1 g
  3. Penggerusan: Sampel ditumbuk dengan mortar dan pestle hingga halus. blank
  4. Pembersihan sampel dari partikel lain: sampel yang telah dihaluskan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, ditambahkan 5 ml KOH 10%, dimasukkan ke dalam waterbath selama 5 menit (800C) untuk mempercepat reaksi. Kemudian cairan diganti aquades dan disentrifuge pada 3000 rpm selama 5 menit.blank
  5. Penghilangan unsur karbonat: Sampel batuan sedimen ditambahkan 5 ml HCl 10%, dimasukkan ke dalam waterbath pada suhu 800C selama 5 menit kemudian dinetralkan dengan akuades (3 kali pencucian).   blank
  6. Penghilangan unsur silika: sampel yang sudah dinetralkan ditambah 3 ml HF 40% dan dimasukkan ke dalam waterbath selama 10 menit dengan suhu 800C. Setelah itu ditambahkan  aquades 10 ml dan disentrifus pada 3000rpm selama 5 menit. Cairan hasil sentrifus dibuang dan diganti dengan akuades (2 kali pencucian).
  7. Fiksasi: Sampel ditambahkan 5 ml AAG diaduk dan disentrifuge pada 3000 rpm selama 5 menit.
  8. Asetolisis: Cairan dibuang, ditambahkan AAG:H2SO4 (9:1) dan dimasukkan ke dalam waterbath pada suhu 800C selama 2 menit, disentrifuge pada 3000 rpm selama 5 menit. Cairan dibuang, diganti AAG dan disentrifuge kembali pada 3000 rpm selama 5 menit.. kemudian cairan dibuang dan dinetralkan kembali dengan akuades (3 kali pencucian).
  9. Pewarnaan: sampel ditambahkan 5 ml aquades dan 2 ml safranin 1% kemuadian disentrifuge pada 3000 rpm selama 5 menit.

blank

10. Mounting: setelah sampel dipreparasi selanjutnya diteteskan pada gelas benda sebanyak 1 tetes dan ditutup dengan gelas penutup dan dikeringkan diatas hot plate.

blank

Berikut beberapa contoh fosil polen yang diambil dari daerah Dayu, Sangiran, Sragen, Jawa Tengah.

blankblankblankblankblankblank

Bagaimana interpretasi iklim dari hasil identifikasi fosil?

Interpretasi rekontruksi iklim purba pada suatu daerah didasarkan pada fluktuasi dari persentase jumlah takson – takson arboreal pollen (AP) dan non arboreal pollen (NAP) serta fosil spora yang terekam dalam sedimen. AP tersusun oleh polen tumbuhan berkayu penyusun vegetasi hutan, sedangkan NAP tersusun oleh polen tumbuhan non berkayu yang terdiri dari semak dan herba. Asumsi yang digunakan didalam interpretasi perubahan iklim dan tingkat kelembaban habitat atau lingkungan sekitarnya, didasarkan perbandingan persentase AP dan NAP. Ketika persentase AP meningkat maka iklim akan
cenderung lebih panas dan basah (lembab), sebaliknya jika NAP meningkat maka terjadi perubahan iklim menjadi lebih dingin dan kering.

Sumber:

  • Erdtman,  G.  1954. An  Introduction  to  Pollen  Analysis.  The Chronica Botanica Co. Waltham Mass, USA.
  • Moore, P. D, and J. A. Webb. 1978.  An Illustrated Guide To Pollen Analysis. The Ronald Press Company, USA.
  • Morley, R. J. 1990. Short Course Introduction To Palynology With Emphasis on Southeast Asia. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto.
  • Birks, H.J. B., and H.H.  Birks. 2005.  Global Change in The Holocene. Edward Arnold Publisher Ltd, London.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *