Jika mengetikkan “usia alam semesta” di mesin pencarian, kebanyakan sumber akan mengutip hasil perkiraan peneliti NASA, yaitu 13,7 miliar tahun. Namun, studi terbaru menemukan bahwa usia alam semesta kita mungkin dua kali lipat dari perkiraan tersebut. Studi yang terbit di jurnal Monthly Notices of the Royal Astronomical Society menantang model kosmologi yang ada dan memberikan pencerahan baru mengenai apa yang disebut “masalah galaksi awal yang dianggap tidak mungkin”. Model baru yang diciptakan memperpanjang waktu pembentukan galaksi sekitar 13 miliar tahun, menjadikan usia alam semesta 26,7 miliar tahun, bukan 13,7 seperti yang sebelumnya diperkirakan.
Menghitung Umur Alam Semesta
Bagaimana ilmuwan menghitung umur alam semesta? Para astronom memperkirakan bahwa Big Bang terjadi antara 10 hingga 20 miliar tahun yang lalu. Mereka menentukan usia alam semesta dengan dua cara: Pertama, dengan mempelajari bintang-bintang tertua berdasarkan pergeseran merah cahaya yang berasal dari galaksi jauh; kedua, dengan mengukur laju ekspansi alam semesta dan melakukan ekstrapolasi kembali ke Big Bang.
Konsensus umum di antara para ilmuwan adalah bahwa alam semesta berusia kira-kira 13,7 miliar tahun, dan konsensus ini terus berkembang—sebuah kesimpulan yang diilustrasikan oleh fenomena yang disebut pergeseran merah, di mana cahaya menjadi lebih merah jika bergerak di antara titik-titik yang menjauh satu sama lain. Berkat teknik baru dan kemajuan teknologi, pada tahun 2021, usia alam semesta kita diperkirakan mencapai 13,797 miliar tahun menggunakan model konkordansi Lambda-CDM.
Anomali
Banyak ilmuwan merasa bingung oleh bintang seperti bintang Methuselah. Bintang ini terlihat lebih tua daripada perkiraan usia alam semesta kita. Ilmuwan juga terkejut oleh penemuan galaksi awal dalam keadaan evolusi lanjutan yang diungkapkan oleh James Webb Space Telescope. Galaksi-galaksi ini muncul sekitar 300 juta tahun setelah Big Bang, dan terlihat memiliki tingkat kedewasaan dan massa yang biasanya terkait dengan miliaran tahun evolusi kosmik. Selain itu, galaksi-galaksi ini memiliki ukuran yang sangat kecil, menambahkan lapisan misteri lain pada persamaan tersebut.
Teori Terbaru
Pada tahun 1929, astronom Swiss Fritz Zwicky mengusulkan bahwa cahaya menjadi “lelah” saat bergerak, secara bertahap kehilangan energi selama miliaran tahun cahaya. Namun, teori kontroversial ini tidak cocok dengan data lain yang diketahui seputar usia dan laju ekspansi alam semesta, membuat para astronom membuangnya demi teori pergeseran merah yang berlaku.
Namun, sebagaimana dijelaskan dalam makalah terbaru oleh Rajendra Gupta, seorang asisten profesor fisika di Fakultas Sains Universitas Ottawa, yang diterbitkan pada 7 Juli 2023 dalam jurnal Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, ditemukan bahwa dengan mempertimbangkan gagasan “cahaya lelah” dari Zwicky dan mengaitkannya dengan alam semesta yang terus berkembang, kita bisa memahami pergeseran merah sebagai suatu fenomena yang kompleks. Hal ini tidak hanya terjadi karena ekspansi alam semesta, tetapi mungkin juga melibatkan faktor-faktor lain yang membuatnya lebih seperti fenomena campuran atau hibrida.
Selain teori “cahaya lelah” dari Zwicky, Gupta mengenalkan ide tentang “konstanta kopling” yang mengalami evolusi, seperti yang dihipotesiskan oleh Paul Dirac. Konstanta kopling adalah nilai tetap dalam fisika dasar yang mengontrol cara partikel saling berinteraksi. Menurut Dirac, mungkin konstanta ini berubah seiring berjalannya waktu. Dengan memperbolehkannya untuk mengalami evolusi, jangka waktu pembentukan galaksi awal yang diamati oleh teleskop Webb pada pergeseran merah tinggi dapat diperpanjang dari beberapa ratus juta tahun menjadi beberapa miliar tahun. Hal ini memberikan penjelasan yang lebih masuk akal untuk tingkat perkembangan dan massa yang lebih tinggi yang terlihat di galaksi-galaksi kuno.
Selain itu, Gupta menyarankan bahwa interpretasi tradisional tentang “konstanta kosmologis”, yang mewakili energi gelap yang bertanggung jawab atas percepatan perluasan alam semesta, perlu direvisi. Sebaliknya, ia mengusulkan sebuah konstanta yang menjelaskan evolusi konstanta kopling. Modifikasi dalam model kosmologi ini membantu mengatasi teka-teki ukuran galaksi kecil yang diamati di alam semesta awal, memungkinkan pengamatan yang lebih akurat.
Penelitian ini membawa perspektif baru yang menarik terkait salah satu pertanyaan paling besar tentang alam semesta kita, yang dapat mengubah cara kita menginterpretasi berapa sebenarnya usia alam semesta. Hanya waktu yang akan menentukan apakah penjelasan Gupta akan meyakinkan rekan-rekannya sesama ilmuwan dan dapat menciptakan konsensus baru.
Referensi
R Gupta. JWST early Universe observations and ΛCDM cosmology. Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, 2023; DOI: 10.1093/mnras/stad2032
Alumni S1 Kimia Universitas Negeri Makassar. Pengajar kimia, penulis di warstek.com.