Ditulis oleh Hanifati Alifa Radhia – Universitas Brawijaya
“Satu jadikan tujuan kita, hilangkan segala perdebatan yang sia-sia. Beralih ke arah yang sama bukan masalah. Semua punya ruang lukis yang kau mau karena ceritamu milikmu. “
Raisa & Isyana – Anganku – Anganmu
Wahai para generasi muda, setujukah kalian dengan duet penyanyi di atas? Eits..tunggu dulu, setujukah kalian dengan petikan lirik di atas? Semua punya ruang lukis yang kau mau. Ya-ya-ya, bisa jadi. Namun kita tidak sedang membahas lirik maupun perdebatan pendukung garis keras tim Raisa atau tim Isyana. Kita akan membaca kolaborasi yang sama dalam ruang berbeda. Kolaborasi apakah itu? Sekelompok mahasiswa yang telah melukis karya ilmiahnya melalui Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM).
PKM merupakan ajang kompetisi karya ilmiah tingkat mahasiswa yang cukup prestis di Indonesia. Kegiatan PKM yang diselenggarakan Kemristekdikti ini setiap tahun menerima proposal dari berbagai bidang meliputi PKM-P (Penelitian), PKM-K (Kewirausahaan), PKM-KC (Karsa Cipta), PKM-T (Teknologi), dan PKM-M (Pengabdian Masyarakat). Bagi sebagian (besar) mahasiswa, menulis karya ilmiah atau tugas akhir bernama skripsi adalah suatu puncak ujian hidup di masa perkuliahan. Namun demikian segelintir mahasiswa lainnya justru sengaja atau tak sengaja mencari-cari “ujian hidup” dengan mengikuti kompetisi sebagaimana PKM.
Pengalaman melaksanakan kegiatan PKM saya rasakan bersama empat kawan cantik di progam studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. Adalah calon proposal PKM-Penelitian kami berjudul SUWUK: Metode Penyembuhan Penyakit Berbasis Etnomedisin di Era Modern (Studi Kasus Desa Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan) dan “Racikan Jamu Gendong dan Motivasi Konsumen di Kota Malang“. Kedua judul tersebut kami sepakati untuk didaftarkan pada PKM pendanaan 2016 bidang penelitian sosial-humaniora. Di hari tenggat waktu pengunggahan proposal, kami dengan sekeras tenaga mengirimkan keduanya. Namun sesuatu terjadi pada calon PKM kami yang berjudul jamu yang tidak mau diunggah karena persoalan teknis NIDN dosen pembimbing.
Waktu berlalu, hingga tahun pun berganti. Pada Februari 2016 kami memperoleh informasi bahwa judul proposal kami yang pertama, suwuk, lolos di tahap pendanaan. Setelah mengurus segala administrasi untuk keperluan penelitian, pada bulan Maret- April 2016 kami melakukan penelitian lapangan di Desa Jatiarjo, Prigen, Pasuruan. Jika kalian mengetahui tempat wisata Taman Safari Indonesia II, maka di sekitar wilayah itulah desa tempat kami melakukan penelitian. Desa Jatiarjo terletak di lereng Gunung Arjuna. Desa ini memiliki tiga dusun, yakni dusun Cowek, Tonggowa dan Tegalkidul. Di Dusun Cowek, tempat wisata Taman Safari Indonesia II berdiri. Selama penelitian di desa, kami tinggal di rumah Bapak Suradi dan Ibu Lin, beserta dua anak-anak remaja mereka, Wiji dan Pipit.
Penelitian kami memiliki urgensi untuk mengetahui bagaimana pengobatan suwuk melalui perspektif sosial-budaya. Suwuk adalah pengobatan lokal, khususnya di Jawa Timur yang menggunakan mantra. Masyarakat di Desa Jatiarjo dan sekitarnya masih menggunakan suwuk sebagai salah satu pilihan pengobatan. Praktik pengobatan suwuk inipun dilakukan oleh dukun penyembuh atau bisa disebut juga sebagai wong iso (orang bisa/orang pintar). Suwuk dapat mengobati penyakit yang wajar dan tidak wajar. Dalam literatur antropologi kesehatan, ada konsep untuk menyebut dua jenis penyakit ini: penyakit naturalistik (penyakit wajar, karena ketidakseimbangan tubuh) dan penyakit personalistik (ada atau masuknya agen-agen gangguan di luar tubuh).
Lebih lanjut seperti apakah penyakit wajar dan tidak wajar itu? Penyakit wajar seperti pegal linu, rematik, masuk angin dsb. Sedangkan penyakit tidak wajar seperti penyakit yang disebabkan oleh efek tumbal, sihir, gangguan makhluk dsb. Hasil penelitian yang kami peroleh bahwa pengobatan suwuk ini masih digunakan sebagai pilihan pengobatan bagi beberapa masyarakat. Meskipun tenaga dan fasilitas kesehatan di desa sudah memadai, namun demikian dalam hal penyakit tertentu ada beberapa pasien yang merasa cocok/jodoh dengan pengobatan suwuk. Selengkapnya dapat dibaca di laman (http://antronesia.com/eksistensi-suwuk-pengobatan-tradisional-masyarakat-jawa-jaman-modern/).
Salah satu kekuatan keilmuan antropologi adalah penelitian lapangan. Dalam penelitian lapangan ini, kami harus mendapatkan emik, yakni sudut pandang dari masyarakat/pelaku budaya. Untuk itu, metode yang diperlukan selama penelitian lapangan berlangsung adalah wawancara mendalam dan observasi partisipasi. Kami pun tinggal selama beberapa minggu di Desa Jatiarjo dan berbaur dengan masyarakat setempat. Hal-hal yang kami berlima lakukan selama melakukan interaksi di desa adalah mendatangi dukun, mewawancarai, merasakan pijatan-pijatan deteksi penyakit dari dukun, hingga merasakan meminum ramuan herbal. Kami pun menyaksikan secara langsung bagaimana proses pengobatan suwuk yang dilakukan oleh dukun. Seluruh aktivitas ini kami lakukan bersama dalam rangka pengumpulan data selama proses penelitian lapangan.
Kolaborasi di dalam kelompok selalu yang diutamakan adalah komunikasi. Ya, membagi tugas di antara anggota kelompok serta membagi job desk menjadi hal krusial yang menentukan. Kebetulan kelompok kami memiliki komposisi dengan jenis kelamin sama perempuan. Kami hanya dibedakan tahun angkatan masuk kuliah dan tentu saja usia. Akan tetapi usia kami tidak terpaut jauh, hanya berbeda 2-3 tahun saja. Kami berlima sama-sama berasal dari kota-kabupaten di Jawa Timur. Dilihat dari komposisi kepribadian kami berlima, dalam pengamatan saya kelompok kami merupakan perpaduan dari tiga individu introvert dan dua individu ekstrovert.
Tidak dapat dipungkiri sebuah kelompok, tim, tentu menjadi arena bagi individu untuk saling berproses mengemukakan pendapat dan bernegoisasi. Kami membagi peran di dalam kelompok yakni ketua, sekretaris, bendahara dan koordinator lapangan. Pada pelaksanaannya pembagian tugas ini terasa fleksibel. Terstruktur namun lentur. Saling melengkapi, memback up tugas satu sama lain menjadi keniscayaan kerja tim. Bagaimana agar kapal yang berlayar ini tetap bertahan dalam badai untuk sampai di tujuan. Hal ini tidak menutup pula pada bagaimana peran dosen pembimbing, apakah dosen mampu menjadi “sutradara” yang andal dan netral pada si artis—mahasiswa. Hal krusial lainnya adalah meredam dengan mendalam egoisme dan peka kondisi satu sama lain. Segalanya tidak bisa ditentukan atau diambil keputusan sendiri, karena mau tidak mau apa yang kita harapkan dan pikirkan pun melibatkan individu lain di dalam satu kelompok.
Di seluruh rangkaian perjalanan ber-PKM-an selama kurang lebih satu tahun, tidak dipungkiri terjadi gesekan-gesekan, perdebatan, miskomunikasi, kemalasan, down, mudah sekali terserang laper dan baper, perasaan terpendam, pasrah bercampur semangat yang naik turun. Semua itu terjadi dengan wajar. Persis seperti yang terjadi dalam hubungan sepasang kekasih. Kekhilafan seperti miskomunikasi dan “mengambil keputusan sendiri” misalnya, telah menghinggapi proses penelitian kami.
Pada waktu itu, kami membagi tugas siapa saja yang berada di desa penelitian. Anggota di tim kami rata-rata masih memiliki jadwal kuliah dan kegiatan di kampus. Kami membagi jadwal agar setiap dari kami mengemban tugas di lapangan namun tetap bisa berkuliah. Pernah di suatu hari kami berlima berkumpul menjadi satu di desa saat pergeseran jadwal. Di tengah proses penelitian lapangan, jadwal kami bersentuhan dengan jadwal UTS. Di awal disepakati meski di antara kami ada yang sudah tidak UTS, proses lapangan tetap berjalan. Namun sekitar bulan Maret akhir saya meretakkan kesepakatan tersebut. Saya kemudian memutuskan mengajak anggota pulang, oleh karena saya masih ada suatu hal kegiatan di kampus dan anggota lainnya harus kuliah dan menjelang UTS.
Akan tetapi, saya baru memberitahukan keputusan saya tersebut pada teman koordinator lapangan lainnya setelah kami tiba di Malang. Pada gilirannya selama dua minggu UTS—selama itu pula, kami break dari lapangan. Suatu kesalahan miskomunikasi pun terjadi. Oleh karena kami masih memiliki sisa waktu di akhir April 2016, kami melanjutkan proses penelitian lapangan sekuat tenaga hingga tuntas. Di akhir, kami melakukan evaluasi dari proses penelitian sebelum mengerjakan tahap selanjutnya. Perihal miskomunikasi itu menjadi refleksi mendalam bagi diri sendiri maupun teman-teman yang lain. Proses trial and error memang selalu ada di dalam hidup kan?
Apa hikmah yang kita petik dari karya kolaborasi ini? Setia menikmati proses, konsisten, betah, tekun, sabar, berkomunikasi serta berterus terang, merasa memiliki dan benar-benar mengerahkan kekuatan yang dipunya masing-masing individu menjadi nilai perjalanan tim ini. Apa buah cinta yang diperoleh dari proses jatuh bangun penelitian berkelompok tersebut? Kami menjadi salah satu tim kontingen Universitas Brawijaya di ajang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke 29 di Institut Pertanian Bogor 8-11 Agustus 2016. Meski tim kami belum menyumbang medali, namun kampus kami berhasil mempertahankan juara umum untuk yang ke lima kalinya.
Sesungguhnya ada banyak sekali info mengenai ajang kompetisi sejenis PKM, kegiatan penelitian dan karya ilmiah yang bisa dicoba. Proses ber-PKM-an hanyalah salah satu pentas mahasiswa dalam semangat mengelola proyek karya tulis ilmiah. Namun demikian hal itu dititahkan bagi mahasiswa yang murni berniat dan berminat untuk menunaikannya. Kemauan dan gagasan hadir tanpa ada paksaan dan keharusan dari pihak manapun. Dalam hal ini, dosen, kampus bisa menjadi landasan bagi terbangnya—pesawat-si mahasiswa. Sejatinya mahasiswa memiliki cara dan renjananya sendiri untuk berkarya. Inovasi dan ilmu dapat dilahirkan dengan berbagai kreasi dan ekspresi.
Akan menjadi lebih bermakna bila keberlanjutan gagasan dapat terlaksana nyata di masyarakat sehingga tidak hanya menyisakan judul laporan PKM atau medali saja. Namun ketika kemurnian “tugas suci” tersebut telah berselingkuh dengan kepentingan sesaat mahasiswa itu sendiri, dosen atau hal-hal pragmatis lainnya, maka ajang kompetisi ini tak ubahnya sekedar formalitas semata. Meminjam tagline Indonesia Mengajar, yang mengatakan: setahun mengajar seumur hidup menginspirasi. Pun demikian, bolehlah dengan PKM. Setahun bergelut PKM, seumur hidup menginspirasi. Karena PKMmu, PKMku, karyamu karyaku. Seperti lirik lagu ini pula proses itu. @hanyfati-mantan pejuang PKM
“Dan bila nanti, kau ingat kembali, masa-masa inilah yang akan kita kenang selalu”
Mytha Lestari- Tentang Mimpiku
Diskusi kelompok, mewawancarai indorman di desa penelitian Kontingen Univ. BrawijayaPIMNAS 2016 di IPB