Sabtu minggu lalu (24/07/2021) Warstek menerbitkan artikel berjudul “Agama dan Sains Itu Apakah Berhubungan ataukah Bertolak Belakang?”. Artikel tersebut sontak memunculkan beragam komentar, baik post Warstek di facebook maupun yang di instagram. Ragam tanggapan tersebut memang mencerminkan cara pandang seseorang terhadap hubungan antara agama dan sains.
Saya sangat mengapresiasi penulis yang telah mengangkat topik tersebut. Ditambah lagi secara sosiologis bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, dan itu dikukuhkan oleh konstitusi kita. Karenanya perbincangan tentang agama dan sains tidak bisa dihindarkan. Penulis berusaha memberikan tesis bahwa terdapat hubungan antara agama dan sains, didukung dengan bukti-bukti historis baik yang berasal dari peradaban Barat maupun peradaban Islam.
Akan tetapi, ketika membaca artikel tersebut secara utuh, saya menemukan ada beberapa hal penting yang patut diberi catatan, tambahan, bahkan koreksi. Ini juga berangkat dari beberapa statements penulis yang kurang pada tempatnya berkenaan dengan agama itu sendiri, posisi sains dalam sejarah peradaban Islam maupun Barat, serta hubungan antara agama dan sains. Di sisi lain, penulis juga tidak menjelaskan secara detail bagaimana hubungan antara agama dan sains itu bekerja.
Maka dari itu, izinkan saya memberikan beberapa catatan dan tambahan penjelasan secara rinci terhadap artikel tersebut dengan tetap memberikan hormat kepada penulis, sekaligus meluruskan beberapa miskonsepsi berkenaan dengan wacana hubungan agama dan sains, terutama yang saya temui di kolom komentar. Tetapi, dalam artikel ini berkenaan dengan agama, saya hanya menyinggung Islam. Sains yang dimaksud di sini terbatas pada ilmu-ilmu alam saja, meskipun saya juga di bawah memberikan contoh ilmu-ilmu sosial yang dikuasai oleh ilmuwan muslim. Pembahasan terkait diskursus ini juga secukupnya, karena untuk penyelidikan yang lebih mendalam perlu dibentangkan di tempat lain, seperti dimensi epistemologi, ontologi, dan aksiologi dalam sains.
Bagaimana Islam Menyuburkan Sains?
Islam sebagai sebuah agama (din) memberikan penghargaan tinggi terhadap ilmu. Ada banyak teks (nash) yang berkenaan dengan aktivitas merenungi (tafakkur) tanda-tanda kekuasaan Allah1, perintah menuntut ilmu2, motivasi dalam menuntut ilmu3, kedudukan orang yang berilmu di sisi Allah4, hingga tanda-tanda (ayat) yang dapat memberi manusia petunjuk untuk menyelidiki fenomena alam5, dan banyak lagi.
Penghargaan Islam terhadap ilmu juga mencakup akidah (keyakinan). Akidah dalam Islam bukan sekadar dibangun di atas dogma, tetapi di atas ilmu. Karenanya, iman dalam Islam mengandung muatan ilmu, dan sejak awal tidak ada pertentangan antara ilmu dan keimanan. Hal tersebut terbukti di antaranya dalam ayat fa’lam annahū lā ilāhā illaLlāh6, “maka ketahuilah bahwa tiada Tuhan (Yang berhak disembah) kecuali Allah”.
Kata fa’lam terdiri dari fa dan i’lam. I’lam merupakan bentuk kata perintah, berasal dari kata ‘alima yang artinya mengetahui, kata benda mashdar-nya ialah ‘ilm (ilmu). Artinya, dalam meyakini ke-Esa-an Allah harus dengan ilmu. Atas dasar itulah ajaran Islam menghasilkan sebuah peradaban ilmu, yang mampu mengembangkan ilmu syar’i seperti ilmu tafsir, hadits, bahasa, fiqih, dan seterusnya, maupun ilmu non-syar’i seperti filsafat (termasuk sains)7, logika, matematika, hingga kedokteran.
Dalam sejarahnya pun kita dapat menemukan banyak sosok ulama sekaligus ilmuwan di bidangnya, seperti Imam Fakhruddin al-Razi yang menguasai tafsir juga kedokteran dan filsafat, Imam al-Ghazali yang menguasai ilmu kalam, tasawwuf, juga filsafat dan logika, Imam Ath-Thabari dan Imam Ibnu Katsir yang menguasai tafsir juga sejarah, Ibnu Rusyd yang menguasai fiqih juga filsafat, dan masih banyak lagi. Belum lagi kita kenal al-Khwarizmi, al-Biruni, hingga Ibn al-Haytsam. Semua tokoh di atas memberikan pengaruh besar bagi perjalanan dunia Barat.
Jelas dalam peradaban Islam tidak ada dikotomi agama dan sains, antara wahyu dan akal. Sains bahkan memberikan manfaat praktis bagi aktivitas ibadah umat Islam, seperti penentuan arah kiblat, penentuan hilal untuk kalender Hijriyah, prediksi gerhana, dan lain-lain. Motivasi penyelidikan sains yang dilakukan ilmuwan muslim juga berdasar pada motivasi agama8. Karena tujuan sains adalah menyingkap pengetahuan yang benar tentang alam, antara sains dan pandangan hidup Islam memiliki irisan tujuan yang sama, sehingga sangat memungkinkan untuk membangun hubungan yang organik antara keduanya9.
Di antara yang bisa disajikan di sini ialah perkataan Imam al-Ghazali dalam kitabnya al-Munqidz min adh-Dhalal terkait ilmu matematika, bahwa matematika tidak memberikan penentangan terhadap agama. Dalam kaitannya dengan ilmu thabi’ah (yang sekarang dikenal sebagai sains alam) juga memberikan manfaat, yang filsuf Yunani ketika mendalami ilmu tersebut ‘secara terpaksa’ mengantarkan mereka kepada keyakinan akan adanya Pencipta10. Jadi, sains memiliki daya menguatkan iman, di samping memiliki tujuan praktis yang menunjang hidup manusia.
Struktur Hubungan Agama dan Sains
Di era kontemporer seperti sekarang ini, terdapat beberapa cendekiawan muslim yang memberikan perhatian terkait hubungan sains dan agama. Salah satunya ialah Osman Bakar, seorang pakar sejarah sains. Dalam membicarakan hubungan agama dan sains, Bakar terlebih dahulu mendudukkan apa itu agama dan apa itu sains, beserta masing-masing strukturnya. Baru kemudian beliau mencari hubungan struktural antara keduanya11.
Agama (ad-din), dijelaskan oleh Osman Bakar, memiliki konsepsi hubungan Iman-Islam-Ihsan. Dalam kerangka tersebut, Islam merujuk pada amalan zhahir yang mencerminkan syariah, sedangkan Iman merujuk pada amalan bathin, juga menjadi pondasi dalam pengamalan syariah. Puncak dari pengamalan syariah ialah pada tataran ihsan: beribadah seakan-akan kita melihat Allah, tetapi jika tidak bisa seperti itu yakinlah bahwa Allah melihat kita.
Sains, masih merujuk pada Osman Bakar, setidaknya mengandung empat komponen. Pertama, objek kajian yang dijelaskan melalui akumulasi pengetahuan dalam bentuk teori dan hukum, fakta, metodologi, serta alur logis yang menyertainya. Kedua, premis dasar yang memberikan konsekuensi epistemologis. Artinya, ada asumsi-asumsi yang mendasari aktivitas saintifik dalam penyelidikan alam.
Menurut Nidhal Guessoum, bangunan sains mengandung teori dan hukum, fakta, model, hipotesis, termasuk metodologinya. Metodologi sains modern meliputi pengamatan terhadap fenomena alam, perumusan hipotesis, penentuan prediksi, kemudian verifikasi dengan percobaan untuk melihat apakah hipotesisnya benar atau tidak12.
Jika yang pertama memungkinkan adanya teori yang dibangun dan harus dibuktikan, yang kedua mengharuskan tidak adanya pembuktian. Dari sini premis dasar memegang peranan penting sebagai sebuah aksioma tentang prinsip, sifat dari objek kajian serta kedudukan ontologinya. Dalam konteks pandangan hidup Islam, elemen-elemen dasarnya memberi andil terhadap premis yang terkandung di dalam sains11. Namun, saya tidak akan menjelaskan secara mendalam berkenaan dengan komponen kedua ini karena akan membutuhkan ruang tulisan yang lebih.
Ketiga, metodologi penelitian yang memandu aktivitas saintifik. Secara umum para ilmuwan melakukan penyelidikan alam yang melahirkan temuan berupa fakta dan data. Syarat hasil penyelidikan sains itu harus dapat diulang (repeatable), diukur (measurable), diandalkan (reliable), diuji (verifiable), objektif (bisa dilakukan oleh semua orang) yang bermuara pada kesamaan hasil penyelidikan dengan orang yang berbeda-beda12. Contoh yang jelas dalam peradaban Islam seperti ketika Ibn al-Haytsam memadukan matematika dan fisika, bahkan biologi dalam kasus tertentu pada penyelidikan optik dengan kaidah saintifiknya yang hingga kini dipakai oleh para ilmuwan di seluruh dunia.
Keempat, arah dan tujuan dari aktivitas sains itu sendiri. Tujuan sains adalah mengungkap fakta tentang hakikat alam semesta. Dalam konteks Islam, tujuan tersebut mesti sampai pada tingkat yakin, sehingga melahirkan ‘ilm al-yaqin (pengetahuan yang yakin). Dari keempat komponen itulah Osman Bakar menyelidiki hubungan struktural agama dan sains.
Berdasarkan pemaparan di atas, hubungan struktural agama dan sains terlihat benang merahnya pada aspek epistemologi, tujuan, metodologi. Islam memiliki rumusan penting tentang ilmu dan kedudukannya. Konsepsi Islam tentang iman menjadi pondasi dalam membangun dasar epistemologi. Ayat-ayat al-Quran dan Hadits Nabi berperan mendudukkan dimensi kewujudan yang berkaitan dengan alam sebagai objek kajian sains. Berkenaan dengan tujuan sains, ia mesti dikaitkan dengan pandangan Islam mengenai tujuan keberadaan manusia, yaitu mengenal Sang Pencipta.
Pada metodologi sains, hubungan agama dan sains melibatkan bagaimana agama memandang cara manusia memperoleh pengetahuan, yang dalam hal ini di antaranya melalui sains. Hal-hal yang perlu diuji terkait premis-premis yang membangun kerangka sains ialah bentuk pertama dan kedua, sedangkan yang ketiga dalam konteks tertentu bisa diterima, seperti pengetahuan mengenai sifat-sifat alam fisik yang dipakai dalam fisika dan kimia11. Jadi kita bisa melihat terdapat relasi yang kuat antara agama dan sains.
Beberapa Komentar
Di sini saya hendak menyajikan koreksi saya atas statements yang sekiranya penting untuk diluruskan dari artikel tersebut. Di antaranya sebagai berikut.
“Untuk diketahui juga bahwa sains terus berkembang mengikuti kemajuan zaman karena sifatnya yang dinamis. Sedangkan, agama berjalan di tempat karena memang sifatnya yang dogmatis.”
Pada kalimat pertama pernyataan tersebut benar. Tetapi, “agama berjalan di tempat karena memang sifatnya yang dogmatis” tidak sepenuhnya berlaku bagi Islam. Islam mengandung aspek kebenaran yang sifatnya qath’i (pasti) dan zhanni (dugaan), juga tsawabit (tetap) dan mutaghayyirat (dinamis). Kebenaran yang sifatnya qath’i menunjukkan tidak ada ruang perdebatan dan perbedaan bagi umat Islam. Berbeda dengan yang sifatnya zhanni yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama otoritatif.
Aspek tsawabit di sini mencakup di antaranya perkara keimanan dan ibadah, terutama dalam perkara ushul (mendasar) seperti rukun iman dan rukun Islam. Islam juga mengandung aspek yang sifatnya dinamis terutama berkaitan dengan perkara furu’ seperti shalat bagi yang dalam perjalanan, dan mengakomodir perkara yang sifatnya keduniaan yang mendatangkan maslahat (manfaat)13, seperti sains.
“Agama berawal dari keyakinan dan resisten terhadap perubahan, bersandar pada keimanan dan dogmatis serta bersifat subyektif dan emosional, sedangkan sains berawal dari keraguan dan setiap saat bisa mengalami perubahan dan selalu menguji hipotesis dan teorinya melalui pengalaman maupun eksperimennya, serta bertumpu pada fakta yang diamati dan bersifat obyektif rasional.”
Agama tidak resisten terhadap perubahan, sepanjang ia tidak menggugat perkara yang sifatnya ushul seperti perkara akidah, seperti mengakomodir budaya dan peradaban luar yang sejalan dengan Islam. Islam juga tidak sekadar subjektif, apalagi emosional. Malah, Islam itu subjektif dan objektif. Dalam Islam, pendekatan dalam memperoleh ilmu ialah pendekatan tauhidik; di antaranya menyatukan pendekatan rasional dan empiris14. Tidak seperti yang pernah terjadi di Barat ketika ada dua kutub saling bertentangan antara rasionalisme yang terlalu menekankan akal dan empirisisme yang terlampau menggunakan pengalaman empiris dalam mencari kebenaran15.
Berkenaan dengan akidah, ada satu kitab Syarah ‘Aqaid al-Nasafi karya Imam al-Taftazani yang pembahasan awalnya tentang epistemologi Islam: bagaimana cara memperoleh ilmu dan kebenaran dalam Islam. Disebutkan, “hakikat segala sesuatu ialah tetap, dan mengetahuinya itu pasti (mutahaqqiq), berbeda dengan kaum sufastha’iyyah, dan sumber-sumber ilmunya bagi makhluk ada tiga: indera yang sehat, khabar shadiq, dan akal.”16
“Untuk diketahui bahwa masa Reda Konflik Agama dan Sains mulai berlangsung pada abad 21.”
Islam tidak pernah mengalami konflik antara akal dan wahyu17. Munculnya konflik antara akal dan keyakinan, antara agama dan sains, baru terjadi di Barat. Saat otoritas Gereja abad pertengahan menghegemoni pemerintahan, para pendeta yang memiliki akses literatur filsafat Aristoteles mengalami guncangan intelektual, meskipun para cendekiawannya mencoba mengharmoniskan antara faith dengan akal seperti Thomas Acquinas dan St. Agustinus, hingga Immanuel Kant.
Pada perjalanan selanjutnya, geliat untuk mengamati fenomena alam semakin memuncak. Hal ini paling tidak kita temukan di masa Copernicus ketika ia menawarkan tesis bahwa pusat alam semesta bukan Bumi, melainkan matahari. Tesis tersebut juga diperkuat oleh temuan-temuan Kepler yang menggunakan data astronomi dari Tycho Brahe. Di bidang fisika dan biologi, kita menemukan buku Philosophiae Naturalis Principia Mathematica karya Isaac Newton dan The Origin of Species karya Charles Darwin sebagai bentuk revolusi saintifik di Barat18.
Paparan penulis tersebut bahwa Ibn al-Haytsam-lah yang membakukan metodologi sains adalah benar. Bahkan mendahului Bacon dan Descartes. Dari sisi penggunaan rasional dan empiris, ia mendahului Immanuel Kant. Omar dan Saud, sebagaimana yang dicatat oleh Usep Mohamad Ishaq, juga menemukan kaidah saintifik yang dipakai oleh Ibn al-Haytsam. Lebih dari itu, Ibn al-Haytsam bukan saja membakukan kaidah saintifik dalam penyelidikan alam, tetapi juga memiliki andil dalam mengembangkan etika, filsafat, juga kosmologi19.
Penutup
Beberapa tanggapan yang saya sampaikan di atas setidaknya bisa menjadi langkah selanjutnya bagi pembaca untuk menelusuri lebih dalam terkait sejarah sains, khususnya mengenai hubungan antara sains dan agama. Di sinilah pentingnya kita memahami sejarah sains – baik di dunia Barat, Yunani, maupun peradaban Islam – tidak hanya sekadar menambah wawasan, tetapi juga menjadi inspirasi, membangun pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terkait sains, tentunya dengan paradigma yang benar. Meskipun demikian, tetap harus diakui bahwa sains sebagai satu disiplin ilmu juga punya batasan.
Terkait diskursus hubungan agama dan sains, kita tidak cukup menelaahnya sekadar dari sisi ‘apa yang tampak oleh kita’ dan metodologi semata. Ia perlu melibatkan penelusuran filosofis, mendudukkan apa yang kita maksud sebagai agama, apa yang kita maksud sebagai sains. Karena itulah, dalam memandang wacana ini, tidak cukup hanya sekadar menghubungkan sains dengan agama menggunakan cocoklogi.
Catatan Kaki dan Referensi
1QS. Ali-‘Imran: 190-191.
2HR. Ibnu Majah.
3HR. Muslim.
4QS. Al-Mujadalah: 11.
5QS. Al-Ghasyiyah: 16-20; Al-Ghasyiyah: 16-20; dan lain-lain..
6QS. Muhammad: 19.
7Dulu sains (baik alam maupun sosial) masih masuk ke dalam rumpun ilmu filsafat. apa yang kita namakan sekarang sebagai sains alam dulunya disebut sebagai filsafat alam. Tidak heran dulu ketika disebut filsuf, ia juga termasuk saintis. Bisa dilihat di Kitab al-Munqidz min adh-Dhalal karya Imam al-Ghazali, juga Sains Modern: Asal-Usul, Revolusi, dan Profesionalisasi karya Cemil Akdogan dalam Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda.
8Ishaq, Usep Mohamad. Menjadi Saintis Muslim. Depok: Indie Publishing. 2014.
9Akicgenc, Alparslan. “A Holistic Approach to Scientifi Tradition.” Islam & Science, Vol 1, pp99-114. 2003.
10al-Ghazali, Abu Hamid. Agar Tak Salah Jalan: Otobiografi Intelektual Imam al-Ghazali (Teks, Terjemahan, dan Analisis) (al-Munqidz min adh-Dhalal). Terjemahan oleh Akhmad Rofii Damyati. Surabaya: InPAS. 2020.
11Bakar, Osman. “Agama dan Sains dalam Perspektif Islam.” in Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Jakarta: INSISTS. 2016.
12Guessoum, Nidhal. Memahami Sains Modern: Bimbingan Untuk Kaum Muda Muslim (terj.). Jakarta: PT. Qaf Media Kreativa. 2020.
13Tamam, Abas Mansur. Islamic Worldview: Paradigma Intelektual Muslim. Jakarta: Spirit Media Press. 2017.
14al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC. 1995.
15Daud, Wan Mohd Nor Wan. Budaya Ilmu: Makna dan Manifestasi dalam Sejarah dan Masa Kini. Kuala Lumpur: CASIS-UTM. 2019.
16Al-Taftazani, S. (2014). Syarah ‘Aqaid Al-Nasafiyah. Beirut-Lebanon: Dar Al-Ihya’ At-Turats Al-’Arabiy.
17Syarif, Nashruddin. “Konsep Ilmu dalam Islam”. in Filsafat Ilmu: Perspektif Barat dan Islam. Depok: Gema Insani. 2017.
18Dougherty, Edward R. The Evolution of Scientific Knowledge: From Certainty to Uncertainty. Washington: SPIE Press. 2016.
19Ishaq, Usep Mohamad. Filsafat Sains Menurut Ibn al-Haytham. Jakarta: Kencana. 2020.
Terima kasih informasi dan tambahannya