Asupan protein nabati umumnya dianggap sehat dan lebih aman dari protein hewani. Protein nabati memiliki kalori yang rendah dan mengandung vitamin kompleks, mineral serta serat makanan yang dapat membantu menurunkan resiko berbagai penyakit. Namun di masa mendatang akan semakin sulit menyediakan makanan nabati dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik untuk menyediakan kebutuhan populasi global yang meningkat. Pada tahun 2050 diperkirakan kebutuhan makanan nabati meningkat 60% dibandingkan yang di produksi hari ini [1]. Di lain sisi, intensitas kegiatan pertanian yang tinggi merupakan beban lingkungan, karena menyumbang sekitar 20-25% emisi global [5]. Pada tahun 2020 diperkirakan bahwa sistem pertanian secara keseluruhan berkontribusi 37% dari total emisi gas rumah kaca dan angka ini akan meningkat 30-40% pada tahun 2050 karena pertumbuhan populasi dan perubahan pola makan [8].
Berdasarkan alasan tersebut, diperlukan teknologi baru untuk mengurangi dampak negatif pertanian seperti emisi gas rumah kaca, ketergantungan pestisida kimia, degradasi tanah dan berkurangnya keanekaragaman hayati. Salah satu teknologi baru di bidang pertanian adalah teknologi kultur sel.
Perkembangan ilmu pengetahuan alam khususnya di bidang pertanian yang semakin meningkat mendorong lahirnya kultur sel. Kultur sel adalah suatu teknik kultur yang menggunakan sel tumbuhan yang telah dilepas bagian dinding selnya. Kultur sel dilakukan dengan mengisolasi sel tumbuhan secara mekanik maupun enzimatik dari hampir semua bagian tanaman dan menanamnya pada medium yang sesuai untuk perkembangan sel.
Metode kultur sel berdasarkan macam medianya antara lain menggunakan metode padat, semi padat dan metode cair. Metode cair memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode lainnya yaitu prosesnya yang cepat dan bisa digunakan pada bagain tanaman seperti suspensi sel.
Adalah kelompok penelitian Dr. Emilia Norlund dari VTT Technical Research Centre, Finlandia yang melakukan penelitian mengenai produksi makanan protein nabati yang sehat melalui teknologi kultur sel tanaman. Sel tanaman yang menjadi objek penelitian adalah tiga kultur sel spesies berry yaitu cloudberry ( Rubus chamaemorus), stoneberry ( Rubus saxatilis) dan lingonberry (Vaccinium Vitis-idaea) yang merupakan jenis berry yang memiliki kandungan protein dan antioksidan tinggi.
Di dalam penelitian ini, Dr. Emilia Norlund menggunakan metode padat dalam kultur sel yang diawetkan dalam nitrogen cair agar sel dapat membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Pada kultur spesies rubus yaitu cloudberry dan stoneberry menggunakan media MS (Murashige & Skoog) serta penambahan sukrosa, hormon kinetin dan NAA (asam naphthaleneacetic). Sedangkan pada kultur sel spesies Lingonberry menggunakan media WPM (woody plant medium), sukrosa serta penambahan hormon TDZ (Thidiazuron) dan NAA. Penggunaan media yang berbeda pada peneltian ini dikarenakan menyesuaikan jenis tanaman dan kecocokan kandungan makronutrien yang terdapat pada media MS dan WPM terhadap pertumbuhan ke tiga spesies berry. Buah berry dari spesies rubus merupakan jenis tumbuhan herba yang mana cocok dengan media MS. Sedangkan spesies lingonberry menggunakan media WPM karena lingonberry memiliki bagian tanaman yang keras dan berkayu. Penambahan NAA diketahui berperan aktif dalam deferensiasi sel. NAA (asam naphthaleneacetic) adalah golongan akusin yang berfungsi menginduksi dalam pembelahan sel dan inisiasi akar. Sementara itu, penambahan kinetin berfungsi dalam pertumbuhan tunas. Penamabahan NAA dan kinetin dengan konsentrasi yang seimbang dalam kultur sel diharapkan terjadi pembelahan sel yang dapat menstimulasi pembentukan tunas [4]. Sedangkan dalam kultur spesies lingonberry penambahan TDZ (Thidiazuron) berfungsi untuk pembentukan tunas dan morfogenesis. Kombinasi TDZ dan NAA diketahui dapat mempercepat regenasi sel [6].
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kultur sel buah berry memiliki serat makanan bervariasi antara 21-36%, kadar pati antara 0,3-1,3% kadar glukosa dan fruktosa antara 17,6 33%(Nordlund et.al., 2018). Komposisi asam amino dianalisis untuk mendapatkan kandungan protein dan profil asam amino dari sampel kultur sel tumbuhan. Analisi asam amino menunjukkan bahwa sel cloudberry memiliki kandungan asam amino tertinggi yaitu sebesar 18,9% , sel stoneberry memiliki kandungan protein 15.7% dan sel lingonberry memiliki kandungan protein terendah (13,7%) yang dihitung berdasarkan kadar asam amino [3].
Sel sel tanaman kultur sel buah bery terbukti memiliki nilai nutrisi yang tinggi bahkan lebih daripada buah-buahan. Kandungan asam amino esensial kultur sel buah berry dilaporkan lebih tinggi daripada kedelai. Asam amino esensial memiliki peran penting bagi kesehatan otoT, tulang dan jaringan. Kandungan serat berkisar antara 21 sampai 37%, yang mana lebih tinggi dari sereal. Semua sampel memiliki asam lemak tak jenuh yang tinggi. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa kultur sel memiliki kandungan polifenol yang tinggi yang mana baik untuk kesehatan [7].
Studi penelitian kultur sel buah berry mengungkap potensi besar teknologi kultur sel dalam bidang pertanian. Semua kultur sel yang telah diuji menunjukkan senyawa penting dan protein berharga secara kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian kultur sel membuka banyak cara untuk diaplikasikan dalam bidang pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alexandratos, N., & Bruinsma, J. 2012. World agriculture towards 2030/2050: the 2012 revision. ESA Working. 12-03.
[2] Esitken A, Ercisli A., Yildiz H., & Orhan E. 2008. Does Climate Change Have An Effect On Strawberry Yield In Colder Growing Areas. Euroberry Research. Germany: 838.
[3] Nordlund E., Lille M., Silventoinen P., Nygren H., Seppänen T. L, Mikkelson A., Marja Aura A., Heiniö, A. R., Nohynek L., Puupponen-Pimiä R., Rischer H. 2018. Plant Cells As Food A Concept Taking Shape. VTT Technical Research Centre.Finland.
[4] Harjadi, S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Penebar swadaya. Bogor
[5] Olivier, J.G.J., Janssens-Maenhout, G., Muntean, M., & Peters, J.A.H.W. 2013. Trends in global CO2 emissions: Report, The Hague, PBL.
[6] Olah R, Szegedi E, Ruthner S, & Korbuly J. 2003. Thidiazuron-induced regeneration and genetic transformation of grapevine rootstock varieties. Vitis, 42(4): 207-207.
[7] Suvanto,J., Nohynek, L., Seppänen-Laakso, T., Rischer, H., Salminen, J. K., Pimiä R. P. 2017. Variability in the production of tannins and other polyphenols in cell cultures of 12 Nordic plant species. Planta, 246 (2): 227
[8] Saran Ilmu Pengetahuan untuk Kebijakan oleh Akademi Eropa 2020. Sistem pangan berkelanjutan untuk Uni Eropa. Berlin: SAPEA. 39.
Seorang Mahasiswa Biologi yang sedang mendalami bidang Kultur jaringan Tumbuhan dan Mikrobiologi.