Awal Mula
Sekitar 60 tahun yang lalu, perusahaan farmasi Jerman Barat dengan nama Chemie Grünenthal GmbH mengembangkan sebuah obat sedasi atau penenang yang diberi nama Thalidomide, yang kemudian digunakan secara masif untuk mengobati berbagai macam hal mulai dari demam, flu, mual, hingga morning sickness pada wanita hamil.
Pada percobaan awal, peneliti menemukan bahwa mustahil untuk menguji coba obat ini hingga mencapai dosis mematikan bagi hewan, sehingga obat ini dianggap aman untuk digunakan pada manusia. Hingga kemudian, pada tahun 1956 obat ini dilisensikan sebagai obat OTC (over-the-counter) atau obat warung yang tidak memerlukan resep dokter di Jerman. Yang kemudian diikuti oleh 46 negara lain.[1]
Thalidomide dan Kehamilan
Pada tahun 1950-an, para ilmuwan tidak mengetahui bahwa efek dari suatu obat dapat menembus dinding plasenta dan mengganggu janin di dalam rahim sehingga penggunaan obat pada saat hamil tidak dikendalikan dengan ketat. Dan pada kasus thalidomide, tidak ada uji yang berkaitan dengan wanita hamil sebelum diberikan izin atas keamanan penggunaannya.
Dibutuhkan 5 tahun untuk mendapatkan pemahaman bahwa ada hubungan antara thalidomide yang diminum oleh wanita hamil dan dampak pada bayi mereka. Peringatan dari pemerintah Inggris baru dikeluarkan pada bulan Mei 1962. Hal ini disebabkan oleh luasnya dampak yang diberikan oleh obat ini terhadap perkembangan janin mulai dari bagian ekstremitas, organ dalam, hingga sistem persarafan janin dapat terdampak oleh obat ini dan presentasinya mirip dengan cacat lahir bawaan lain.
Hubungan antara thalidomide dengan cacat lahir bawaan pertama kali dipublikasikan melalui sebuah surat pada jurnal The Lancet oleh seorang dokter kandungan Australia William McBride pada Desember 1961.
Efek Setelahnya
Obat ini kemudian ditarik secara formal oleh distributor-distributor Inggris, akan tetapi obat yang sudah tersebar di masyarakat dan tersebar dalam berbagai merk dagang tidak dapat ditarik secara keseluruhan. Pada beberapa tahun setelahnya, diperkirakan dengan jumlah obat yang tersedia di masyarakat terdapat 10.000 bayi yang terdampak oleh obat ini di seluruh dunia. Sekitar setengahnya meninggal beberapa bulan setelah dilahirkan, bayi yang lahir dan selamat hidup dengan kecacatan akibat dari dampak obat ini.
Kemarahan Masyarakat
Pada tahun 1962 dibentuklah Thalidomide Society oleh sekumpulan orang tua dari anak-anak yang terdampak oleh thalidomide. Hingga kemudian membawa Chemie Grünenthal pada tahun 1968 menuju persidangan, kasus ini diselesaikan di luar persidangan dengan kesepakatan untuk mengompensasi semua orang yang terdampak oleh obat ini. Tidak ada yang dinyatakan bersalah dalam kasus ini.
Di tahun yang sama, perusahaan distributor obat ini yaitu Distillers Company juga mencapai kesepakatan untuk mengompensasi semua orang yang terdampak oleh obat ini, ditambah kompensasi yang diberikan dari Pemerintah Inggris dengan jumlah sebesar 80.000.000 Euro yang pembayarannya dilakukan secara bertahap selama 10 tahun.[5]
Konsekuensi Dari Tragedi
Thalidomide membuat pemerintah dan otoritas medis harus membahas ulang kebijakan dalam perilisan obat kepada masyarakat. Sebagai hasilnya, baik di Inggris dan di seluruh dunia terjadi perubahan kebijakan yang besar terkait keamanan obat.
Salah satu perubahan penting yang dibahas yaitu obat-obatan tidak lagi diperbolehkan untuk hanya diuji coba pada hewan dan juga harus melewati uji keamanan untuk wanita hamil. Selain itu, obat mulai diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu obat yang hanya boleh diberikan jika ada resep, obat tanpa resep, tetapi hanya dapat ditemukan di apotik, dan obat tanpa resep yang bisa didapatkan dimana saja.
Selain itu, obat ini juga mengajarkan bagaimana spesies selain mencit dapat dilakukan sebagai hewan uji coba dalam uji keamanan obat.
Yellow Card Scheme
Pada tahun 1964, setelah tragedi thalidomide. Bill Inman seorang klinisi Inggris mengembangkan Yellow Card Scheme bersama Medicines and Healthcarde products Regulatory Agency (MHRA) dan Commission on Human Medicines (CHM). Skema ini digunakan oleh seluruh warga Inggris agar dapat melaporkan efek samping, insiden dalam penggunaan alat medis, obat yang defektif, hingga obat palsu yang tersebar di masyarakat.
Adapun efek samping yang dapat dilaporkan meliputi efek samping yang terjadi pada anak-anak, pasien dengan usia lebih dari 65 tahun, vaksin, interaksi dengan obat lain, obat-obatan herbal, atau pada wanita hamil.[6]
Dengan cara ini semua orang dapat melaporkan efek samping dari obat yang dikonsumsi dan menciptakan keamanan, bentuk yang sama juga dilakukan oleh FDA di Amerika dengan nama MedWatch.
Referensi :
1. Thalidomide. (n.d.). Retrieved December 27, 2020, from https://www.sciencemuseum.org.uk/objects-and-stories/medicine/thalidomide
2. Thaliomide Advertisement. (n.d.). Retrieved December 27, 2020, from http://www.bonkersinstitute.org/medshow/thalidomide.html
3. Mcbride, W. G. (1961). THALIDOMIDE AND CONGENITAL ABNORMALITIES. The Lancet, 278(7216), 1358. doi:10.1016/s0140-6736(61)90927-8
4. https://allthatsinteresting.com/thalidomide-babies diakses pada 28 Desember 2020.
5. https://www.independent.co.uk/life-style/health-and-families/health-news/government-s-ps80m-victims-thalidomide-still-no-apology-8427855.html diakses pada 28 Desember 2020.
6. https://www.gov.uk/guidance/the-yellow-card-scheme-guidance-for-healthcare-professionals diakses pada 28 Desember 2020.