Waspadai Pola Makan Kurang Serat

Jika diperhatikan para penjual jajanan disekitar kita maka dapat dipastikan beberapa pedagang pangan cepat saji turut serta diantaranya. Keberadaan pangan […]

blank

Jika diperhatikan para penjual jajanan disekitar kita maka dapat dipastikan beberapa pedagang pangan cepat saji turut serta diantaranya. Keberadaan pangan cepat saji tentu sangat memudahkan bagi mereka yang tidak sempat memasak di rumah karena segudang aktivitas yang padat. Namun kenyataannya tidak semua pangan cepat saji menyediakan nutrisi yang memadai bagi tubuh kita. Pangan cepat saji atau  fast food dinyatakan sebagai pangan yang diperoleh dari luar rumah dengan penyajian cepat dan siap untuk dikonsumsi atau pangan yang tidak memerlukan waktu lama sejak dipesan hingga disajikan [1,2]. Junk food merupakan salah satu jenis pangan cepat saji yang istilah tersebut diciptakan oleh Michael Jacobson, seorang direktur Center for Science pada tahun 1972 guna meningkatkan perhatian masyarakat terhadap masalah makanan berkalori tinggi dan rendah nilai gizi. Junk food kaya akan gula, tepung putih (refined), lemak trans, dan monosodium glutamat (MSG) namun rendah vitamin, dan serat [3].

Tak jarang pangan cepat saji disekitar kita dibanderol dengan harga terjangkau. Sangat menggiurkan, bukan? Konsumsi pangan cepat saji jenis junkfood tentu tidak salah, namun diperlukan kesadaran untuk mengatur pola makan serta upaya memperluas wawasan tentang gizi seimbang. Gizi seimbang merupakan asupan pangan harian dengan kandungan gizi yang sesuai kebutuhan tubuh baik jenis, ragam, maupun jumahnya yang dibarengi upaya mempertahankan berat badan normal, olahraga, dan hidup bersih [4]. Konsumsi pangan cepat saji secara masif tanpa asupan serat memberikan ketidakseimbangan dalam metabolisme tubuh. Hal ini semakin diperparah dengan gaya hidup tak sehat misalnya kurang olahraga serta kebiasaan duduk lama, yang memperbesar peluang terjadinya konstipasi (sulit buang air besar). Apabila konstipasi dibiarkan begitu saja tanpa perbaikan gaya hidup dan pola makan, maka berpotensi mengakibatkan wasir atau ambien atau hemorrhoid (istilah medis) sejak usia dini hingga mencapai level paling parah yang berdampak pada penurunan produktivitas kerja.

Hemorrhoid dapat terjadi pada wanita hamil, juga faktor usia (disebabkan melemahnya jaringan pada saluran pencernaan bagian bawah), genetik, serta kebiasaan mengejan yang berkepanjangan. Hemorrhoid disebabkan karena melebarnya pembuluh darah vena pada bagian anus yang berfungsi sebagai katup, sehingga konsumsi makanan berserat dan air putih secara teratur adalah salah satu cara yang dapat membantu mencegah pelebarannya sekaligus memudahkan  pengeluaran feses [5, 6].

blank
ilustrasi konstipasi (sumber: pesanlab.com)

Saat konsumsi serat harian kurang maka tak jarang menyebabkan kita mengejan saat proses buang air besar (BAB). Apabila hal ini berlangsung terus menerus maka dapat menyebabkan pembuluh darah di anus mengalami pelebaran akibat besarnya tekanan dari dalam untuk mengeluarkan feses. Jika dibiarkan terus menerus maka akan ada saatnya pembuluh darah tersebut membentuk tonjolan daging terjepit keluar yang tidak dapat dimasukkan lagi ke dalam anus. Upaya mengonsumsi serat pada kondisi tersebut hanya berfungsi memudahkan pengeluaran feses, tidak mengembalikan kondisi normal pada anus. Hemorrhoid terdiri atas empat tingkatan mulai dari paling ringan, hingga yang paling parah dan tak jarang membutuhkan prosedur pembedahan untuk menangani tonjolan daging yang terlanjur terbentuk. Hal ini ditandai dengan rasa nyeri disertai keluarnya darah segar dari anus saat proses BAB [7]. Tentu proses BAB menjadi hal yang dilematis bagi mereka dengan asupan serat harian rendah bahkan tidak ada, sebab proses BAB akan memicu sakit yang luar biasa dan jika tidak dikeluarkan maka akan memicu penyakit lain akibat menumpuknya kotoran di saluran pencernaan bagian bawah.

Serat berdasarkan kelarutannya dibagi atas serat larut dan serat tidak larut. Setiap buah-buahan mengandung serat tidak larut dan serat larut namun dengan komposisi serta aktivtas fungsional yang berbeda terhadap kesehatan kita. Serat larut berperan untuk menurunkan kadar kolesterol darah dan menurunkan penyerapan glukosa dalam darah. Selain itu juga berperan dalam meningkatkan lama pengosongan lambung sehingga menimbulkan perasaan kenyang lebih lama [8,9]. Komponen serat larut adalah pektin yang banyak ditemukan pada buah-buahan, legum, dan kentang, sedangkan komponen serat tidak larut yaitu selulosa, hemiselulosa, dan  senyawa kompleks non karbohidrat yaitu lignin [10].

blank
ilustrasi buah-buahan segar (sumber: bilgi-aramak.tr.gg)

Serat tidak larut berkaitan dengan fungsinya untuk menyerap air pada saluran pencernaan bagian bawah, meningkatkan massa feses, dan mengurangi waktru transit feses di kolon atau usus besar sehingga lebih cepat dikeluarkan (efek laksatif) [11]. Pada kondisi normal, sel-sel pada permukaan kolon kita akan menyerap air dari zat sisa sari-sari makanan sehingga menyisakan partikel besar yang nantinya akan membentuk feses. Adanya gerakan peristaltik kolon akan membawa feses menuju rektum [12]. Namun penyerapan air dikolon akan membuat feses mengeras dan sulit untuk dikeluarkan melalui rektum sehingga konsumsi serat melalui buah dan sayur akan sangat berguna terkhusus komponen serat tidak larut yang bersifat menyerap air dengan analogi layaknya spons cuci piring.

Hasil penelitian in vivo pada tikus menunjukkan bahwa tepung pepaya (Carica papaya) mampu mencegah konstipasi dan memberikan efek laksatif dengan memperbesar volume feses sekaligus melunakkannya [12]. Penanganan dan pengujian aktivitas fungsional tepung pepaya menjadi sangat berguna apabila dijadikan ingredient suatu produk pangan yang tentunya membutuhkan penelitian lanjutan terkait aktivitasnya apabila telah  menyatu dengan ingredient pangan yang lain. Namun untuk merasakan manfaat serat buah pepaya harian tentu tak perlu hingga menunggu buah pepaya menjadi tepung, kita dapat mengonsumsinya dalam bentuk buah pepaya segar. Buah mengkal meskipun memiliki efek laksatif lebih tinggi [12, 13]  namun kita tidak dapat memungkiri bahwa kenikmatan lidah tetap pilihan nomor satu, sehingga mengonsumsi buah yang matang dengan rasa yang cukup manis tidak memudarkan perannya sebagai salah satu sumber asupan serat harian. Badan kesehatan dunia (WHO) telah menganjurkan konsumsi buah dan serat sehari-hari untuk mencapai titel hidup sehat. Hal ini dapat dicapai dengan konsumsi 400 gram per orang per hari yang terdiri atas 250 gram sayur (2 gelas sayur yang telah dimasak atau ditiriskan) dan 150 gram buah (setara dengan 3 pisang ambon yang berukuran sedang ataupun 1 potong pepaya ukuran sedang atau dengan konsumsi 3 buah jeruk yang berukuran sedang). Terkhusus untuk orang dewasa dianjurkan untuk mengonsumsi sebanyak 400-600 gram per orang per hari [14]. Adapun tabel kandungan serat disetiap 100 gram beraneka buah-buahan disajikan pada Tabel 01.

Tabel 01. Komponen air dan profil serat aneka buah-buahan India [15]

blank

Porsi yang dianjurkan WHO tentunya masih dalam batas yang wajar sebab apabila konsumsi serat berlebihan maka dapat memberikan efek yang kurang nyaman seperti buang angin yang berlebihan dan perut kembung [16]. Aneka buah dengan rasa yang ramah dilidah dan khasiatnya untuk memudahkan proses BAB patut menjadikannya salah satu menu makanan andalan setiap harinya. Apalagi sangat mudah ditemukan disekitar kita dengan harga yang murah meriah. Oleh karena itu sebelum terlambat yuk, kita mulai gencarkan gaya hidup sehat serta konsumsi serat harian secara rutin dimulai dari sekarang. Sudah makan buah dan sayur hari ini?

Referensi.

[1] Das JC. 2015. Fast food consumption in children: A Review. iMedPub Journal. 1(1).

[2] Indriawati R. Soraya F. 2009. Hubungan konsumsi makanan cepat saji dan tingkat aktivitas fisik terhadap obesitas pada kelompok usia 11-13 tahun. Jurnal  Mutiara medika. 9(2):121-128

[3] Rajveer B,  Monika O. 2012. Review. Junk food: Impact on health. Journal of Drug Delivery & Therapeutics. 2(3):67-73.

[4] Kementerian Kesehatan. 2014. Pedoman gizi seimbang. http://gizi.depkes.go.id/download/pedoman%20gizi/pgs%20ok.pdf. Diakses pada tanggal 16 Februari 2019.

[5] Sanchez C, Chinn BT. 2011. Hemorrhoids. Clin. Colon Rectal Surg. 24(1):5-13.

[6] Sudarsono SF. 2015. Diagnosis dan penanganan hemoroid. J Majority. 4(6):31-34.

[7] Syamsuhidayat R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.

[8] Angiolone A, Collar C. 2011 Physicochemical and nutritional properties of reduced-caloric density high-fibre breads. LWT- Food Science and Technology. 44:747-758.

[9] El Khoury D, Cuda C, Luhovyy BL, Anderson GH. 2012. Review article: Beta glucan: Health benefits in obesity and metabolic syndrome. Journal of Nutrition and Metabolism. 851362. 1-28.

[10]   Dhingra D, Michael M, Rajput H, Patil RT. 2012. Dietary fibre in foods: a review. J Food Sci. Technol. 49(3):255-266.

[11] Perry JR, Ying W. 2016. A review of physiological effects of soluble and insoluble dietary fibers. J Nutr Food Sci. 6:476.

[12] Widyastuti TEW, Srianta I, Lestari LA. 2008. Tepung pepaya (Carica papaya) sebagai pencegah konstipasi: kajian In Vivo pada Caecum dan feses tikus Sprague Dawley. Journal of Natural Medicine. 7(1): 76-83.

[13] Devaki CS, Samreen F, Prakash J. 2015. A review on composition, processed products and medicinal uses of papaya (Carica papaya L.)  International Journal of Food, Nutrition and Dietetics. 3(3):109-117.

[14]   Depkes 2017 Hari gizi nasional 2017: Ayo makan sayur dan buah setiap hari. http://www.depkes.go.id/pdf.php?id=17012600002. Diakses pada  Januari 2019.

[15] Ramulu P, Rao PU. 2003. Total, insoluble, and soluble dietary fiber contents of Indian fruits. Journal of food composition and analysis. 16:677-685.

[16] Briet F, Achour L, Flourie B, Beaugerie L, Pellier P, Franchisseur C, Bornet F, Rambaud JC. Symptomatic response to varying levels of fructo-oligosaccharides consumed occasionally or regularly. Eur J Clin Nutr. 49(7):501-507.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *