Sulawesi Utara Terancam Wabah Virus Zoonosis?

Oleh: Ageng Wiyatno Seorang pemburu paruh baya, berbadan besar dan bertato meringis sambil memalingkan wajahnya ke tirai pembatas laboratorium darurat di […]

blank

Oleh: Ageng Wiyatno

Seorang pemburu paruh baya, berbadan besar dan bertato meringis sambil memalingkan wajahnya ke tirai pembatas laboratorium darurat di rumah kepala Desa Dumoga. Kulitnya yang legam penuh bekas luka gores menyiratkan jejak sepak terjangnya di alam liar. Telapak tangannya dingin dan berkeringat, di lengannya yang tersandar di atas bantal tertancap sebatang wing needle, sebuah benda mirip jarum suntik untuk mengambil darah. Darah merah kehitaman yang tersalur ke sebuah tabung bertutup kuning membuat pemburu semakin gugup dan tidak tenang. “Bapak takut jarum?” tanya seorang laki-laki berjas biru dengan masker dan kacamata pelindung yang tengah duduk di hadapannya. “Iyo” jawab pemburu sambil sedikit mengangguk, “Ini kan cuma jarum Pak, kenapa takut? kan Bapak biasa tangkap Paniki, Patola, Yaki* dan Babi utang Pak? Memangnya mereka ndak gigit? Kalau digigit mereka kan lebih sakit”, “Dari SD kita so takut jarum Pak, kita ja ba lari kalau ada dokter ba vaksin di sekolah, kita baru kali ini ditusuk Pak” ujar pemburu, “Syukur itu hewan-hewan ndak bawa jarum ya Pak”. Serentak dua peneliti lain di ruangan itu tertawa mendengar guyon bapak bertutup kepala hijau, sedangkan pemburu hanya tersenyum-senyum sambil menahan rasa nyeri di lengannya.

blank

Gambar 1. Suasana pengambilan sampel di laboratorium darurat rumah Kepala Desa Dumoga. Sumber: dokumentasi pribadi

Pak pemburu tinggal di desa Dumoga, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Beliau sedang berpartisipasi dalam penelitian yang bertujuan untuk mencari virus yang ditularkan dari hewan (zoonosis) dan mengamati hubungannya dengan perilaku manusia. Desa Dumoga terpilih sebagai salah satu dari tiga desa lain yang menjadi target penelitian karena penduduknya banyak berprofesi sebagai pemburu hewan liar termasuk kelelawar, tikus, kucing, anjing, ular, babi hutan, monyet, biawak dan anoa/sapi hutan. Seperti beberapa wilayah lain di Sulawesi Utara, mereka mengolahnya menjadi hidangan lezat, terutama saat hari-hari perayaan. Bagi sebagian besar penduduk Indonesia binatang-binatang itu tidak lazim dikonsumsi, tapi bagi penduduk Minahasa, itu adalah warisan budaya turun temurun. Jadi jangan heran kalau di pasar tradisional minahasa kita bisa menemukan banyak hewan-hewan yang tidak biasa di jual di pasar tradisional lainnya (Gambar 2).

blank

Gambar 2. Pasar kuliner ekstrim yang menjual hewan-hewan liar untuk konsumsi di Sulawesi Utara. Sumber: koleksi pribadi dan liputan6.com

Komunitas pemburu dipilih karena memiliki resiko yang tinggi untuk terpapar zoonosis dibandingkan profesi lain. Mulai dari menangkap hingga mengolah hewan sebelum dimasak, pemburu memiliki banyak resiko tertular penyakit, mereka bisa digigit, dicakar, menghirup debu dari hewan, ataupun kontak dengan air liur dan darahnya. Jika di hewan terdapat virus, maka virus ini bisa menular ke pemburu lewat jalur-jalur tadi. Pemburu yang terpapar bisa sakit atau tidak menunjukan gejala sama sekali. Virus kemudian bisa menyebar di aliran darah dan bagian tubuh lainnya seperti saluran pernafasan dan pencernaan. Sistem kekebalan tubuh akan melawan virus ini dan akan membuat sel-sel yang bisa mengingat “wajah” virus ini. Tujuannya agar sistem imun bisa mengenal dan lebih efektif melawan virus yang sama di kemudian hari. Memori ini akan tersimpan di dalam darah pemburu dan bertahan hingga beberapa tahun, atau bahkan seumur hidup. Melalui uji laboratorium, jenis virus yang sedang menyerang bisa dideteksi. Selain itu, jejak-jejak virus yang pernah ditemui oleh pemburu juga bisa diidentifikasi meskipun infeksinya sudah lama terjadi sebelum pengambilan sampel. Informasi seperti ini yang dibutuhkan oleh peneliti-peneliti tadi untuk mengetahui adanya infeksi zoonosis di Sulawesi Utara.

Penelitian zoonosis dilakukan karena bukti-bukti ancaman zoonosis semakin nyata yang menjadi kekhawatiran dunia. Virus-virus baru bermunculan selama 20 tahun terakhir, sebut saja Hendra, Nipah, Hanta, SARS, MERS-CoV, Influenza H5N1, Ebola, dan Zika, sebagai dampak dari perubahan lingkungan akibat pola hidup manusia (1). Wabah bukan hanya menyebabkan tingginya jumlah penyakit dan kematian penduduk tapi juga bisa menghancurkan perekonomian suatu negara. Sejarah mencatat kasus Flu Spanyol 1918 yang menyebabkan kematian dari 1/3 total penduduk eropa pada saat itu, atau sekitar 100 juta jiwa dalam 12 bulan. Angka ini melebihi jumlah korban jiwa dari perang dunia ke-2 dan sekaligus tercatat sebagai bencana alam dengan jumlah kematian terbanyak sepanjang sejarah (2).

Pada awal milenium ketiga, terjadi wabah virus Nipah di Malaysia yang menyebabkan pemusnahan masal jutaan babi di daerah tersebut. Tidak lama setelahnya, kasus flu burung dilaporkan di beberapa negara termasuk Indonesia. Meskipun korban jiwa tidak begitu banyak, tapi kerugian ekonomi akibat pemusnahan unggas, penurunan export-import dan nilai konsumsi ditaksir mencapai lebih dari 4.3 triliun. Masih pada periode yang sama, SARS dan MERS-CoV menyebar sangat cepat ke tidak kurang dari 25 negara dan menyebabkan kematian setidaknya 1.500 orang dari 10.000 kasus yang dilaporkan dari seluruh dunia (3,4). Selanjutnya, wabah Ebola di Afrika pada tahun 2013 yang menyebabkan 11.323 kematian (5). Wabah virus zoonosis seperti ini diperkirakan akan terus berlanjut dan silih berganti di tahun-tahun yang akan datang. Melihat resiko dari angka kematian dan kerugian negara terdampak yang begitu besar, penelitian virus zoonosis menjadi sangat penting. Seandainya, peneliti bisa mendeteksi virus zoonosis lebih dini sebelum menyebar di manusia, maka persebaran penyakit seperti HIV AIDS bisa dicegah melalui penanganan dan pengendalian penyakit yang lebih efektif (Gambar 3)(6).

blank

Gambar 3. Salah satu contoh manfaat deteksi dini penyakit pandemic influenza, pemerintah bisa segera melakukan intervensi untuk mengendalikan wabah sehingga menurunkan jumlah korban. Jumlah korban lebih banyak pada kurva tanpa intervensi (ungu), dan lebih sedikit jika segera melakukan intervensi (biru). Sumber : CDC Atlanta Georgia

Para peneliti sudah mengetahui bahwa virus seperti Ebola, Nipah, Rabies, SARS, MERS-CoV dan Influenza ditularkan dari binatang, namun fakta yang mengejutkan adalah hampir semua virus-virus ini telah ditemukan di kelelawar, atau orang Manado sebut “Paniki”. Sepertinya kelelawar memiliki peran yang penting sebagai sumber penyakit zoonosis (7). Jejak virus Nipah yang beberapa hari lalu dilaporkan merenggut 10 korban jiwa di Kerala, India (8) ternyata sudah dilaporkan bersirkulasi di kelelawar di daerah Sumatera (9), sedangkan jejak Filovirus yang merupakan keluarga dari virus Ebola juga terdeteksi di tiga jenis populasi kelelawar di Singapura (10). Virus Hanta juga banyak ditemukan di spesies tikus Indonesia, tapi tidak di manusia (11). Virus-virus zoonosis seperti itu menunggu untuk kita temukan, dan memang harus ditemukan sebelum mereka yang “menemukan” kita.

Penelitian zoonosis di Indonesia masih sangat terbatas, padahal katanya Indonesia adalah hotspot bagi kemunculan virus zoonosis (1,12). Alasannya masuk akal, Indonesia kaya akan biodiversitas hayati, artinya potensi keanekaragaman virusnya juga melimpah. Masih banyak hutan perawan di Indonesia yang belum terjamah yang mungkin disana adalah tempatnya virus-virus unik bersirkulasi di antara hewan-hewan penghuni hutan. Disisi lain, seiring meningkatnya jumlah penduduk, exploitasi alam pun meningkat akibat tingginya kebutuhan lahan baru untuk pertanian, perkebunan dan pertambangan. Pembakaran hutan terjadi setiap tahun sehingga hewan-hewan (termasuk serangga yang membawa virus) kehilangan habitat alaminya. Akhirnya hewan itu bergerak mendekat ke wilayah pemukiman dan hidup berdampingan dengan manusia. Peningkatan jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan protein yang berdampak pada peningkatan jumlah produksi ternak. Banyaknya hewan ternak memberikan peluang bagi virus untuk menginfeksi inang yang baru, contohnya pada kasus flu burung dan virus Nipah. Selain itu, faktor budaya berburu dan mengonsumsi hewan liar di beberapa wilayah Indonesia yang diduga turut menyumbang resiko penularan zoonosis. Kombinasi semua faktor-faktor ini adalah resep yang pas untuk hotspot kemunculan virus zoonosis.

Indonesia bukan hanya hotspot untuk kemunculan virus zoonosis, tapi juga memiliki posisi yang penting jika terjadi penyebaran virus. Hal ini terkait dengan letak geografis Indonesia yang strategis sebagai penghubung dua benua. Frekuensi penerbangan di Indonesia yang semakin tinggi, dan pertukaran komoditas antarnegara membuka kesempatan bagi virus zoonosis untuk menyebar ke wilayah geografis yang jauh. Zoonosis di satu daerah bisa menyebar ke belahan dunia lain dalam waktu kurang dari 24 jam, seperti yang terjadi pada kasus SARS dan MERS. Hal ini bukan hanya sekedar teori, bukti yang baru-baru ini dilaporkan adalah terdeteksinya hantavirus di pasien berusia 70 tahun di Jerman yang diduga terinfeksi ketika tinggal Sulawesi (13), ironisnya di Indonesia sendiri belum ada laporan tentang infeksi hantavirus di manusia.

Lantas apa yang perlu dilakukan untuk mencegah wabah zoonosis. Indonesia harus memperkuat sistem surveilans di daerah-daerah yang rawan akan kemunculan virus dengan cara membangun kemampuan untuk mendeteksi dan mengarakterisasi virus zoonosis. Selain itu, infrastruktur kesehatan dan sistem pelaporan kejadian luar biasa/ wabah di daerah harus diperkuat untuk dapat menangani kasus infeksi menular. Hal yang paling penting adalah kerjasama lintas instansi dalam mencegah dan mengendalikan penyakit atau yang dikenal sebagai konsep One Health. Misalnya, kerjasama penelitian antara laboratorium di Indonesia yang sudah memiliki kemampuan untuk mengarakterisasi virus dengan rumah sakit dalam mengidentifikasi penyakit infeksi yang tidak diketahui penyebabnya.

Kembali ke cerita pemburu dan makanan eksotik di Sulawesi Utara. Apakah benar bahwa budaya memakan hewan liar di Sulawesi Utara berhubungan dengan kemunculan virus baru? Hanya waktu yang bisa menjawab, karena saat ini tidak kurang dari 4000 sampel klinik dari 600 peserta penelitian sedang diproses dan menunggu hasil uji laboratorium di Jakarta. Mungkin para peneliti itu akan menemukan virus baru yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, atau sebaliknya, di Sulawesi Utara tidak ada virus zoonosis yang muncul meskipun disana ada budaya berburu dan mengonsumsi hewan liar. Mungkin karena mereka memasak hewan-hewan itu hingga matang sempurna, tapi kalaupun virusnya masih ada, mereka lebih dulu mati terpapar bumbu pedas khas masakan Manado.

*paniki = kelelawar pemakan buah; patola = ular jenis sanca berukuran besar; yaki = monyet hitam sulawesi Macaca nigra

Referensi

  1. Allen T, Murray KA, Zambrana-Torrelio C, Morse SS, Rondinini C, Di Marco M, et al. Global hotspots and correlates of emerging zoonotic diseases. Nat Commun [Internet]. 2017 Oct 24 [cited 2018 May 21];8. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5654761/
  2. History of 1918 Flu Pandemic | Pandemic Influenza (Flu) | CDC [Internet]. 2018 [cited 2018 May 21]. Available from: https://www.cdc.gov/flu/pandemic-resources/1918-commemoration/1918-pandemic-history.htm
  3. Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV) [Internet]. World Health Organization. [cited 2018 May 21]. Available from: http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/middle-east-respiratory-syndrome-coronavirus-(mers-cov)
  4. SARS | Basics Factsheet | CDC [Internet]. 2017 [cited 2018 May 21]. Available from: https://www.cdc.gov/sars/about/fs-sars.html
  5. Coltart CEM, Lindsey B, Ghinai I, Johnson AM, Heymann DL. The Ebola outbreak, 2013–2016: old lessons for new epidemics. Philos Trans R Soc B Biol Sci [Internet]. 2017 May 26 [cited 2018 May 21];372(1721). Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5394636/
  6. Burkle FM, Williams A, Kissoon N, Task Force for Pediatric Emergency Mass Critical Care. Pediatric emergency mass critical care: the role of community preparedness in conserving critical care resources. Pediatr Crit Care Med J Soc Crit Care Med World Fed Pediatr Intensive Crit Care Soc. 2011 Nov;12(6 Suppl):S141-151.
  7. Wiyatno A, Pangesti K. Interaksi Kelelawar dan Manusia : Potensi Zoonosis di Indonesia. J Vektora [Internet]. Available from: ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/vk/article/download/6741/5348
  8. Biswas S. Deadly Nipah virus claims victims in India. BBC News [Internet]. 2018 May 21 [cited 2018 May 22]; Available from: http://www.bbc.com/news/world-asia-india-44193145
  9. Sendow I, Field HE, Curran J, Morrissy C, Meehan G, Buick T, et al. Henipavirus in Pteropus vampyrus Bats, Indonesia. Emerg Infect Dis. 2006 Apr;12(4):711–2.
  10. Al EDL et. Serologic Evidence of Fruit Bat Exposure to Filoviruses, Singapore, 2011–2016 – Volume 24, Number 1—January 2018 – Emerging Infectious Disease journal – CDC. [cited 2018 May 21]; Available from: https://wwwnc.cdc.gov/eid/article/24/1/17-0401_article
  11. Plyusnina A, Ibrahim I-N, Plyusnin A. A newly recognized hantavirus in the Asian house rat (Rattus tanezumi) in Indonesia. J Gen Virol. 2009 Jan;90(Pt 1):205–9.
  12. Rosenberg R. Detecting the emergence of novel, zoonotic viruses pathogenic to humans. Cell Mol Life Sci CMLS. 2015 Mar;72(6):1115–25.
  13. Hofmann J, Weiss S, Kuhns M, Zinke A, Heinsberger H, Kruger DH. Importation of Human Seoul Virus Infection to Germany from Indonesia. Emerg Infect Dis. 2018 Jun;24(6):1099–102.

1 komentar untuk “Sulawesi Utara Terancam Wabah Virus Zoonosis?”

  1. Itu pernyataan terakhir “tapi kalaupun virusnya masih ada, mereka lebih dulu mati terpapar bumbu pedas khas masakan Manado” bercanda doang kan? Nanti takutnya jadi pada salah paham malah banyak makan yang pedes2 biar virusnya mati. Hiks 🙂

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *