Di zaman sekarang, di mana komunikasi serba digital, jutaan pesan berpindah dari satu perangkat ke perangkat lain setiap menitnya. Kita mengirim teks, emoji, voice note, bahkan paragraf panjang, semuanya dengan harapan pesan kita dimengerti, dihargai, atau sekadar mendapat respons yang setara. Namun, sering kali yang kita terima hanyalah balasan singkat, misalnya hanya satu kata seperti “Oke”. Meskipun terdengar netral, balasan singkat semacam ini bisa terasa hambar, bahkan menyakitkan, seolah usaha dan emosi dalam pesan kita tidak direspon dengan seimbang.
Ini berkaitan dengan dinamika emosional dalam komunikasi digital. Karena kita tidak bisa melihat ekspresi wajah atau mendengar intonasi suara, kata-kata yang sangat singkat bisa terasa datar atau dingin, seperti mendapat pelukan yang tidak dibalas. Maka, meskipun teknologi memungkinkan kita terhubung lebih cepat, cara kita merespons tetap sangat menentukan apakah komunikasi itu terasa hangat… atau justru membuat jarak semakin terasa.
Banyak dari kita pernah merasakan kekecewaan karena chat panjang kita hanya dibalas “Oke”, “Sip”, atau “Iya”. Rasa ini mungkin terlihat sepele, tapi ternyata ada penjelasan ilmiah dan psikologis yang cukup dalam di balik respons singkat tersebut.
Menurut teori kognitif-sosial, otak manusia merespons komunikasi sosial layaknya pertukaran sinyal. Dalam chat digital, balasan yang sangat singkat dan minim konteks seperti “Oke” menciptakan sinyal ambigu.
Hal ini menyebabkan korteks prefrontal medial di otak, bagian yang memproses niat sosial orang lain aktif secara berlebihan untuk menafsirkan pesan yang tidak jelas. Tanpa ekspresi wajah, intonasi suara, atau bahasa tubuh, kita akhirnya menafsirkan sendiri:
- Apakah dia sedang marah?
- Apakah saya terlalu berlebihan?
- Kenapa cuma begitu doang jawabannya?
Reaksi ini sering kali mengarah ke overthinking dan stres ringan, terutama jika pengirim merasa pesan yang ia kirim punya nilai emosional tinggi.
Balasan singkat bisa memicu dua reaksi psikologis utama:
- Hilangnya Rasa Validasi Sosial
Menurut Self-Determination Theory, manusia memiliki tiga kebutuhan dasar psikologis:
- Autonomi
- Kompetensi
- Relatedness atau keterhubungan sosial
Saat kamu mengirim pesan panjang dan personal, kamu berharap mendapat balasan emosional yang sepadan. Ketika hanya dibalas “Oke”, kebutuhan akan keterhubungan ini terganggu. Kita merasa tidak dihargai, tidak penting, dan bahkan ditolak.
- Ketimpangan Emosi
Dalam komunikasi digital, sering kali terjadi emotional mismatch. Pengirim menyampaikan pesan dengan emosi tinggi, tapi penerima membalas dengan ekspresi datar. Ini menciptakan disonansi emosional, perasaan bahwa intensitas emosimu tidak dianggap penting oleh lawan bicara.
Tidak semua yang membalas “Oke” itu dingin atau tidak peduli. Menurut studi perilaku digital dan teori psikologi sosial, setidaknya ada tiga motif umum:
A. The Overwhelmed
Orang ini mengalami digital fatigue. Terlalu banyak grup, notifikasi, atau pekerjaan membuat mereka membalas dengan cara paling singkat demi efisiensi.
B. The Anxious
Penderita social anxiety sering merasa gugup ketika harus menanggapi pesan, apalagi yang emosional atau panjang. Akhirnya, mereka memilih cara yang paling “aman”: balasan singkat tanpa resiko salah.
C. The Unaware
Mereka tidak sadar bahwa respons singkat bisa menyakiti. Gaya komunikasi mereka mungkin memang minimalis, atau mereka belum memahami dampak emosional dari pesan satu kata.
Sebagai bagian dari masyarakat digital, kita bisa berlatih menjadi komunikator yang empatik dengan langkah-langkah berikut:
💬 Gunakan Active Response
Alih-alih “Oke”, berikan balasan yang sedikit lebih informatif:
“Setuju, nanti kita bahas ya.”
“Aku suka idenya, kita lanjutkan.”
🧘♀️ Akui Jika Tidak Bisa Membalas Panjang
Kalau sedang sibuk, cukup katakan:
“Baca dulu ya, nanti aku respon lengkap.” Respons ini lebih menunjukkan itikad baik ketimbang diam atau membalas sekenanya.
🎯 Pilih Media yang Lebih Personal
Jika pesan terlalu rumit untuk diketik, gunakan voice note atau ajak bicara langsung. Suara kita bisa menyampaikan emosi yang tidak tertangkap lewat teks.
🤝 Latih Empati Digital
Pahami bahwa di balik setiap pesan panjang, ada usaha dan harapan. Sedikit penghargaan dalam respons akan membantu menjaga kualitas hubungan, walau hanya lewat layar.
Balasan singkat seperti “Oke” mungkin terlihat sederhana dan netral, tapi dalam konteks sosial, kata itu bisa menjadi sumber stres, kekecewaan, dan bahkan rasa tersisih.
Ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang psikologi dan komunikasi, menunjukkan bahwa percakapan digital tidak hanya soal menyampaikan informasi, tetapi juga mengandung unsur emosi. Setiap pesan yang kita kirim, baik itu teks, emoji, atau bahkan tanda baca, bisa menyampaikan perasaan tertentu: senang, marah, acuh tak acuh, atau peduli. Inilah yang disebut dengan dimensi emosional dalam komunikasi.
Karena kita tidak bertatap muka, maka pesan tertulis menjadi satu-satunya cara untuk menyampaikan tidak hanya makna kata, tetapi juga suasana hati di baliknya. Oleh karena itu, semakin kita peka terhadap bagaimana pesan kita mungkin dirasakan oleh orang lain, semakin baik pula kualitas hubungan yang bisa kita bangun bahkan jika komunikasinya hanya lewat chat atau pesan singkat.
Dengan kata lain, sains membantu kita memahami bahwa perhatian kecil dalam membalas pesan, seperti menambahkan konteks, sapaan hangat, atau sedikit empati, bisa membawa dampak besar dalam menjaga kedekatan dan kehangatan dalam hubungan digital kita.
Jadi, lain kali jika kamu menerima pesan panjang dari teman atau pasanganmu, coba berhenti sejenak dan tanyakan:
“Bagaimana saya bisa membuatnya merasa didengar?”
Karena dalam dunia yang serba cepat ini, perhatian kecil lewat kata bisa menjadi bentuk kepedulian yang paling berarti.
Referensi:
Ruben, M. A., Stosic, M. D., Correale, J., & Blanch-Hartigan, D. (2021). Is technology enhancing or hindering interpersonal communication? A framework and preliminary results to examine the relationship between technology use and nonverbal decoding skill. Frontiers in psychology, 11, 611670.

