Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian obat telah menjadi topik perdebatan selama puluhan tahun. Di satu sisi, banyak obat-obatan dan perawatan medis yang ditemukan melalui eksperimen pada hewan, tetapi di sisi lain, banyak yang mempertanyakan keabsahan etis dari metode ini.
Apakah penggunaan hewan dalam penelitian benar-benar masih diperlukan pada jaman di mana teknologi sudah sangat maju saat ini ?
Bagaimana kita dapat menyeimbangkan kebutuhan kemajuan medis dengan tetap memperhatikan kesejahteraan hewan?
Disini akan kita bahas dilema etika di balik penggunaan hewan dalam penelitian obat, mengapa praktik ini masih diperlukan, serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mencari alternatif solusi.
Sejarah Singkat Penggunaan Hewan dalam Penelitian
Penggunaan hewan dalam penelitian medis bukanlah hal baru. Sejak zaman Yunani kuno, para ilmuwan telah mempelajari anatomi dan fisiologi tubuh makhluk hidup, termasuk hewan, untuk memahami cara kerja tubuh manusia. Penelitian menggunakan hewan menjadi semakin penting pada abad ke-19 dan 20, ketika eksperimen di laboratorium memungkinkan para ilmuwan untuk menguji teori mereka dengan lebih sistematis.
Salah satu contoh adalah penemuan insulin pada tahun 1921 oleh Frederick Banting dan Charles Best. Ilmuwan tersebut menggunakan anjing dalam penelitian mereka untuk mengidentifikasi peran pankreas dalam metabolisme glukosa, yang pada akhirnya menyelamatkan jutaan nyawa penderita diabetes di seluruh dunia. Kasus-kasus seperti ini sering dikemukakan oleh pendukung penelitian menggunakan hewan sebagai bukti pentingnya hewan dalam penemuan medis atau pengembangan obat yang signifikan.
Pengembangan suatu senyawa kandidat obat hingga menjadi bisa didapatkan di apotek adalah suatu perjalanan yang panjang dan bisa memakan waktu sampai kurang lebih 20 tahun. Beberapa tahapannya meliputi, Discovery (penemuan senyawa atau bahan yang akan dijadikan obat), Research and Development (Bahan tersebut dicari senyawa intinya, metabolit sekunder, karakteristik bahan mulai dari kelarutan, kestabilan, struktur bahan, dan sediaan serta bentuk obat yang akan dikembangkan), Pre-clinical Trials (Kandidat obat diuji efek terhadap penyakit dan keamanannya menggunakan hewan, disebut juga In Vivo), Clinical Trials (Kandidat obat diuji ke manusia setelah dinyatakan aman dan berefek pada hewan), Post-Marketing (Pemasaran dan Monitoring setelah obat diedarkan).
Mengapa Hewan Masih Digunakan dalam Penelitian Obat ?
Hingga saat ini, hewan masih banyak digunakan dalam uji praklinis dan penelitian farmasi. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa tubuh hewan sering kali memberikan gambaran yang cukup akurat tentang cara kerja obat dalam tubuh manusia. Misalnya, mamalia seperti tikus, kelinci, dan monyet memiliki sistem biologis yang mirip dengan manusia, sehingga memberikan data yang relevan untuk menguji keamanan dan efektivitas obat sebelum digunakan pada manusia.
Penggunaan hewan sering kali diperlukan pada tahap awal penelitian obat, di mana hasil dari tes laboratorium pada sel-sel (in vitro) tidak cukup untuk memberikan gambaran tentang bagaimana suatu obat akan berinteraksi dalam sistem tubuh yang lebih kompleks (in vivo). Hewan digunakan untuk menguji aspek-aspek seperti toksisitas, metabolisme, dan efek samping potensial, yang sangat penting sebelum obat dapat diujicobakan pada manusia.
Selain itu, ada persyaratan hukum dan regulasi di banyak negara yang mewajibkan uji coba pada hewan sebelum obat baru diperbolehkan diuji pada manusia. Otoritas pengawas obat, seperti Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat dan European Medicines Agency (EMA) di Eropa, menetapkan standar keamanan yang ketat untuk melindungi keselamatan publik. Oleh karena itu, perusahaan farmasi dan peneliti sering tidak memiliki pilihan selain menggunakan hewan untuk memenuhi persyaratan ini.
Di Indonesia sendiri, pengembangan obat sudah banyak yang beralih ke penggunaan bahan alami baik dari hewan, tumbuhan, dan lain-lain yang dibagi dalam beberapa golongan yaitu, Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT), dan Fitofarmaka. Jamu adalah obat tradisional yang terbukti secara empiris, OHT adalah yang telah diuji secara praklinik, sedangkan Fitofarmaka adalah kandidat obat yang telah diuji pada manusia. Untuk mengembangkan obat hingga dipasarkan, tentu saja harus dimulai dari pengujian praklinik yang menggunakan hewan.
Aspek Etika : Kritik terhadap Penggunaan Hewan
Meski kontribusi hewan terhadap penelitian obat tidak bisa diabaikan, ada dilema etik yang serius terkait dengan praktik ini. Hewan dalam penelitian sering kali diperlakukan sebagai alat uji, bukan sebagai makhluk hidup yang memiliki hak untuk hidup bebas dari rasa sakit dan penderitaan. Aktivis hak-hak hewan sering berpendapat bahwa percobaan ini tidak manusiawi dan melibatkan penderitaan hewan yang signifikan.
Prosedur-prosedur penelitian, seperti pengujian toksisitas, bisa sangat menyakitkan dan menyebabkan penderitaan jangka panjang pada hewan. Bahkan dengan peraturan yang ketat dan standar kesejahteraan yang ditetapkan, hewan masih menghadapi kondisi yang sering kali tidak ideal, seperti terkurung di laboratorium seumur hidup mereka atau menghadapi rasa sakit tanpa adanya cara untuk menghentikannya. Ini menimbulkan pertanyaan etik yang mendalam: Apakah penderitaan hewan ini layak demi kemajuan medis ?
Selain itu, ada argumen bahwa hasil eksperimen pada hewan mungkin tidak sepenuhnya dapat diandalkan untuk manusia. Meski ada kesamaan biologis, tubuh hewan tetap berbeda dari manusia. Beberapa obat yang aman dan efektif pada hewan ternyata tidak bekerja atau bahkan berbahaya bagi manusia. Contohnya adalah Thalidomide, obat yang digunakan untuk mengatasi morning sickness pada wanita hamil pada tahun 1950-an dan 1960-an. Meskipun terbukti aman dalam uji coba pada hewan, thalidomide menyebabkan ribuan bayi lahir dengan cacat fisik yang parah.
Upaya Mencari Alternatif: Teknologi dan Pendekatan Non-Hewan
Teknologi medis terus berkembang, dan salah satu bidang yang berkembang pesat adalah pengembangan metode alternatif yang tidak melibatkan hewan. Salah satu metode yang mulai banyak digunakan adalah teknologi organ-on-a-chip. Teknologi ini menggunakan sel manusia untuk menciptakan model mikro dari organ tubuh, yang kemudian dapat digunakan untuk menguji obat tanpa perlu menggunakan hewan.
Sumber : Eleonore Fröhlich dalam Artikel Replacement Strategies for Animal Studies in Inhalation Testing
Teknologi organ-on-a-chip (OOC) tidak hanya mengurangi kebutuhan akan hewan dalam penelitian, tetapi juga menawarkan hasil yang lebih akurat karena langsung menggunakan sel manusia. Selain itu, metode berbasis komputer, seperti pemodelan in silico, memungkinkan simulasi efek obat pada tubuh tanpa memerlukan pengujian fisik pada hewan atau manusia.
Namun, meski metode-metode ini memiliki potensi besar, metode ini belum bisa sepenuhnya menggantikan hewan dalam penelitian. Banyak aspek biologis kompleks yang masih sulit dipahami dan dimodelkan secara sempurna dengan teknologi saat ini. Misalnya, interaksi antara organ-organ dalam tubuh atau respons sistem kekebalan terhadap infeksi atau penyakit, yang sering kali lebih baik dipelajari melalui sistem tubuh yang utuh, seperti yang dimiliki hewan.
Menuju Pengurangan dan Penghapusan Penggunaan Hewan
Meski penggunaan hewan masih umum dalam penelitian, banyak komunitas ilmiah dan regulatori bekerja untuk mengurangi ketergantungan ini. Prinsip “3R” (Replacement, Reduction, Refinement) menjadi panduan utama dalam penelitian berbasis hewan :
- Replacement (Penggantian): Mencari metode alternatif yang dapat menggantikan penggunaan hewan.
- Reduction (Pengurangan): Mengurangi jumlah hewan yang digunakan dalam penelitian melalui desain eksperimen yang lebih efisien.
- Refinement (Perbaikan): Meningkatkan kondisi hewan dalam penelitian untuk mengurangi penderitaannya.
Banyak negara juga memiliki regulasi yang semakin ketat terkait kesejahteraan hewan, salah satunya dengan mewajibkan penelitian tersebut memiliki izin laik penelitian (Ethical Clearance) dan ada peningkatan kesadaran tentang pentingnya menghindari atau meminimalkan penggunaan hewan kapan pun memungkinkan.
Dilema yang Belum Terpecahkan
Dilema etika tentang penggunaan hewan dalam penelitian obat adalah masalah yang kompleks. Di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan obat-obatan baru yang dapat menyelamatkan jutaan nyawa, tetapi di sisi lain, ada kewajiban moral untuk melindungi hewan dari penderitaan yang tidak perlu. Meskipun teknologi alternatif sedang berkembang, saat ini hewan masih memainkan peran penting dalam pengembangan obat.
Solusinya mungkin tidak terletak pada penghapusan total penggunaan hewan, melainkan tetap mencari cara untuk meminimalkan penggunaannya, meningkatkan kesejahteraan hewan, dan mempercepat pengembangan metode penelitian alternatif. Dialog yang terbuka dan seimbang antara ilmuwan, aktivis hak-hak hewan, serta pembuat kebijakan akan menjadi kunci dalam menjembatani kesenjangan etika ini.
Referensi
Diabetes UK. (n.d.). Discovery of insulin. Retrieved October 3, 2024, from https://www.diabetes.org.uk/our-research/about-our-research/our-impact/discovery-of-insulin
Matthews, R. A., & Gibson, A. C. (2017). Animals and medicine: The role of animals in medical research. Oxford University Press.
Bailey, J., & Balls, M. (2019). Animal models in drug development: A critical review. Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics, 370(3), 450-461. https://doi.org/10.1124/jpet.119.260067
Vogel, H. G., Maas, J., Gebauer, A., & Hock, F. J. (Eds.). (2013). Drug discovery and evaluation: Pharmacological assays (3rd ed.). Springer.
Leist, M., & Hartung, T. (2013). In vitro methods in chemical safety testing: Reducing and replacing animal use. Annual Review of Pharmacology and Toxicology, 53(1), 405-421. https://doi.org/10.1146/annurev-pharmtox-011112-140311
Fröhlich, E. Replacement Strategies for Animal Studies in Inhalation Testing. Sci 2021, 3, 45.
Moutinho, S. Researchers and regulators plan for a future without lab animals. Nat Med 29, 2151–2154 (2023). https://doi.org/10.1038/s41591-023-02362-z