Integrasi Teknologi Penginderaan Jauh dan Habitat Modeling Dalam Menduga Daerah Penangkapan Ikan

Oleh : Achmad Fachruddin Syah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Hal ini terbukti dari banyaknya pulau-pulau yang berjajar […]

blank

Oleh : Achmad Fachruddin Syah

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Hal ini terbukti dari banyaknya pulau-pulau yang berjajar dari Sabang ke Merauke. Pada tanggal 7 – 18 Agustus 2017, pemerintah melalui Badan Informasi Geospasial melaporkan 16.056 pulau yang sudah mempunyai nama dan berkoordinat ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York[1]. Pulau-pulau itu sendiri dihubungkan oleh lautan yang luas. Dari total wilayahnya, 70% wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan sedangkan sisanya adalah berupa daratan. Lautan Indonesia adalah Marine Mega Biodiversity terbesar di dunia meliputi 8500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies terumbu karang dengan potensi sumber daya terumbu karang yang mencapai 85.000 km2 serta potensi kawasan budidaya 24.528.178 ha. Sumber daya ikan meliputi ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang, udang, lobster dan cumi-cumi. Total potensi lestari 6,5 juta ton/tahun, produksi perikanan tangkap tahun 2017 sejumlah 7,67 juta ton/tahun, atau setara Rp 158 triliun[2]. Selain itu, Indonesia juga termasuk salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, dengan total panjang 95.181 km

Potensi sumber daya perikanan dan kelautan yang dimiliki Indonesia sangat besar. Namun, potensi ini belum dikelola dan dimanfaatkan secara benar, bertanggung jawab dan berkelanjutan. Salah satu sumberdaya perikanan yang dimiliki Indonesia adalah ikan-ikan pelagis. Peningkatan secara optimal tangkapan dapat dilakukan dengan menentukan daerah tangkapan ikan. Ketidakpastian daerah penangkapan menjadi kendala utama bagi para nelayan untuk meningkatkan efisiensi operasi penangkapan.  Upaya penentuan daerah penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan pada umumnya masih bersifat tradisional, sehingga kurang efektif. Penentuan daerah penangkapan ikan hanya berdasarkan pengalaman turun-temurun dari zaman dahulu hingga sekarang dengan melihat tanda-tanda alam, seperti ada tidaknya kawanan burung di permukaan laut, buih-buih di permukaan laut dan lain-lain. Ketidakpastian hasil tangkapan disebabkan karena nelayan belum mengetahui lokasi yang potensial untuk menangkap ikan, sehingga harus menjelajah mencari tanda-tanda alam tersebut menyebabkan biaya operasional penangkapan menjadi tinggi akibat dari tingginya biaya BBM kapal.

Kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya pengaruh berbagai kondisi lingkungan perairan. Parameter oseanografi seperti suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a, salinitas, tinggi muka air laut dan lain sebagainya dapat mempengaruhi berbagai aktivitas ikan seperti pertumbuhan ikan, pemijahan, metabolisme, migrasi dan aktivitas lainnya. Hal ini berarti bahwa keberadaan ikan dan penentuan daerah penangkapan ikan yang potensial sangat dipengaruhi oleh parameter oseanografi perairan

Pengukuran parameter – parameter oseanografi tersebut dapat dilakukan menggunakan sistem penginderaan jauh dengan citra satelit. Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi suatu objek atau fenomena yang ada di permukaan bumi tanpa adanya kontak langsung dengan objek atau fenomena tersebut.  Dalam proses interpretasi data citra satelit, data dapat diolah menggunakan sistem informasi geografis (SIG) untuk menampilkan tampilan dalam bentuk peta.

Analisa hubungan antara suatu spesies dengan lingkungannya merupakan hal yang selalu penting dalam suatu ekologi. Marine spesies sering berasosiasi dengan specific physical or biological habitats, sehingga membangun ketertarikan untuk memahami peranan kondisi lingkungan dalam mengarahkan pola distribusi dan kelimpahan. Strategi paling umum untuk menduga the actual or potential geographic distribution of a species adalah memahami karakteristik lingkungan yang cocok bagi spesies tersebut dan kemudian mengindentifikasi dimana lingkungan yang cocok tersebut terdistribusi secara keruangan (space).

Model spesies distribusi (species distribution models) merupakan emperical models yang menghubungkan obervasi lapangan terhadap environmental predictor variables yang didasarkan pada response surfaces yang diturunkan secara statistik atau teori. Teori species distribution models menyatakan bahwa model dapat memprediksi the potential spatial distribution of a species range, dengan menghubungkan titik kemunculan yang diketahui dengan predictor variables. Habitat modeling techniques didasarkan pada asumsi bahwa, unuk setiap spesies, ada an ideal set of environmental variables (signature) yang membuat munculnya suatu spesies lebih memungkinkan. Salah satu habitat model yang digunakan dalam menduga daerah potential fishing zone adalah generalized additive model (GAM). Dengan melakukan integrasi data oseanografi yang diperoleh dari penginderaan jauh dengan habitat modeling maka kita dapat melakukan :

  1. Menginvestigasi spatio–temporal distribution dari suatu spesies ikan
  2. Mengevaluasi dampak faktor oceanografi terhadap formasi potential fishing zones suatu spesies ikan.
  3. Membuat peta prediksi potential fishing zones suatu spesies ikan.

Sebagai contoh tentang hal ini adalah penelitian yang pernah dilakukan oleh [3] yang meneliti tentang daerah potential fishing zones ikan Pacific saury di Perairan Pasific Utara. Hasil integrasi data penginderaan jauh dengan habitat modeling menunjukkan bahwa habitat yang cocok untuk Pacific saury adalah nilai sea surface temperature (SST) 14 – 16.5 °C, sea surface chlorophyll-a (SSC) 0.5 – 1.8 mg.m-3, eddy kinitec energy (EKE) 0 – 180 cm2s-2 dan kurang dari  700 cm2s-2 serta sea surface height anomaly (SSHA) kurang dari (-7) cm dan antara 5 – 16 cm (Gambar 1).

blank

Gambar 1. Dampak 4 parameter lingkungan –SSC, SST, EKE, SSHA, terhadap kehadiran ikan Pacific saury yang diperoleh dari GAM.

Gambar 2 menunjukkan peta habitat suitability index (HSI map) yang diprediksi dioverlay dengan posisi kehadiran Pacific saury. Selama bulan Oktober, sebagian besar titik penangkapan ikan Pacific saury muncul di tenggara Hokkaido dan di timur Sanriku (39°-42°N). Kehadiran lokasi penangkapan ikan menunjukkan tinggi terutama pada tahun 2005-2007. Berdasarkan peta HSI yang diprediksikan, kemungkinan munculnya Pacific saury di timur dan tenggara Hokkaido dan selatan Kepulauan Kuril adalah tinggi. Demikian pula, hasil menunjukkan bahwa probabilitas kemunculan tinggi juga ditemukan di zona transisi Kuroshio-Oyashio (40°N).

blank

Gambar 2. Spatial distributions ikan Pacific saury (red dots) untuk bulan  (A) October 2005 sampai (I) 2013 dioverlay dengan habitat suitability maps. The suitability digambarkan sebagai the habitat suitability index (HSI) dengan range nilai antara 0 sampai 1, yang merepresentasikan “poor” sampai “goodhabitat quality.

Integrasi antara data lokasi suatu spesies ikan dengan multi sensor remote sensing information within a modeling platform dapat menawarkan a powerful and innovative way untuk mengidentifikasi daerah potential munculnya suatu spesies ikan dan dapat digunakan untuk mendukung fisheries management decisions.

 

Referensi

[1] big.go.id. Diakses pada tanggal 8 Agustus 2017).

 [2] Statistik.kkp.go.id. Diakses pada tanggal 21 Mei 2018.

[3] Syah, A.F., Saitoh, S.I., Alabia, I.D., and Hirawake, T. (2017). Detection of potential fishing zone for Pacific saury ( Cololabis saira ) using generalized additive model and remotely sensed data. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Volume 54, Issue 1, pp. 012074.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *