Pekan lalu, kita digemparkan dengan berita tak mengenakkan dari atlet bulutangkis kita yang dipaksa mundur dari turnamen All England. Menurut NHS (National Health Service) Inggris, pemain Indonesia memiliki kontak erat dengan penumpang lain saat di pesawat dalam perjalanan dari Turki menuju Inggris, dan harus isolasi selama 10 hari yang berakibat dipaksa mundur dari turnamen oleh BWF. Kebijakan ini berbeda terhadap negara peserta lainnya seperti India, Thailand, dan Denmark yang bahkan ditemukan kasus positif. NHS dan BWF tetap memperbolehkan negara-negara tersebut melanjutkan turnamen setelah pengetesan kembali dan hasilnya negatif. Terlepas dari kebijakan yang berbeda itu, timbul pertanyaan dari penulis, apakah keputusan NHS ini ada kaitannya dengan dugaan bahwa COVID-19 lebih menyebar di ruangan tertutup? Apakah hal tersebut juga berlaku di kendaraan umum seperti pesawat?
COVID-19 dan Cara Penyebarannya
Setahun pandemi, banyak spekulasi terhadap bagaimana cara menyebarnya virus ini. Berawal di Wuhan, Tiongkok, WHO meyakini penyebarannya lewat cipratan cairan dari seseorang yang terinfeksi. Mempelajari dan meneliti cara penyebaran virus ini sangat penting agar pencegahan terhadap penyebaran inveksi virus ini dapat lebih berjalan optimal. Karena, WHO akan menjadikan hasil penelitian sebagai dasar kebijakan anjuran protokol kesehatan, salah satunya memakai masker. Di awal pandemi, tentu masih ingat bahwa penggunaan masker hanya untuk orang yang sakit. Karena penyebarannya melalui droplet, dengan cara tersebut kita berharap dapat mencegah dan mengurangi penularan. Selain itu, masyarakat yang awalnya panik karena kehabisan masker, dapat terkendali dan menjadi lebih tenang.
Ketika sudah begitu menyebar ke seluruh dunia, penyebaran semakin cepat dan masif. Hal ini berdampak dengan kebijakan yang harus dinamis, yaitu dengan mewajibkan semuanya memakai masker baik orang sakit atau sehat. Ilmuwan kemudian menduga, apakah virus ini juga menyebar lewat udara atau tidak. Ilmuwan di berbagai negara berlomba-lomba mencari jawaban atas dugaan tersebut. Hasilnya, banyak ilmuwan yang menemukan fakta bahwa penyebaran virus ini juga bisa melalui aerosol. Awalnya, badan Kesehatan dunia atau WHO berkeyakinan bahwa COVID-19 hanya menyebar melalui droplet atau cipratan lendir/cairan. Pada akhirnya, ratusan ilmuwan dari berbagai negara setelah mendesak WHO. Hal ini agar WHO dapat memperbarui kebijakan dari temuan bahwa COVID-19 dapat menyebar melalui aerosol. Tingkat bahayanya jadi meningkat, karena melalui aerosol dapat terkonsentrasi di udara dalam waktu yang lebih lama dan mentransmisikan virus lebih jauh dari droplet.
Laju Penyebaran Lebih Tinggi di Ruangan Tertutup Dibanding Ruangan Terbuka?
Ketika kita sudah mengetahui penyebaran virus dapat melalui udara, tentu kita perlu meningkatkan kewaspadaan. Salah satunya adalah terkait kualitas sistem ventilasi. Dari temuan fakta-fakta di lapangan, banyak terdapat cluster penyebaran COVID-19 di ruangan tertutup atau yang memiliki sistem ventilasi. Seperti pada Kapal Diamond Princess, perkantoran, restoran, tempat hiburan, dan angkutan umum. Fakta ini juga di Indonesia pada kasus pertamanya yang berasal dari tempat dansa yang terdapat di restoran. Temuan kasis tersebut tentunya mendorong ilmuwan untuk meneliti dugaan adanya pengaruh sistem ventilasi terhadap laju penyebaran virus corona.
Peneliti Universitas Cambridge mempublikasikan penelitian di Journal of Fluid Mechanics, mereka melihat dari sudut pandang mekanika fluida. Mereka menjelaskan, bahwa terdapat efek yang signifikan terhadap penyebaran virus corona di dalam ruangan dengan di luar ruangan. Kemungkinan penyebab hal ini adalah oleh sistem ventilasi yang terdapat di ruangan tersebut. Ketika sistem ventilasi buruk, maka pergerakan udara di dalam ruangan akan berkurang. Ketika hal tersebut terjadi, maka akan mengakibatkan waktu pemaparan yang lebih lama di dalam ruangan. Selain itu, akibatnya adalah konsentrasi virus di udara dalam ruangan akan lebih tinggi dan resiko tertularnya semakin meningkat.
Bila dari sudut pandang epidemiologi, ternyata tidak jauh berbeda. Artikel yang dipublikasikan Elesevier Public Health Emergency Collection, mengemukakan bahwa penyakit yang menular melalui udara seperti COVID-19, perlu memperhatikan sistem ventilasi di dalam ruangan. Bukan hanya memperhatikan pergerakan udaranya, tetapi juga terdapat kemungkinan bahwa virus tersebut bisa hidup setidaknya selama 3 jam di udara.
Departemen Kesehatan Masyarakat AS, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) juga mengamini perihal penyebaran virus corona di dalam ruangan. Partikel virus SARS-CoV-2 menyebar dari individu ke individu lainnya akan lebih mudah di dalam ruangan daripada di luar ruangan. Saat berada di luar ruangan, konsentrasi partikel virus dengan cepat berkurang dengan angin, bahkan angin yang sangat ringan.
Anjuran Protokol Kesehatan
Penelitian mengenai pengaruh sistem ventilasi terhadap laju penyebaran virus sudah banyak yang menerbitkan. Hasilnya berkata, laju penyebarannya lebih cepat di dalam ruangan daripada di luar ruangan ruangan. Maka dari itu, sudah banyak anjuran protokol kesehatan yang melengkapi dari protokol utamanya. Yaitu memakai masker, jaga jarak fisik, dan mencuci tangan.
Berikut ini adalah panduan dari CDC untuk ventilasi di gedung-gedung, ataupun transportasi umum, yaitu:
- Tingkatkan ventilasi udara luar ruangan, namun berhati-hatilah di area yang sangat berpolusi.
- Jika kondisi cuaca memungkinkan, tingkatkan udara segar dari luar ruangan dengan membuka jendela dan pintu. Jangan membuka jendela dan pintu jika hal itu menimbulkan risiko keselamatan atau kesehatan. Misalnya: risiko jatuh, memicu gejala asma, bagi penghuni di dalam gedung.
- Mengkondisikan bila menggunakan kipas angin agar ventilasi berjalan dengan baik.
- Memastikan sistem ventilasi di gedung bertingkat agar beroperasi dengan baik dan penghuninya dapat merasakan kualitas udara yang bersih.
- Memakai penyaring/HEPA filter pada sistem ventilasi sentral. Pastikan untuk dicek secara berkala agar kualitas penyaringan tetap baik dari waktu ke-waktu.
Intermezzo
Bila menarik pertanyaan kembali dari paragraf pertama pada kasus yang menimpa tim bulutangkis indonesia, yang juga menimpa satu atlet dari Turki di All England, sulit untuk menjawabnya karena NHS tidak menjelaskan lebih lanjut. Bila berandai-andai, NHS bisa saja memikirkan berbagai pertimbangan yang salah satunya menjelaskan, bahwa ada potensi penyebaran yang cepat di ruangan tertutup seperti pesawat. Walaupun, beberapa ahli mengklaim pesawat dapat menyaring virus lewat sistem penyaringan di ventilasinya. Bila melihat NHS mengeluarkan kebijakan tersebut, rasanya tidak berlebihan. Karena, mereka adalah otoritas kesehatan negara yang juga dalam rangka melindungi warganya di tengah merebaknya virus mutasi baru. Selain itu, bisa saja pesawat tumpangan Indonesia belum jelas kualitas sistem ventilasinya. Keputusan yang cukup dilematis yang akhirnya menimbulkan reaksi keras. Pada akhirnya, kita perlu belajar kembali tentang pencegahan penyebaran virus corona. Tujuannya agar aktivitas di tengah pandemi tetap berjalan dengan aman dan nyaman.
Referensi
- Anonim. 2020. https://healthcare-in-europe.com/en/news/why-you-shouldn-t-underestimate-the-reach-of-covid-19.html (diakses pada 22 Maret 2021).
- CDC, US. 2021. Ventilation in Buildings. https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-ncov/community/ventilation.html (diakses pada 22 Maret 2021).
- G. Correiaa, L. Rodrigues, M. Gameiro da Silva, T. Gonçalves. 2020. Airborne rout e and bad use of ventilation systems as non-negligible factors in SARS-CoV-2 transmission. Medical Hypotheses 141,1-6.
- Noah, Y. Kim. 2020. https://khn.org/news/what-is-the-risk-of-getting-coronavirus-on-a-plane/ (diakses pada 22 Maret 2021).
- Rajesh K. Bhagat, M. S. Davies Wykes, Stuart B. Dalziel, P. F. Linden. 2020. Effects of ventilation on the indoor spread of COVID-19. Journal of Fluid Mechanics , Volume 903, 1-18.