Energi nuklir adalah moda energi paling selamat (safe) dibandingkan moda energi lainnya. Death footprint energi nuklir hanya 0,04 kematian per TWh energi yang dibangkitkan[1]. Sebagai perbandingan, death footprint batubara sebesar 161 kematian per TWh energi, gas alam 4 kematian per TWh energi dan energi bayu 0,15 kematian per TWh energi[1]. Tingkat keselamatan tinggi ini merupakan hasil dari standar keselamatan tinggi dan sistem keselamatan yang relatif kompleks. Standar dan kompleksitas yang tinggi ditetapkan demi mencegah terjadinya kecelakaan parah pada proses pengoperasian reaktor nuklir.
Sistem keselamatan reaktor nuklir konvensional masih mengandalkan sistem keselamatan aktif. Dengan kata lain, keselamatan aktif membutuhkan tindakan operator untuk mengaktifkannya. Selain itu reaktor nuklir konvensional memerlukan sistem pendinginan eksternal pasca shutdown, agar panas peluruhan tidak menyebabkan meltdown sebagaimana yang terjadi pada PLTN Fukushima Daiichi Unit 1-4[2]. Nuclear meltdown berakibat pada kerusakan permanen terhadap sistem utama reaktor nuklir serta dapat melepaskan material radioaktif ke lingkungan. Walau dampak nuclear meltdown terhadap lingkungan tidak sebesar gembar-gembor media, tapi pengadaan sistem keselamatan pasca shutdown untuk mencegahnya terjadi dapat menambah kompleksitas sistem keselamatan reaktor. Hal ini tentu saja akan berimbas pada biaya energi nuklir menjadi lebih mahal.
Agar energi nuklir tetap murah tanpa memerlukan sistem keselamatan kompleks, maka teknologi reaktor nuklir meltdown-proof dapat menjadi salah satu solusi efektif. Pada reaktor nuklir meltdown-proof, skenario kecelakaan terburuk sekalipun tidak akan menyebabkan meltdown. Teknologi itu adalah molten salt reactor.
Molten salt reactor (MSR, reaktor garam lebur) adalah salah satu desain reaktor Generasi IV yang diajukan dalam Generation IV Forum. MSR menggunakan moderator grafit dan bahan bakar sekaligus pendingin berupa senyawa garam dalam bentuk cair[3]. Sistem ini berbeda dengan reaktor nuklir konvensional yang menggunakan bahan bakar padat. Konsep MSR berbeda secara fundamental dengan desain reaktor lain, karena memiliki fasa material terbalik: bahan bakar cair dan moderator padat.
MSR sebenarnya merupakan konsep lama, diajukan pertama kali oleh Oak Ridge National Laboratory pada tahun 1960-an. Namun, risetnya terhenti pada tahun 1970-an karena politik Perang Dingin Amerika Serikat[3-4]. Baru pada awal abad 21 ketertarikan terhadap MSR mulai mencuat kembali.
Senyawa garam MSR umumnya menggunakan campuran garam fluorida. Bahan bakar dalam bentuk UF4 dan ThF4 dicampur dalam garam pelarut, misalnya LiF dan BeF2. Bahan bakar ini sekaligus berfungsi sebagai pendingin, mengalirkan panas ke kalang pendingin sekunder (juga berupa garam lebur) yang kemudian dialirkan menuju turbin[3-4].
Senyawa garam baru meleleh pada suhu 315-509o C, tergantung campuran senyawa garamnya[5]. Sehingga, MSR mampu beroperasi pada suhu tinggi dengan tekanan atmosfer. Kemampuan beroperasi pada suhu tinggi dengan tekanan rendah membuat MSR tidak perlu menggunakan bejana bertekanan, yang memangkas biaya dan meningkatkan level keselamatan[6].
Poin plus MSR dibandingkan reaktor nuklir konvensional dari segi keselamatan ada pada bahan bakarnya yang berbentuk cair. Penggunaan bahan bakar cair meniscayakan nuclear meltdown tidak mungkin terjadi, karena bahan bakarnya sudah dalam bentuk lelehan. Senyawa fluorida merupakan senyawa garam stabil, sehingga risiko pelepasan material radioaktif keluar bangunan reaktor dapat dieliminasi. Senyawa volatil seperti iodin dan cesium terkunci dalam senyawa fluorida, sehingga tidak bisa lolos ke lingkungan[6].
MSR bersifat self-regulating. Kenaikan suhu reaktor maupun timbulnya gelembung dalam garam bahan bakar akan menurunkan laju reaksi fisi berantai. Sehingga, operasi reaktor akan kembali ke kondisi normal tanpa intervensi operator.
MSR dilengkapi katup beku (freeze plug) yang diletakkan di bawah teras reaktor. Freeze plug dibuat dari garam lebur yang didinginkan menggunakan kipas ketika reaktor beroperasi. Jika karena satu dan lain hal reaktor nuklir kehilangan daya, kipas pendingin akan berhenti beroperasi, dan freeze plug akan meleleh. Bahan bakar akan jatuh melalui freeze plug ke drain tank. Ketiadaan bahan bakar dalam teras reaktor meniscayakan berhentinya reaksi fisi secara otomatis. Reaktor pun mati dengan selamat tanpa perlu intervensi operator[6-7].
Dengan demikian, MSR bersifat meltdown-proof dan walkaway safe. Sifat-sifat ini berimbas pada biaya MSR yang relatif lebih rendah dibandingkan reaktor nuklir konvensional. Berdasarkan estimasi US Energy Information Administration, dengan standar keselamatan saat ini, biaya pembangunan reaktor nuklir konvensional di Amerika Serikat dapat mencapai USD 5500/kW[8]. Sementara, estimasi biaya pembangunan MSR hanya berkisar USD 1200-2000/kW[4,7]. Jika diterjemahkan dalam biaya pembangkitan listrik, angka ini setara dengan USD 3 sen/kWh listrik[7].
Belum ada unit MSR yang beroperasi di dunia ini. Namun, ada beberapa perusahaan yang sedang merancang desain komersial MSR, diantaranya Flibe Energy, Martingale Inc., Terrestrial Energy, Transatomic Power, Moltex Energy dan Seaborg Technologies[9]. Selain itu, Cina dan Uni Eropa pun serius dalam mengembangkan desain MSR. Martingale Inc. merencanakan untuk membangun MSR mereka, ThorCon, di Indonesia pada awal dekade 2020[10].
Referensi
- Brian Wang. Deaths per TWh for all energy sources, dipublikasikan 14 Maret 2008. (https://www.nextbigfuture.com/2008/03/deaths-per-twh-for-all-energy-sources.html), diakses 8 Januari 2018.
- World Nuclear Association. Fukushima Accident, diperbarui Oktober 2017. (http://www.world-nuclear.org/information-library/safety-and-security/safety-of-plants/fukushima-accident.aspx), diakses 8 Januari 2018.
- David LeBlanc. 2010. Molten salt reactors: A new beginning for an old idea. Nuclear Engineering and Design, 240: 1644-1656.
- Robert Hargraves. 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform.
- D. F. Williams dkk. 2006. Assessment of Candidate Molten Salt Coolants for the Advanced High-Temperature Reactor (AHTR). Tennessee: Oak Ridge National Laboratory.
- Robert Hargraves, Ralph Moir. 2010. Liquid Fluoride Thorium Reactors, an old idea in nuclear power gets revisited. American Scientist vol. 98, pp. 304-313. Juli-Agustus 2010.
- Jack Devanney dkk. 2015. ThorConTM the Do-able Molten Salt Reactor: Executive Summary. Tavernier: Martingale Inc.
- World Nuclear Association. Economics of Nuclear Power, diperbarui Desember 2017. (http://www.world-nuclear.org/information-library/economic-aspects/economics-of-nuclear-power.aspx), diakses 10 Januari 2018.
- Energy Process Developments Ltd. 2015. MSR Review, Feasibility of Developing a Pilot Scale Molten Salt Reactor in the UK. London: EPD.
- Brian Wang. Thorcon floating supertanker molten salt reactors starting with 2021 prototype, dipublikasikan 6 Desember 2017. (https://www.nextbigfuture.com/2017/12/thorcon-floating-supertanker-molten-salt-reactors-starting-with-2021-prototype.html), diakses 10 Januari 2018.
Alumni S1 Teknik Nuklir Universitas Gadjah Mada, mahasiswa S2 Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada. Peneliti Fisika Reaktor, Keselamatan Reaktor, dan Sistem Energi. Kadang menjadi diseminator teknologi energi nuklir.