Energi nuklir semakin banyak dibicarakan sebagai salah satu solusi potensial untuk memenuhi kebutuhan energi bersih dan berkelanjutan di Indonesia. Dengan meningkatnya kebutuhan energi nasional dan tekanan global untuk mengurangi emisi karbon, nuklir menawarkan keunggulan yang sulit diabaikan. Namun, seperti teknologi lainnya, energi nuklir juga datang dengan tantangan yang perlu diatasi sebelum dapat diterapkan secara luas.
Energi nuklir dihasilkan melalui proses fisi nuklir, di mana inti atom berat seperti uranium atau plutonium dipecah menjadi inti yang lebih kecil, melepaskan sejumlah besar energi dalam bentuk panas. Energi ini digunakan untuk memanaskan air, menghasilkan uap yang menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik.Keunggulan utama energi nuklir adalah kepadatan energinya. Dengan sedikit bahan bakar uranium, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dapat menghasilkan listrik dalam jumlah besar dibandingkan dengan bahan bakar fosil seperti batu bara atau minyak. Selain itu, PLTN tidak menghasilkan emisi karbon selama proses produksinya, menjadikannya salah satu opsi terbaik untuk energi bersih.
Mengapa Nuklir Relevan untuk Indonesia?
Kebutuhan Energi yang Terus Meningkat
Indonesia adalah negara berkembang dengan populasi besar dan ekonomi yang tumbuh pesat. Hal ini membuat kebutuhan energi meningkat tajam setiap tahun. Sumber energi seperti batu bara dan gas alam saat ini mendominasi, tetapi keduanya berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon.
Dikutip dari detik.com Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan agar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara dihentikan dalam waktu 15 tahun mendatang, sebagai bagian dari upaya mempercepat transisi energi di Indonesia. Dalam konteks ini, beberapa pakar mengusulkan bahwa energi nuklir dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia di masa depan.
Keterbatasan Energi Terbarukan
Meskipun Indonesia memiliki potensi energi matahari yang melimpah, Prof. Deendarlianto, Guru Besar Teknik Mesin dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai bahwa panel surya bukanlah jawaban utama untuk mengatasi masalah energi. Ia menjelaskan, “Dalam aturan praktisnya, untuk menghasilkan 1 megawatt (MW) energi dari panel surya, diperlukan lahan seluas 1 hektar. Kita tidak bisa membayangkan berapa banyak hektar yang dibutuhkan jika seluruh kebutuhan energi bergantung pada panel surya.
Selain itu, Prof. Deendarlianto juga menyoroti bahwa kebutuhan energi tidak hanya terbatas pada pembangkit listrik. Ada sektor lain, seperti transportasi, yang membutuhkan pasokan energi besar. Hal ini menunjukkan bahwa transisi energi di Indonesia memerlukan pendekatan yang lebih beragam dan efisien. Energi nuklir, dengan kemampuan menghasilkan listrik dalam jumlah besar tanpa membutuhkan lahan yang luas, dapat menjadi salah satu solusi utama untuk menghadapi tantangan ini.
“Jika kita berbicara tentang solusi terbaik untuk energi, jawabannya adalah nuklir. Seperti yang disampaikan oleh Pak Presiden, energi nuklir adalah pilihan yang sangat bagus,” ungkap Prof. Deendarlianto, lulusan program doktoral Universitas Tokushima, Jepang. Untuk mewujudkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia, ada beberapa tahapan penting yang harus dilalui. Tahapan tersebut meliputi proses perizinan (fase lisensi), pembangunan fisik (fase konstruksi), pengujian akhir (final test), dan baru kemudian tahap operasional. Semua proses ini membutuhkan waktu yang tidak singkat, yakni setidaknya tujuh tahun dari awal hingga PLTN siap digunakan. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki PLTN yang berfungsi sebagai pembangkit listrik komersial.
Ketahanan Energi
Ketergantungan pada bahan bakar fosil impor menempatkan Indonesia pada risiko fluktuasi harga global. Energi nuklir menawarkan stabilitas karena uranium dapat disimpan dalam jumlah besar dan bertahan untuk waktu yang lama.
Namun, Prof. Deendarlianto menjelaskan bahwa upaya untuk membangun infrastruktur nuklir sebenarnya telah dimulai, meski masih terbatas pada penelitian dan riset, belum sampai ke tahap implementasi skala besar untuk pembangkit listrik. Menurut Prof. Deen, PLTN memiliki sejumlah keunggulan yang membuatnya menarik sebagai sumber energi masa depan. Salah satu keunggulannya adalah energy density atau kepadatan energi yang sangat tinggi, artinya PLTN dapat menghasilkan energi dalam jumlah besar dengan sumber bahan bakar yang relatif kecil.
Selain itu, biaya operasional untuk menghasilkan energi dari PLTN (energy cost) cenderung lebih rendah dibandingkan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Namun, seperti teknologi besar lainnya, energi nuklir juga menghadapi beberapa tantangan. Tantangan pertama adalah masalah sosial, yakni bagaimana masyarakat menerima teknologi nuklir. Persepsi publik sering kali dipengaruhi oleh kekhawatiran terkait keamanan dan potensi risiko. Tantangan kedua adalah investasi awal yang sangat besar. “Tetapi, jika kita benar-benar berkomitmen, semua tantangan ini bisa diatasi,” kata Prof. Deen dengan optimisme.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto telah menunjukkan komitmen serius untuk mengintegrasikan nuklir ke dalam bauran energi nasional. Salah satu rencana besar adalah pembangunan PLTN dengan kapasitas total hingga 5 gigawatt (GW) pada tahun 2040. “Ini adalah bagian dari komitmen Indonesia terhadap pengembangan energi nuklir,” kata Hashim Djojohadikusumo, Ketua Delegasi Indonesia untuk COP29, dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia di sela-sela acara COP29 di Baku, Azerbaijan.
Dengan rencana ini, Indonesia tidak hanya mengejar ketahanan energi tetapi juga berusaha mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang sejalan dengan target global untuk menurunkan emisi karbon. Langkah ini menunjukkan potensi energi nuklir sebagai salah satu solusi berkelanjutan untuk kebutuhan energi Indonesia di masa depan.
Keunggulan Energi Nuklir
- Emisi Karbon Nol
- Selama operasional, PLTN tidak menghasilkan emisi karbon, menjadikannya solusi yang ramah lingkungan dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.
- Produksi Energi yang Stabil
- Tidak seperti energi matahari dan angin yang bergantung pada cuaca, PLTN dapat beroperasi sepanjang waktu, memberikan pasokan listrik yang stabil.
- Efisiensi Tinggi
- Sebagai perbandingan, 1 kilogram uranium dapat menghasilkan energi yang setara dengan 3 juta kilogram batu bara, menunjukkan betapa efisiennya bahan bakar nuklir.
- Pengurangan Ketergantungan pada Batu Bara
- Dengan mengadopsi nuklir, Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada batu bara yang merupakan salah satu penyumbang terbesar polusi udara dan emisi karbon.
Langkah Menuju Masa Depan Energi Nuklir Indonesia
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen untuk mengintegrasikan nuklir ke dalam bauran energi nasional. Dalam rencana tersebut, setidaknya 5 gigawatt listrik diharapkan berasal dari energi nuklir pada tahun 2040. Proyek ini akan melalui beberapa tahapan, termasuk perizinan, konstruksi, pengujian, dan akhirnya operasional, yang membutuhkan waktu setidaknya tujuh hingga sepuluh tahun.
Sementara itu, riset dan pengembangan infrastruktur nuklir telah dimulai di beberapa institusi di Indonesia. Salah satu prioritas adalah memastikan bahwa energi nuklir diimplementasikan secara aman dan diterima oleh masyarakat luas.
Energi nuklir memiliki potensi besar untuk menjadi solusi jangka panjang bagi kebutuhan energi Indonesia yang terus berkembang. Dengan keunggulannya dalam efisiensi, emisi karbon nol, dan stabilitas produksi energi, nuklir bisa menjadi bagian penting dari transisi Indonesia menuju energi bersih.
Namun, tantangan seperti investasi besar, pengelolaan limbah, dan penerimaan masyarakat harus diatasi dengan pendekatan yang hati-hati. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, kolaborasi internasional, dan edukasi kepada masyarakat, nuklir dapat menjadi jalan bagi Indonesia menuju masa depan energi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
REFERENSI:
Alisah, Siti; Pratama, Collin Adi. 2024. Pengaruh Pencemaran Limbah PLTN Pada Ketersediaan Air Bersih Dan Urgensi Atas Regulasinya. JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana, [S.l.], v. 6, n. 2, p. 197 – 204, may 2024. ISSN 2684-7973.