Kampanye dari pihak-pihak yang concern terhadap masalah plastik kian meningkat. Dan untunglah, penyadaran publik terhadap bahaya sampah dan limbah plastik terhadap lingkungan juga meningkat, terutama dampaknya untuk biota laut dan kehidupan di samudera.

Plastik menjadi sesuatu yang berbahaya dan perlu kiranya untuk memikirkan lebih lanjut bagaimana peran manusia dalam menangani krisis sampah plastik ini. Bila dibiarkan, data dari NatGeo mencatat setidaknya jutaan ton sampah plastik tiap tahunnya berakhir di lautan. Sampah-sampah ini sebagiannya dikonsumsi oleh biota laut, oleh ikan-ikan besar seperti paus, kura-kura, dan banyak lagi lainnya. Faktanya, World Economic Forum (WEF) memprediksi bahwa produksi plastik saat ini selalu bertambah, dan bila trend ini terus berlanjut, maka pada tahun 2050 akan terdapat lebih banyak sampah plastik dibanding ikan di lautan.
Plastik memang merupakan suatu penemuan yang fantastis. Solusi untuk kemasan yang murah, ekonomis, fleksibel, gampang dibentuk dan dibuat dalam jumlah besar. Ongkos produksinya pun murah, maka tak ayal, banyak perusahaan yang sangat bergantung sekali dengan plastik sebagai pengemasan dan rantai nilai dari bisnisnya.
Kenyataan-kenyataan seperti lama dan susahnya sampah plastik terurai bukan hal yang tidak diketahui oleh publik. Semua orang mengetahuinya. Tetapi mengapa kita masih kecanduan untuk menggunakan plastik? Alasan praktis, fleksibilitas, murah, tersedia dimana-dimana, bukan jadi alasan utama kita harus bergantung selamanya terhadap plastik.
Penulis senang ketika ada kota tertentu yang untuk urusan sampah plastik ini, pemerintahannya ikut campur tangan dan memberlakukan kebijakan untuk tidak menggunakan plastik sebagai tempat barang-barang belanjaan. Tentu saja itu solusi. Ada lagi pemprov tertentu yang berusaha untuk mengubah limbah plastik menjadi energi (dan bahkan menjadi emas!). tetapi, upaya-upaya tersebut adalah upaya-upaya meminimalisir dampak tanpa mengurangi sumber dari produksi plastik itu sendiri.
Kabar baik juga datang dari eropa, akhir bulan lalu, 30 perusahaan besar global dengan itikad serius untuk concern terhadap masalah sampah plastik ini telah membuat proyek besar senilai 1 milyar dollars (atau sekitar 13 triliun rupiah). Angka yang fantastis. Bahkan untuk dana risetnya, aliansi perusahaan-perusahaan ini mencanangkan dana sebesar 1.5 millyar dollars (atau sekitar 20 triliun rupiah) untuk 5 tahun ke depan guna mengeliminasi limbah plastik.
Ketiga puluh perusahaan besar itu adalah perusahaan-perusahaan yang memang berkait-singgungan secara langsung dengan plastik, entah yang menyediakan bahan bakunya, yang menggunakannya, maupun yang memproduksinya. Perusahaan-perusahaan besar itu terdiri dari BASF, Berry Global, Braskem, Chevron Phillips Chemical Company, Clariant, Covestro, Dow, DSM, ExxonMobil, Formosa Plastik Corp. Usa, Henkel, LyondellBasell, Mitsubishi Chemical Holdings, Mitsui Chemicals, NOVA Chemicals, OxyChem, PolyOne, Procter & Gamble (P&G), Sasol, SUEZ, Shell, SCG Chemicals, Sumitomo Chemical, Total, Veolia and Versalis. Megaproyek tersebut bisa dilihat lebih lengkap di websitenya www.end-plastikwaste.org.
Sampah plastik bila ditangani serius, bukan saja tidak akan berbahaya buat lingkungan, tetapi justru memberikan manfaat. Setidaknya sampah plastik mempunyai nilai potensial. Semisal, perusahaan BASF mempunyai projek yang dinamai ChemCycling, yang menggunakan proses termokimia, sampah-sampah plastik tersebut tidak hanya di recycle melainkan diubah menjadi produk-produk minyak and gas yang bisa digunakan sebagai bahan baku. Pada desember lalu, BASF mengumumkan untuk pertama kalinya, mereka membuat produk berdasarkan sampah plastik yang di recycle secara kimiawi.
Pada bulan yang sama, perusahaan sejenis, bernama SABIC juga telah menanda tangani MoU dengan Plastic Energy, Ltd. Dua perusahaan tersebut merencakan untuk membangun plant pertama untuk dikomersialkan di Eropa. Plant tersebut akan me-refinary dan meng-upgrade feedstock yang terbuat dari bahan-bahan hasil recycle, low-quality dan campuran dari sampah plastik.
Pada bulan Oktober, Veolia dan Unilever juga berkolaborasi untuk menciptakan teknologi yang membantu mengurangi sampah plastik. Unilever berkomitment untuk menggunakan, setidaknya 25% hasil recycle plastik sebagai kemasannya pada tahun 2025.
Proses ChemCycling sebagai Solusi
Plastik jauh lebih kecil kemungkinannya terurai dibandingkan bahan organik lainnya. Karena plastik membentuk campuran heterogen dari berbagai komponen dengan struktur internal yang tidak stabil dengan karakteristik eksternal yang dapat berubah [1]. Meskipun masih banyak cara untuk memanfaatkan sampah plastik, yang termudah adalah dengan mengirimnya ke tempat pembuangan sampah atau dibakar dan diambil energinya. Tetapi karena sebagian besar plastik tidak bersifat biodegradable, maka cara pembakaran juga sebetulnya bukan solusi, karena berdasar hukum kekekalan masa, sampah plastik padat yang dibakar akhirnya jadi sampah gas, yang justru jadi lebih berbahaya karena menghasilkan gas rumah kaca beracun (hanya suhu insinerasi yang sangat tinggi yang dapat mencegah pelepasan dioxin dan furan dari plastik, tetapi ini membutuhkan energi yang sangat besar) [2]. Nah, yang unik dari ChemCycling, selain karena ia menggunakan proses termokimia, sampah-sampah plastik tersebut bisa digunakan untuk menghasilkan minyak dan syngas. Artinya bahan baku hasil daur ulang dapat digunakan sebagai input dalam rantai produksi selanjutnya, yang sebagiannya bisa menggantikan sumber daya atau bahan bakar fosil.

Proses ChemCycling ini tidak lain adalah proses termokimia atau pirolisis. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan subjek ini. Pirolisis plastik sebelumnya telah di review oleh Shruddin [3], Mereka menyimpulkan bahwa pirolisis memiliki potensi besar untuk mengubah limbah plastik menjadi minyak cair, gas, dan arang yang bernilai energi. Pirolisis sendiri adalah reaksi penguraian bahan organik atau anorganik secara thermal (panas) dengan atau tanpa sedikit oksigen atau pereaksi kimia lainnya, di mana material bahan akan mengalami pemecahan struktur kimia menjadi fase gas. Oleh karena itu, ini adalah salah satu solusi terbaik untuk konversi limbah plastik dan juga ekonomis dalam segi operasi. Fleksibilitas dari sisi produk yang diinginkan juga dapat dicapai dengan mengubah parameter operasi yang sesuai, seperti yang dilakukan oleh tim riset BASF.
Tetapi, plastic apa saja yang cocok dengan proses pirolisis? Sebagian diantaranya akan penulis paparkan berdasarkan riset dari para peneliti. Jenis plastik yang menjadi subjek dibatasi hanya untuk HDPE, LDPE dan Plastik campuran.
1.High density polyethylene (HDPE) and low density polyethylene (LDPE)
Polietilen densitas tinggi dan rendah merupakan komponen terbanyak dari plastik bekas. HDPE mempunyai ciri dengan rantai polimer linier panjang dengan tingkat kristalinitas tinggi dan bercabang rendah yang mempunyai sifat sangat kuat. Sebaliknya, LDPE memiliki lebih banyak percabangan dalam rantainya sehingga menghasilkan kekuatan antarmolekul yang lebih lemah, akibatnya menurunkan kekuatan dan kekerasan. Namun, LDPE memiliki keuletan yang lebih baik dan lebih mudah dibentuk [3]. HDPE ini tahan terhadap berbagai pelarut dan memiliki beragam aplikasi, mulai dari tutup botol, wadah penyimpanan makanan, kantong plastik, bingkai, spanduk, kursi dan meja lipat, tangki bahan bakar kendaraan, perpipaan, gudang penyimpanan, filamen printer 3-D dan masih banyak lagi. Sementara LDPE banyak digunakan untuk pembuatan berbagai wadah, botol, dll. Kantong plastik yang sering kita pakai adalah contoh umum dari LDPE yang paling populer.
Ahmad [4], telah mempelajari kualitas minyak yang diperoleh dari pirolisis HDPE pada kisaran suhu 250 – 400 °C. timnya menemukan, bahwa pada 250 °C tidak ada crack (keretakan) yang teramati. Pada suhu 350 °C konversi HDPE menjadi minyak merupakan yang paling tinggi dengan hasil minyak mencapai 80,88% berat. Namun, pada suhu 400 °C hasil untuk gas naik hingga 45,29% berat, sehingga menyebabkan penurunan produksi minyak. Fraksi liquid yang diperoleh dari HDPE ditambah hidrokarbon pada kisaran naphtha dengan dominan hidrokarbon berupa bensin dan diesel. Distribusi hidrokarbon parafin, olefin, dan naftenat dalam minyak masing-masing sebesar 59,70, 31,90, dan 8,40% berat. Perlu dicatat, bahwa indeks Diesel yang dihitung untuk HDPE pada penelitiannya adalah 31,05 (Diesel – 40), yang berarti, bahwa bahan bakar cair ini memiliki sifat pembakaran yang sangat baik.
Di lain pihak, Kumar dan Singh [5] menggunakan reaktor semi-batch dengan suhu pada rentang 400 dan 550 °C untuk memproses HDPE. Mastral [6] melakukan pirolisis plastik yang sama di atas suhu 650 °C. Mereka menggunakan unggun terfluidisasi, sehingga residu padatnya tidak diukur, karena hal tersebut tentu saja akan menjadi masalah besar. Gambar di bawah ini adalah ringkasan untuk melihat perilaku HDPE selama pirolisis dalam berbagai suhu. Kesimpulannya adalah bahwa pada suhu antara 350 °C dan 550 °C merupakan suhu optimal untuk pirolisis HDPE jika tujuannya adalah untuk mendapatkan produk liquid. Temperatur yang lebih rendah menghasilkan hasil arang yang lebih tinggi. Di sisi lain, suhu yang sangat tinggi juga mengurangi produk liquidnya.

Marcilla [7] menyelidiki pirolisis polietilen densitas rendah dan tinggi dalam reaktor batch. Eksperimennya dilakukan dari suhu 30 hingga 550 °C pada 5 °C / menit. Dalam kondisi ini, semua plastik dikonversi menjadi minyak dan gas tanpa residu padat. Pirolisis LDPE dan HDPE menghasilkan minyak masing-masing sebesar 93,1% dan 84,7%. Produk cairnya terdiri dari n-parafin, 1-olefin dan olefin dalam proporsi yang sangat berbeda. Onwudili [8] mempelajari pirolisis LDPE pada rentang suhu dari 300 hingga 500 °C. Pada suhu 350 °C, pelet polietilen meleleh dengan pembentukan gas yang rendah. Konversi ke minyak dimulai pada suhu di atas 410 °C di mana produk utamanya adalah hidrokarbon dengan C tinggi (wax) dan konversi lengkap LDPE terjadi pada suhu 425 °C ke atas.
Dekomposisi termal menghasilkan rendemen tinggi untuk minyak cair dengan rendemen sebesar 89,5% berat dan 10,0% berat gas pada suhu ini. Minyak memiliki produk dark-brown viskositas rendah dengan sejumlah kecil komponen lilin. Ini terutama terdiri dari senyawa alifatik yang didominasi oleh alkana jumlah karbon tinggi diikuti oleh alkena. Aromatiknya sebesar 12% berat minyak yang diperoleh pada suhu 425 °C (tekanan 1,60 MPa) dan 68% berat pada 500 °C (tekanan 4,31 MPa). Pada suhu pirolisis yang lebih tinggi, hasil minyak menurun karena lebih banyak terjadi crack atau keretakan yang menghasilkan reaksi sekunder yang mengarah pada pembentukan gas yang meningkat.
Park [9] mempelajari pirolisis LDPE untuk menghasilkan minyak ringan. Timnya menggunakan reaktor semi-batch dengan agitator pada kecepatan pencampuran 100 rpm. Mereka menemukan bahwa hasil minyak tertinggi adalah 84% berat pada suhu 440 °C ketika waktu retensinya relatif lama (132 menit). Minyak ini ditandai oleh jenis hidrokarbon dengan berat molekul rendah.
2. Plastik campuran
Demirbas [10] melakukan pirolisis untuk campuran poliolefin (PP, PE) dan PS yang dikumpulkan dari TPS. Hasil gas dan padat dilaporkan masing-masing sebanyak 35% berat dan 2,2% berat. Dalam hal komposisi minyak, minyaknya mengandung 4 ppm klorin yang dihasilkan dari residu PVC yang ada pada campuran plastiknya. Bagian terbesar dari sisa kandungan klorin ditemukan dalam residu padat. Sehingga ia menyimpulkan untuk membatasi kandungan klorin dalam bahan baku tidak boleh melebihi 1% berat untuk memastikan minyak berkualitas tinggi bisa dihasilkan.
Fraksi minyaknya terdiri dari parafin, olefin, nafta dan aromatik. Demirbas [10] menyimpulkan bahwa produk liquid dari pirolisis limbah plastik merupakan campuran naphtha berat (C7-C10), bensin (C8-C10) dan fraksi minyak gas ringan (C10-C20); dan produk gas biasanya terdiri dari hidrokarbon parafinik C1-C4 dengan beberapa olefin.
Ko-pirolisis polistiren dan polietilen yang dilakukan oleh Onwudili et al. [8] menghasilkan minyak yang kaya akan naftena (sikloalkana), n-alkana, n-alkena dan senyawa aromatik. Ia menyimpulkan bahwa nafta, parafin, dan olefin adalah produk langsung dari degradasi polietilen, sedangkan sebagian besar aromatik berasal dari polistiren. Nilai kalor yang dihitung dari cairan ini sebesar 39,7 MJ / kg.
Donaj et al. [11] melakukan ko-pirolisis polietilen dan polypropylene pada rentang suhu 650 °C dan 728 °C. Produksi gas masing-masing adalah 37% dan 42%. Residu padatnya tidak melebihi 15% berat. Dalam percobaannya jumlah cairan merupakan yang terbanyak, masing-masing 48% berat dan 44% berat. Namun, bagian penting dari cairan ini terdiri dari fraksi berat (termasuk minyak berat, wax dan karbon hitam). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan produksi fraksi cair yang lebih ringan.
Simpulan
Pirolisis tidak hanya berpotensi sebagai alternative untuk solusi sampah plastik, proses ini juga menawarkan satu lagi manfaat yang penting. Dalam prosenya, komponen organik dari bahan, baik alami atau buatan akan diuraikan dan bahan anorganik (material, logam, dll.) akan praktis tetap tidak berubah dan bebas dari bahan organik dan patogen. Oleh karena itu logam dapat dipisahkan dan sisa padatan digunakan kembali atau sebagai upaya terakhir, limbah yang akan ditimbun nantinya bisa menjadi minimum.
Pirolisis terutama sangat sesuai untuk limbah, yang mengandung plastik bermacam-macam, termasuk yang bercampur dengan bahan-bahan lain baik organik dan anorganik, yang daur ulang mekanisnya tidak layak. Para peneliti menyimpulkan bahwa komposisi bahan baku secara signifikan mempengaruhi distribusi dan kualitas produk pirolisis. Penambahan kertas menyebabkan pembentukan proporsi fase cair berair yang tinggi dan persentase CO dan CO2 yang besar. Di sisi lain, kandungan film polietilen yang tinggi menghasilkan pembentukan cairan parafin atau olefinat dengan viskositas tinggi. Artinya, adanya bahan anorganik menyebabkan jumlah residu padat yang lebih tinggi di reaktor.
Meskipun demikian, teknologi yang ada untuk mengubah limbah plastik menjadi bahan baku daur ulang seperti minyak pirolisis atau syngas harus dikembangkan lebih lanjut dan diadaptasi sehingga kualitas tinggi dengan jaminan konsistensi secara kualitas bisa dicapai. Tentu saja hal ini perlu penelitian lebih lanjut dan mendalam, dan dalam momentum hingar bingar untuk memperhatikan lingkungan terutama laut, tidak ada salahnya kan bila kita mulai meneliti juga tentang potensi pemanfaatan sampah plastik. Ini adalah bidang yang akan membawa manfaat besar untuk kemanusiaan dan dunia kita. Selamat mengeksplorasi!
Oleh, Sandra Sopian, Chemical Engineering.
Referensi :
[1] J. Wu, T. Chen, X. Luo, D. Han, Z. Wang, J. Wu. “TG/FTIR analysis on co-pyrolysis behavior of PE. PVC and PS”. 2014. Waste Management, pp. 676-682.
[2] F. Paradela, F. Pinto, I. Gulyurtlu, I. Cabrita, N. Lapa. 2009. “Study of the co-pyrolysis of biomass and plastik wastes”. Clean Technology Environment Policy, pp. 115-122.
[3] S.D. Anuar Shruddin, F. Abnisa, W.M.A. Wan Daud, M.K. Aroua. 2016. “A review on pyrolysis of plastik wastes”. Energy Convers Management, pp. 308-326.
[4] I. Ahmad, M.I. Khan, H. Khan, M. Ishaq, R. Tariq, K. Gul, et al. 2015. “Pyrolysis study of polypropylene and polyethylene into premium oil products”. Int. J. Green Energy, pp. 663-671.
[5] S. Kumar, R.K. Singh. 2011. “Recovery of hydrocarbon liquid from waste high density polyethylene By Brazilian”. J. Chem. Eng, pp. 659-667.
[6] F. Mastral, E. Esperanza, P. Garcı́a, M. Juste. 2002. “Pyrolysis of high-density polyethylene in a fluidised bed reactor. influence of the temperature and residence time”. J. Anal. Appl. Pyrolysis, pp. 1-15.
[7] A. Marcilla, M.I. Beltrán, R. Navarro. 2009. “Thermal and catalytic pyrolysis of polyethylene over HZSM5 and HUSY zeolites in a batch reactor under dynamic conditions”. Appl. Catalogue Environment, pp. 78-86.
[8] J.A. Onwudili, N. Insura, P.T. Williams. 2009. “Composition of products from the pyrolysis of polyethylene and polystyrene in a closed batch reactor: effects of temperature and residence time”. J. Anal. Appl. Pyrolysis, pp. 293-303.
[9] J.J. Park, K. Park, J. Park, D.C. Kim. 2002. “Characteristics of LDPE Pyrolysis”. pp. 658-662.
[10] Demirbas. 2004. “Pyrolysis of municipal plastik wastes for recovery of gasoline-range hydrocarbons”. J. Anal. Appl. Pyrolysis, pp. 97-102.
[11] P.J. Donaj, W. Kaminsky, F. Buzeto, W. Yang. 2012. “Pyrolysis of polyolefins for increasing the yield of monomers’ recovery”. Waste Management, pp. 840-846.