Belakangan ini, kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia kembali ramai dibicarakan semenjak disinggung pada debat kedua Pilpres, 17 Februari 2019 lalu. Terlepas dari pernyataan kedua capres, kasus karhutla hingga saat ini memang masih menjadi masalah serius yang harus segera dituntaskan.
Berdasarkan data dari SiPongi-Karhutla Monitoring System, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mencapai luas 30.855,50 hektar pada tahun 2018[1]. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat lahan seluas 843 hektar terbakar di Provinsi Riau dalam rentang waktu 1 Januari – 18 Februari 2019[2]. Untuk mengoptimalkan upaya mitigasi dari berbagai komponen, Pemprov Riau menetapkan status Siaga Darurat Karhutla mulai 19 Februari hingga 31 Oktober 2019, seperti yang dilakukan tahun lalu.
Gambar 1. Ilustrasi kebakaran hutan dan lahan[3]
Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya dapat merusak ekosistem dan memperparah pemanasan global, tetapi juga menimbulkan efek negatif bagi kesehatan manusia, seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), penyakit paru ostruktif kronik, serta gangguan pada mata dan kulit.
Baru-baru ini, terkuak dampak kesehatan jangka panjang tak terduga yang diakibatkan oleh kebakaran hutan. Tim peneliti gabungan dari Duke University dan National University of Singapore dalam publikasi terbarunya yang berjudul “Seeking Natural Capital Projects: Forest Fires, Haze, and Early-Life Exposure in Indonesia” di Proceedings of the National Academy of Sciences of USA (PNAS) pada 15 Januari 2019 lalu menyebutkan bahwa paparan kabut asap yang disebabkan oleh karhutla pada janin dan anak-anak dapat mengakibatkan penurunan signifikan pada tinggi badan sebesar 3,4 cm dari tinggi badan normal pada usia 17 tahun[4].
Profesor Subhrendu Pattanayak dari Duke University dan asistennya, Jie-Sheng Tan-Soo dari National University of Singapore mengobservasi perkembangan 560 janin dan bayi berusia enam bulan pada periode Agustus-Oktober 1997 yang terpapar kabut asap parah di Indonesia, khususnya di Sumatra dan Kalimantan.
Observasi tersebut dilakukan di empat gelombang survei, yaitu pada tahun 1997, 2000, 2007, dan 2014 untuk mengetahui perkembangan tinggi anak-anak tersebut pada usia 3, 10, dan 17 tahun. Hasil penelitian itu telah dipastikan tidak dipengaruhi oleh tingkat polusi udara yang tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, faktor geografi, dampak tak langsung polusi udara yang parah pada kemampuan sebuah keluarga untuk bekerja dan mendapatkan upah, atau berkurangnya konsumsi makanan selama terjadinya kebakaran hutan[5].
Gambar 2. Ilustrasi stunting, kondisi dimana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan seusianya[6]
Pada Agustus-November 1997 silam, Indonesia mengalami kebakaran hutan terparah dan terlama di sepanjang sejarah. Selain disebabkan oleh praktik pembukaan lahan kelapa sawit dengan cara membakar hutan, bencana tersebut juga disebabkan oleh El-Nino, yang merupakan fenomena global dari sistem interaksi laut dan atmosfer yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut di sekitar Pasifik Tengah dan Timur sepanjang ekuator[7]. Akibatnya, terjadi kemarau ekstrim yang panjang di Indonesia. Pada kondisi tersebut, pembakaran lahan gambut akan menimbulkan api yang menyebar dengan sangat cepat lewat bawah tanah, sehingga terjadi kebakaran hebat yang sulit dipadamkan. Peristiwa ini merusak sekitar 11 juta hektar lahan di Indonesia, khususnya di Sumatra dan Kalimantan, serta menimbulkan kabut asap tebal yang menyebar hingga Thailand dan Vietnam[8].
Penelitian tersebut juga mengungkap adanya kerugian negara sebesar 4% dari rata-rata gaji per-bulan untuk sekitar sejuta pekerja Indonesia yang lahir pada periode tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya korelasi positif antara tinggi badan seseorang dengan pendapatan yang diterima. Jika diasumsikan masa kerja buruh di Indonesia adalah usia 21-58 tahun dengan rata-rata gaji tahunan sebesar US$860, social discount rate sebesar 8%, dan rata-rata kenaikan gaji tahunan sebesar 2% untuk 15 tahun pertama masa kerja, dapat disimpulkan bahwa kerugian produktivitas seumur hidup untuk 1.13 juta pekerja yang lahir pada saat peristiwa kebakaran hutan 1997 tersebut mencapai sekitar US$392 untuk tiap orang[4].
Penelitian lain pada kasus yang sama oleh Maria Rosales-Rueda dan Margaret Triyana yang dipublikasikan di Journal of Human Resources juga menyebutkan hal serupa. Mereka mengungkapkan bahwa paparan kabut asap akibat kebakaran hutan hebat di tahun 1997 pada anak usia dini dapat berpengaruh secara signifikan pada pertumbuhan fisik dan kapasitas paru-paru, tetapi tidak memiliki efek signifikan pada perkembangan kognitif[8]. Pada penelitian tersebut juga dibahas mengenai hubungan antara kabut asap dengan pertumbuhan fisik pada janin dan anak di masa awal hidupnya. Menurutnya, meskipun hubungan keduanya masih belum pasti, karbon monoksida yang dikandung oleh kabut asap menyebabkan terbentuknya karboksihemoglobin, yaitu hemoglobin yang mengikat karbonmonoksida, bukan oksigen. Akibatnya, kadar oksigen dalam tubuh berkurang dan terjadi anemia[8]. Pada anak, anemia dapat mengakibatkan keterlambatan pertumbuhan, sehingga menyebabkan stunting[9]. Selain itu, hubungan antar keduanya diduga juga diakibatkan oleh rendahnya berat badan dan infeksi pernapasan[8].
Untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan, Profesor Subhrendu Pattanayak dan asistennya, Jie-Sheng Tan-Soo menyarankan kepada pemerintah Indonesia untuk mengefektifkan pelarangan membakar hutan dan lahan, pencegahan terjadinya kebakaran, dan pelaksanaan moratorium perkebunan kelapa sawit dalam rangka melindungi lingkungan hidup dan sumber daya manusia. Pasalnya, meskipun telah menganalisis metode pembukaan lahan secara mekanik, yang terbukti memiliki manfaat sosial lebih tinggi jika dibandingkan dengan pembukaan lahan dengan membakar hutan, para pelaku industri umumnya tak mau mengeluarkan biaya tinggi untuk membuka lahan secara mekanik[5]. Kita semua tentu berharap pemerintah bersedia merespon masukan berharga ini dengan melaksanakan penegakan hukum yang berkeadilan dan bebas kongkalikong. Pemerintah juga harus mulai menaruh perhatian khusus terkait dampak karhutla terhadap kejadian stunting pada anak.
REFERENSI:
[1] Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018. Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan dan Lahan (Ha) Per Provinsi di Indonesia Tahun 2013-2018. Sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas-kebakaran. Diakses pada 26 Februari 2019.
[2] Kompas. 2019. 6 Fakta Karhutla di Riau, dari Penetapan Status Siaga Darurat Hingga Penangkapan Tersangka. https://regional.kompas.com/read/2019/02/20/14545191/6-fakta-kathutla-di-riau-dari-penetapan-status-siaga-darurat-hingga. Diakses pada 26 Februari 2019.
[3] Republika. 2019. Kebakaran Hutan dan Lahan Perkebunan Sawit Rakyat di Riau. https://www.republika.co.id/amp/pnhjq0283. Diakses pada 26 Februari 2019.
[4] Tan-Soo, J. dan Pattanayak, S.K. 2019. Seeking natural capital projects: Forest fires, haze, and early-life exposure in Indonesia. Proceedings of the National Academy of Sciences of USA. www.pnas.org/cgi/doi/10.1073/pnas.1802876116. Diakses pada 25 Februari 2019.
[5] Sanford School of Public Policy. 2019. Forest Fire Stunt Growth, Cause Permanent Loss of Human Potential. https://sanford.duke.edu/articles/forest-fires-stunt-growth-cause-permanent-loss-human-potential. Diakses pada 26 Februari 2019.
[6] Akurat. 2018. 800 Balita di Depok Alami Stunting. https://m.akurat/co/id-266858-read. Diakses pada 26 Februari 2019.
[7] Athoillah, I., Sibarani, R.M., dan Doloksaribu, D.E. 2017. Analisis spasial pengaruh kejadian el nino kuat tahun 2015 dan la nina lemah tahun 2016 terhadap kelembapan angin dan curah hujan di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 18 (1): 33-41.
[8] Rosales-Rueda, M. dan Triyana, M. 2018. The persistent effects of early-life exposure to air pollution: evidence from Indonesian forest fire. Journal of Human Resources 54(4).
[9] Wijayanti, F.K. dan Bardosono, S. 2014. Prevalensi anemia pada anak usia 3 sampai 9 tahun dan hubungannya dengan risiko stunting. www.lib.ui/ac/id. Diakses pada 26 Februari 2019.