Oleh: Moch. Rosyadi Adnan
Global warming merupakan issue yang telah dikaji oleh para ahli multidisiplin ilmu terkait bagaimana meluasnya dampak yang ditimbulkan pada berbagai sektor kehidupan salah satunya adalah kestabilan ekosistem, punahnya spesies, naiknya level air laut, dan krisis air. Pengaruh krisis air yang nyata di Negara yang agraris dan maritim seperti Indonesia berdampak pada sektor perikanan, tambak, peternakan, dan pertanian. Beberapa laporan seperti kegagalan panen, kematian massal, maupun penurunan produksi yang signifikan akan sering mewarnai warta dan media bila tidak ada langkah kreatif dari introduksi teknologi yang coba ditawarkan.
Tebu (Saccharum officinarum) yang banyak digunakan sebagai sumber gula di seluruh dunia ditanam di lebih dari 100 negara dengan luas lahan tebu di seluruh dunia lebih kurang 26,9 Ha dan 70.9 ton batang tebu diproduksi dari tiap hektarnya. Tebu yang tergolong tanaman C4 merupakan tanaman tahunan yang diambil batangnya untuk diproses lebih lanjut menjadi gula. Hasil samping dari tebu seperti bagasse dan molasses merupakan hasil yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut menjadi biofuel, pupuk, serat maupun bahan berguna yang lain. Industri tebu secara global menghasilkan kira kira 22.9 ton lignosellulose kering dan 3000 L biotethanol dari bagasse per hektar lahan tebu (Hoang et al., 2015). Dengan demikian produktivitas tanaman tebu merupakan hal yang penting dalam industri pertanian. Krisis air sebagai dampak dari terjadinya global warming akan berakibat pada terhambatnya pertumbuhan tanaman tebu.
Defisiensi air pada tanaman akan berkontribusi dalam pengguguran daun dan organ tumbuhan, terhambatnya pertumbuhan, serta penurunan laju fotosintesis yang pada akhirnya menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman (Taiz dan Zeiger, 2002). Defisiensi air pada tanaman tebu paling berdampak pada organ batang dan daun, dimana tanda stress yang diakibatkan cekaman kekeringan pada tebu dapat dikenali awal dari perubahan morfologi tebu dan pertumbuhan daun dan batang yang terhambat (Ferreira et al., 2017). Padahal tebu diambil sari batangnya untuk kemudian dipisahkan dari bagian bagasse kemudian dipanaskan dan diproses sedemikian rupa hingga terbentuk kristal gula siap konsumsi.
Upaya manajemen air untuk irigasi tentu tidaklah cukup manakala faktor lingkungan dan kondisi cuaca membatasi konten air dalam tanah. Oleh karena itu, sangat diperlukan varietas tebu yang tetap dapat berproduksi dalam kondisi lahan yang mengalami kekeringan. Untuk mendapatkan varietas tebu baru, dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu Conventional breeding maupun Molecular breeding. Conventional breeding memerlukan waktu lebih dari 10 tahun untuk mendapatkan tebu hybrid yang diharapkan. Hal ini karena sifat alamiah tebu yang hanya berbunga sekali setahun dan memerlukan kondisi khusus untuk memicu perbungaannya. Selain itu tahapan seleksi dalam tiap generasi persilangan membutuhkan waktu yang cukup panjang (Hoang et al., 2015 dan Zhou et al., 2016).
Gb 00 Conventional plant breeding vs Genetic-engineering (molecular) breeding
(Sumber : nas-sites.org)
Molecular breeding merupakan terobosan untuk memperoleh karakter yang diinginkan dengan memasukkan kode genetik DNA tertentu yang diinginkan ke dalam suatu organisme. Dan karena DNA merupakan kode universal yang berlaku pada seluruh makhluk hidup, tidak mustahil untuk secara molekuler “mengawinkan” 2 organisme berbeda sehingga menghasilkan organisme baru yang memiliki karakter unggul yang diinginkan. Kemampuan Agrobacterium tumefaciens dalam mentransfer gen dalam T-DNA nya ke dalam sel tanaman merupakan penemuan penting yang sekarang banyak dimanfaatkan dalam rekayasa genetika pada tanaman (Alimohammadi dan Najjar, 2009). Karakter ketahanan terhadap stress kekeringan dimiliki oleh beberapa organisme seperti bakteri, jamur, maupun beberapa jenis tumbuhan lain. Organisme tersebut umumnya memiliki kemampuan untuk mengakumulasikan senyawa protektan yang mampu menjaga kestabilan sel saat tercekam, salah satunya adalah Glysin Betain (GB)
Gb.0 Mekanisme transfer DNA Agrobacterium tumefaciens ke sel tanaman
Sumber : (https://passel.unl.edu/)
GB merupakan senyawa organik yang mampu melindungi sel terhadap beberapa jenis stress pada berbagai jenis tanaman dan mikroorganisme. GB yang terakumulasi dalam sel yang mengalami stress kekeringan akan membantu mempertahankan integritas membran sel, kestabilan enzim, dan membantu regulasi air sel, sehingga mampu mencegah kematian sel serta membantu kinerja sel agar tetap normal saat terjadi cekaman kekeringan. GB dihasilkan organisme yang berbeda melalui mekanisme yang berbeda-beda.
Gb. 1 Jalur sintesa Glisin Betain pada tanaman dan bakteri
(Sugiharto, 2018)
Pada tanaman dan E. coli, GB disintesis melalui 2 tahapan yakni dari Choline yang kemudian dikonversi menjadi Betain aldehyde oleh enzim Choline Monooxigenase (CMO) yang selanjutnya diubah menjadi GB oleh enzim Betain aldehyde Dehidrogenase (BADH). Pada bakteri E coli, peran enzim CMO pada tanaman digantikan oleh Choline Dehidrogenase (CDH) kemudian dilanjutkan oleh enzim BADH sehingga terbentuk GB. Adapun organisme lain seperti Arthrobacter globiformis dan Arthrobacter panescens mampu menghasilkan GB dari Choline melalui 1 tahapan reaksi yakni dengan menggunakan enzim Choline Oksidase (COD) (Sugiharto et al., 2018). Secara fisiologis, ketahanan sel tanaman terhadap stress kering berkaitan erat dengan peningkatan kandungan GB intrasel. Kandungan alami choline sebagai substrat sintesis GB, letak maupun kekuatan ekspresi gen merupakan faktor yang berpengaruh dalam sintesis GB. Pendekatan molecular breeding mentargetkan agar tanaman yang awalnya tidak mengakumulasikan GB “dibuat” agar mampu mengakumulasikan GB dalam selnya.
Aplikasi GB secara eksogenus pada tanaman dapat mengurangi respons akibat stress karena cekaman lingkungan, namun pemberian GB secara regular pada tanaman menyebabkan cost yang lebih tinggi (Sugiharto, 2018). Oleh karena itu, pemilihan gen yang mengkode enzim yang tepat, sehingga mampu diekspresikan dalam tanaman, dan dapat meningkatkan akumulasi GB intrasel yang pada akhirnya mampu meningkatkan kekebalan tanaman terhadap stress kekeringan penting untuk dilakukan. Setelah gen pengkode enzim target ditemukan, gen tersebut dinaikkan tingkat ekspresinya dengan menggunakan promoter yang kuat seperti promoter 32S CaMV yang berasal dari Cauliflower Mozaic Virus. Pendekatan tersebut dapat disebut pula sebagai overekspresi gen. Penggunaan promoter yang kuat banyak dilakukan untuk meningkatkan produk suatu gen dalam rekayasa genetika tanaman tebu (Ferreira et al., 2017).
Rekayasa genetika untuk meningkatkan GB melalui overekspresi gen COD dari Arthrobacter globiformis pada kloroplas tanaman Arabidopsis dan padi mampu menyebabkan tanaman transgenik dapat mengakumulasikan GB namun dalam tingkat yang sangat rendah. Expresi gen COX pada kloroplas tanaman Arabidopsis, Brasica napus, dan Nicotiana tabacum juga hanya mampu mengakumulasikan GB dalam tingkat yang rendah. Selain itu ekspresi gen CMO pada sel tanaman tembakau juga memberikan hasil serupa. Pengaruh peningkatan GB yang positif pada tanaman tebu didapatkan dengan mengoverekspresikan gen betA yang menyandikan enzim CDH dari Rhizobium meliloti. Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Jember bekerja sama dengan PT Perkebunan Nusantara XI dan Ajinomoto Co., Inc., Jepang berhasil menghasilkan produk tanaman tebu transgenik (NXI-4T) overekspresi enzim CDH. Tebu yang dirakit dengan menggunakan kemampuan Agrobacterium tumefaciens. Setelah melalui proses seleksi antibiotik segera diskrining, kemudian ditumbuhkan di greenhouse untuk dilakukan analisis.
Konfirmasi dengan PCR (Polymerase chain reaction) dan Southern blot menunjukkan bahwa gen betA dari R. melilotti telah terintegrasi secara stabil dan mampu menghasilkan tanaman tebu yang mampu mengakumulasikan GB pada kisaran 182 sampai 880 ppm lebih tinggi dibanding tebu wild type (BL) yang hampir tidak mengakumulasikan GB. Pengujian daya ketahanan tebu transgenik dibanding wild type dilakukan dengan menghentikan perlakuan penyiraman. Tebu wild type mulai menunjukkan gejala layu pada hari ke 8 dan layu permanen setelah 28 hari perlakuan. Tebu transgenik yang memiliki gen betA menunjukkan gejala layu pada hari ke 12 dan baru layu secara permanen setelah lebih dari 30 hari diberi perlakuan cekaman kekeringan (Gambar 2). Selain itu, tanaman transgenik juga tampak memiliki perkembangan sistem perakaran yang menarik karena pada usia perkembangan yang sama, akarnya tampak lebih panjang dan lebih luas dibandingkan dengan wild type nya. Hal ini merupakan suatu indikasi bagus yang memenuhi kriteria tanaman yang mampu beradaptasi terhadap kondisi yang kering (Gambar 3).
Gb.2 Hasil perlakuan cekaman kering pada tanaman transgenik (NXI-4T) dan wild type (BL) setelah 8 hari (kiri) dan 28 hari (kanan)
Gb.3 Perbedaan sistem perakaran tanaman transgenik (NXI-4T) dan wild type (BL)
Perbedaan respon pertumbuhan tanaman saat musim kemarau ditunjukkan pula oleh tanaman transgenik yang hampir tidak terpengaruh pertumbuhan internodus batangnya, sebaliknya bagian internodus batang tanaman wild type mengalami pemendekan saat musim kemarau (Gambar 4). Hal ini mengakibatkan pengukuran hasil batang tanaman tebu transgenik yang mengalami peningkatan jumlahnya dibandingkan dengan wild typenya.
Gb.4 Perbedaan internodus batang tebu saat musim kering. Tanaman transgenik (kiri) menunjukkan panjang internodus yang normal sedangkan tanaman wild-type menunjukkan pemendekan internodus saat musim kemarau
Meski kadar sucrose hampir tidak memiliki perbedaan dengan tanaman wild type, namun ketahanan terhadap cekaman kering merupakan poin yang penting dalam perkembangan industry tebu. Dimana varietas yang tahan terhadap kekeringan merupakan varietas yang dapat tumbuh normal karena pertumbuhannya tidak terhambat pada musim kemarau. Hal ini tentu mempengaruhi produksi tebu karena bila varietas yang tidak tahan terhadap kekeringan digunakan, terhambatnya pertumbuhan saat musim kemarau tentu berpengaruh terhadap produksi gula. Tebu NXI-4T kini telah diakui sebagai tebu tahan kering pertama yang dirakit menggunakan pendekatan bioteknologi. Tebu overekspresi gen beta tersebut telah teruji aman secara keamanan pangan, pakan, dan lingkungan.
Referensi kunci
- Sugiharto, B. 2018. Biotechnology of Drought-Tolerant Sugarcane Chapter 8 in Sugarcane Alexandre De Oliveira, IntechOpen, DOI: null. Available from: https://www.intechopen.com/books/sugarcane-technology-and-research/biotechnology-of-drought-tolerant-sugarcane
- Referensi pendukung
- Taiz, L. dan Zeiger, E. 2002. Plant Physiology 3rd edition. Sinauer : sunderland
- Ferreira THS, Tsunada MS, Bassi D, Araújo P, Mattiello L, Guidelli GV, Righetto GL, Gonçalves VR,
- akshmanan P and Menossi M. 2017. Sugarcane Water Stress Tolerance Mechanisms and Its Implications on Developing Biotechnology Solutions.Front. Plant Sci. 8:1077.doi: 10.3389/fpls.2017.01077
- Hoang NV, Furtado A, Botha FC, Simmons BA and Henry RJ. 2015. Potential for Genetic Improvement of Sugarcane as a Source of Biomass for Biofuels. Front. Bioeng. Biotechnol. 3:182. doi: 10.3389/fbioe.2015.00182
- Zhou D, Xu L, Gao S, Guo J, Luo J, You Q and Que Y (2016) Cry1Ac Transgenic Sugarcane Does Not
- Affect the Diversity of Microbial Communities and Has No Significant Effect on Enzyme Activities in
- Rhizosphere Soil within One Crop Season. Front. Plant Sci. 7:265. doi: 10.3389/fpls.2016.00265
- Alimohammadi, M. dan M. B. B. Najjar. 2009. Agrobacterium-mediated transformation of plants: Basic principles and influencing factors. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (20), pp. 5142-5148.