Oleh: Sandra Sopian
Langit selalu menawarkan rasa keingintahuan yang mendalam. Tentang apa yang terjadi di langit nun jauh disana. Tentang gerakan-gerakan planet yang penuh dengan keteraturan. Semenjak baheula, langit yang misterius selalu berhasil memancing rasa keingintahuan manusia untuk menguak rahasianya itu. Tidak sekedar observasi, tidak sekedar melihat dengan mata telanjang, tetapi karena keteraturan, pola, kemunculan, dan segala yang berkaitan dengan langit malam itulah yang selalu mampu untuk membuat siapapun jatuh terjerembab dalam kubangan rasa kagum, takjub, cinta dan takut sekaligus pada waktu yang bersamaan. Bagaimana tidak, langit adalah tempat yang indah, sekaligus ekstrim. Tempat yang cantik sekaligus kejam. Bila kau sedang ada disana dan kau melakukan kesalahan yang tolol, maka nyawamu akan hilang seketika. Sebuah tempat tanpa oksigen yang cukup. Tanpa gravitasi. Dan tanpa ada jaminan bahwa kau akan kembali selamat ke bumi [1] .
Siapa yang tidak tergiur dengan perjalanan antariksa? Kita tahu dari fisika, tepatnya dari Einstein, bahwa perjalanan antariksa melibatkan ruang dan waktu yang relatif. Siapa yang tidak tertarik dengan perjalanan antariksa yang menawarkan obat awet muda padamu bila dibanding usia (saudara kembar)mu di bumi. Sesuatu yang membuat kita juga jadi lebih pusing untuk mendefinisikan tentang waktu, karena bila waktu relatif terhadap ruang dan pengamat, maka persepsi kita tentang masa lalu, masa kini dan masa depan juga jadi rancu [2] . Bayangkan begini contohnya, bahwa cahaya dari bintang yang terjauh yang sampai ke mata kita dengan jarak jutaan tahun cahaya itu ternyata berasal dari masa lalu, pada detik itu bisa saja sumber cahayanya sudah tidak ada, sudah meledak menjadi kepingan-kepingan sampah kosmis.
Beberapa hari yang lalu saya menonton serial TV yang ada hubungannya dengan kehidupan di antariksa ; The 100, sebuah kisah (fiksi) tentang bumi yang ditinggalkan karena terpapar radiasi akut karena perang nuklir sehingga bumi menjadi tempat yang tidak aman untuk dihuni. Akhirnya bumi ditinggalkan dan ras manusia yang berhasil selamat diungsikan ke Ark, stasiun ruang angkasa yang sudah dibangun sebelumnya. Perlu waktu hingga 100 tahun atau 3 generasi untuk membuat bumi kembali aman untuk dihuni, tapi petaka tiba-tiba datang ketika di tahun ke 97, Ark mempunyai trouble yang tidak bisa diperbaiki ; cadangan oksigen tak cukup untuk menyuplai kehidupan didalam ark. Sistem oksigennya rusak dan Ark sedang berada dalam kondisi yang sekarat. Ditambah dengan jumlah populasinya yang kian bertambah, disana mempunyai anak dua adalah kejahatan (mirip seperti kebijakan di Tiongkok). Dan hukumannya bisa dibuang ke ruang angkasa alias eksekusi mati.
Solusinya untuk permasalahan Ark itu ada dua, membuang kelebihan muatan dari Ark yang itu artinya harus ada orang-orang yang dikorbankan untuk dibuang ke ruang angkasa yang hampa udara, atau menurunkan 100 orang (yang diambil dari anak-anak belia yang dipenjara karena berbagai kasus kejahatan dibawah umur) ke bumi untuk melihat apakah bumi sudah kembali aman untuk dihuni atau tidak. Saya tidak akan menjelaskan tentang bagaimana kisah itu berjalan, melainkan ingin mengambil sebuah gambaran bahwasannya apa yang terjadi dalam serial TV tersebut merupakan sebuah bencana atau tragedi. Bumi tiba-tiba mendadak menjadi sesuatu yang dirindukan. Airnya yang jernih nan menyegarkan tur berlimpah, udaranya yang tak terbatas, cuacanya yang tidak ekstrim, dan ketika itu, bumi merupakan sebenarnya rumah kita. Benarlah bahwa untuk membangkitkan kerinduan dan kecintaan kita pada rumah (misalnya), adalah dengan cara pergi menjauh dari rumah itu. Sejak saat itulah rumah menjadi sesuatu yang dirindukan.
Saya jadi berpikir, untuk apa kita berharap bisa bermigrasi ke mars atau planet lain yang ‘mirip’ dengan bumi sementara bumi saja belum kita kenali sepenuhnya. Daripada kita mengeksploitasi bumi secara maksimal dan tak berperi-ke-alam-an lalu setelah rusak serusak-rusaknya (karena keserakahan yang tak ada batasnya) ditinggalkan dan berbondong-bondong pergi ke planet lain, maka saya jamin, saat itu juga kita akan menyesal yang tak berkesudahan bahwa kita telah menyia-nyiakan bumi sedemikian rupa [3] .
Cerita tentang antariksa adalah cerita tentang petualangan yang tak bertepi. Mengusik keingintahuan yang mendalam dan memberikan pemahaman yang luas, bahwa kita hidup, ternyata tidak hanya di bumi, tata surya kita, atau di galaksi bima sakti saja, melainkan keluasan yang tak terhingga. Dengan alat yang sudah ada sekarang, dengan leluasa kita bisa mengobservasi dan memetakan kehidupan langit. Antariksa menjadi wahana yang terlalu asyik untuk dilewatkan. Misalkan dengan alat-alat yang ada kita sekarang menjadi tahu bahwa terdapat sebuh planet dengan tiga matahari, disana malam adalah hal yang langka, dengan kontras warna yang berkecenderungan untuk selalu merah biru dan kuning. Lalu di bagian lain kita mendapati ada 6 atau 7 bintang pada Pleiades yang bersinar terang dan bisa disaksikan oleh mata telanjang kita dari bumi, Pleiades adalah tanda kecantikan yang masih mampu terjangkau, begitu juga untuk bintang Alceyone. Di antariksa sana, setiap detik, antara yang terlahir dan mati. Yang terlahir itu sebenarnya terbentuk dari sisa-sisa sampah kosmis, untuk kembali hilang dan mati. Tidak ada yang abadi, bahkan bintang pun mengalami kematian [4] .
Kita pun pernah dibuat takjub oleh Eta Carinae, sebuah bintang yang sempat mengalahkan terangnya Sirius, Tapi lantas padam dan redup setelah itu [5] . Bila kita tarik dalam rentang waktu sejarah yang teramat panjang, semua bintang dan sampah-sampah kosmis itu merupakan masa lalu kita. Artinya kita adalah anak-anak bintang, karena terlahir dari debu bintang yang terserak.
Saya selalu takjub bila membaca tentang astronomi. Bukan hanya sekedar tentang pengamatan terhadap langit. Kita bukan sekte pemuja langit. Kita hanya manusia-manusia polos yang entah kenapa takluk dihadapan kemegahan langit. Langit yang terus memuai dan mengembang. Teori Expanding universe [6] kiranya bisa menjelaskan tentang hal ini, bahwa baru belakangan ini (belum beberapa abad yang lalu) diketahui bahwa alam semesta ini ternyata tidak statis, melainkan terus berkembang dan menjauh. sampai kapan? Saya kira akan terus begitu untuk selamanya. Dalam serial Cosmos Odyysey yang merupakan serial pembaharuan dari serial sebelumnya yang dibawakan oleh Carl Sagan [7] , perilaku itu disebabkan oleh kekuatan misterius di alam semesta ini, sesuatu yang mengalahkan gravitasi pada skala terbesar untuk mendorong kosmos menjauh. sebagian besar energi di alam semesta terikat pada kekuatan yang tidak kita ketahui ini. kita menyebutnya “Dark Energy”, namun istilah itu, seperti halnya term “Dark Matter”, hanyalah kata pengganti karena ketidaktahuan kita. Ini yang saya suka dari sains, bahwa tidak apa-apa tidak mengetahui semua jawaban, lebih baik mengakui ketidaktahuan kita daripada percaya pada jawaban yang bisa saja salah. Berpura-pura tahu segalanya akan menutup pintu utk mengetahui apa yang sebenarnya ada disana. Dan astronomi membuat kita sadar, bahwa alam semesta ini begitu luas dan besarnya. Astronomi adalah pengalaman yg merendahkan hati dan membentuk karakter.
Sagan juga pernah mengulas gambaran menarik tentang astronomi dan sejarahnya. Pendapat ini ada dalam bukunya yang berjudul “Pale Blue Dot”, diterbitkan pada tahun 1994. Nah kira-kira isi buku itu kalau diringkas dalam beberapa kalimah lebih kurang begini :
Zaman dahulu orang berkata : seandainya bumi bukan pusat semesta, melainkan cuma mengelilingi matahari, tidak apa-apa. minimal matahari masih jadi pusat. Dan lalu para ilmuwan kemudian menemukan bahwa matahari cuma satu bintang di galaksi bimasakti.
Kemudian orang berkata, seandainya matahari bukan pusat semesta, melainkan cuma bagian dari bima sakti, tidak apa-apa. minimal galaksi bimasakti itu satu-satunya galaksi. Dan lalu para ilmuwan kemudian menemukan bahwa ada banyak galaksi lain.
Kemudian orang berkata, seandainya bimasakti cuma salah satu galaksi, tidak apa-apa. minimal dia ditengah alam semesta. Dan lalu para ilmuwan kemudian menemukan bahwa tidak mungkin bisa menentukan pusat alam semesta.
Kemudian orang berkata, seandainya bimasakti memang tak ditengah, tidak apa-apa. minimal cuma disini yang ada planetnya. sejauh ini benar. pun demikian, bilang begitu ibaratnya pelarian. apabila kelak ilmuwan menemukan planet di galaksi lain, klaim ini juga akan runtuh [8] .
Sagan menamai rangkaian peristiwa itu sebagai “Series of Great Demotions”. dari zaman ke zaman, kemajuan sains memaksa orang untuk berpikir akan posisinya di alam semesta. ibaratnya kita “dipaksa” untuk tidak sombong.
Referensi :
[1] Golden, Frederic, Peter Stoler, and Calif. 1980. “The Cosmic Explainer He-e-e-re’s Carl, bringing you nothing less than the universe.” Time 116, no. 16: 62. Academic Search Complete, EBSCOhost (accessed April 10, 2018).
[2] Thorne, Kip (2003). The future of theoretical physics and cosmology: celebrating Stephen Hawking’s 60th birthday. Cambridge University Press. p. 74. ISBN 0-521-82081-2. Extract of page 74
[3] Shirley, Donna. “Mars Exploration Program Strategy: 1995–2020” (PDF). American Institute of Aeronautics and Astronautics. Archived from the original (PDF) on 11 May 2013. Akses tanggal 18 April 2018.
[4] Tsiganis, K et al.2005. Origin of the orbital architecture of the giant planets of the Solar System. Nature. 435 (7041): 459–461
[5] Lang, Kenneth R. 2011. The Cambridge Guide to the Solar Sistem (2nd.ed). Cambridge University Press, United Kingdom.
[6] Druyan, Ann; Sagan, Carl; Tyson, Neil deGrasse (2013). Cosmos. New York: Ballantine Books. p. xix. ISBN 978-0-345-53943-4.
[7] Morrison, David (January 2007). “Man for the Cosmos: Carl Sagan’s Life and Legacy as Scientist, Teacher, and Skeptic”. Skeptical Inquirer. Akses tanggal 11 Mei 2018.
[8] Sagan, Carl. 1994. “Pale Blue Dot”.
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.