Bagaimana perkembangan sains di masa lalu menjadi penting diketahui. Ini agar kita bisa memperoleh landasan filosofis dan inspirasi yang membantu kita mengembangkan sains di masa kini. Di antara sisi sejarah penting yang dibahas di artikel ini berkenaan dengan perkembangan astronomi peralihan antara sistem Geosentris (Ptolemy) kepada Heliosentris (Copernican); sebuah masa ketika revolusi saintifik besar-besaran terjadi di bidang astronomi.
Para ilmuwan abad pertengahan masih menggunakan sistem Ptolemy dalam mengamati benda-benda langit beserta pergerakannya. Ini didukung pula oleh Otoritas Gereja saat itu yang membenarkan bahwa pusat tata surya kita bukanlah matahari, melainkan Bumi. Namun, paradigma Geosentris pun sampai pada titik kritisnya.
Di Eropa, Tycho Brahe, seorang astronom asal Denmark, mengumpulkan data-data Astronomi selama sekitar 20 tahun menggunakan instrumen besar dan melibatkan banyak asisten. Data ini kemudian digunakan oleh Kepler untuk mengamati pergerakan benda langit, terutama mengenai keanehan yang terjadi pada lintasan orbit Mars karena tidak sesuai dengan perhitungan dalam kerangka sistem Ptolemy.
Kepler mencoba mencocokkan data empiris Tycho dengan kerangka sistem Ptolemy, tapi tidak menemukan kecocokkan. Begitu juga ketika menggunakan sistem Copernican. Akan tetapi, hasilnya tetap nihil. Hanya pada perhitungan kedelapan saja dari total sepuluh perhitungan yang berhasil Kepler selesaikan. Sampailah kemudian Kepler mencoba memodifikasi lintasan orbit planet Mars dari yang awalnya berbentuk lingkaran menjadi elips1.
Singkat cerita, dari data yang digunakan Kepler, akhirnya tercetuslah oleh apa yang kita kenal sebagai Hukum Kepler. Di antara hukum Kepler yang terkenal adalah planet mengitari matahari pada lintasan orbit yang berbentuk elips dengan matahari berada di salah satu pusatnya (Hukum Kepler I). Meskipun Tycho Brahe sendiri menolak sistem Copernican, tetapi data yang digunakan Kepler untuk perhitungannya merujuk pada sistem Copernican – dengan sedikit modifikasi, dan sampai pada titik di mana Kepler berhasil merevolusi astronomi1,2.
Astronomi Islam
Selain Kepler, upaya gebrakan di bidang astronomi juga dilakukan Copernicus. Di antaranya ialah mencoba memindahkan pusat tata surya yang awalnya Bumi bergeser ke matahari. Dari sini Copernicus melakukan matematisasi sistem heliosentris, meskipun ia masih bekerja pada sistem Ptolemy, seperti epicycles of deferents (benda langit yang mengorbit mengitari Bumi di dalam lingkaran besar) dan epicycles over epicycle (pergerakan dalam banyak lingkaran kecil) 2.
Di saat sedang menyelidiki astronomi Copernicus, Otto Neugebauer menemukan hal yang mengejutkan. Apa yang dimodelkan Copernicus (w. 1543) pada pergerakan bulan di dalam bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium ternyata hampir persis dengan model yang dirumuskan Ibn Syathir (w. 1375) dalam Niḥāyat al-Sūl fi taṣḥiḥ al-Uṣūl3.
Model tersebut merupakan penyempurnaan dari model yang dibuat oleh Naṣīruddīn al-Ṭūsī (w. 1274) meliputi diagram matematis berupa lingkaran kecil yang berada di dalam lingkaran besar. Besar jari-jari lingkaran besar ialah dua kali lingkaran kecil. Lingkaran kecil tersebut berputar di dalam lingkaran besar, sehingga menghasilkan titik lilitan di atas lingkaran kecil berayun dalam gerakan linear di sepanjang diameter lingkaran besar. Edward Kennedy, Guru Besar Matematika di dalam American University of Beirut, menyebut model tersebut sebagai The Tusi Couple3.
Dalam model tersebut, al-Ṭūsī membuktikan kegagalan sistem Ptolemy terkait garis lintang planet-planet dan menawarkan solusi bagaimana menghasilkan gerak lurus dari akumulasi sejumlah pergerakan melingkar. Apabila lingkaran besar mengalami perputaran dengan kecepatan tertentu, sedangkan lingkaran kecil di dalamnya juga mengalami perputaran sebesar dua kali lipat kecepatan lingkaran besar ke arah yang berlawanan, titik sentuh dua lingkaran tersebut akan berayun sepanjang diameter lingkaran besar. Hasilnya ialah terjadi gerak lurus yang diinginkan2.
Inti dari model yang dikembangkan baik oleh Copernicus maupun al-Ṭūsī adalah kemungkinan untuk menghasilkan gerak lurus dari akumulasi gerakan berputar sebuah lingkaran. Meskipun demikian, George Saliba menilai ada perbedaan dari kedua ilmuwan tersebut. Al-Ṭūsī memahami bahwa model yang dia kembangkan itu adalah model yang baru, sedangkan Copernicus merujuk pada apa yang pernah disinggung oleh Proclaus atas komentarnya bahwa gerak lurus mungkin terjadi jika ada akumulasi dari gerak-gerak putar3. Di sisi lain, al-Ṭūsī menggunakan model tersebut untuk teori mengenai pergerakan bulan (lunar theory)4.
Di sinilah Saliba memberikan argumentasi bahwa apa yang disinggung Proclaus bukanlah soal gerak lurus dari akumulasi gerakan berputar, tetapi gerak-gerak lengkung dan lurus yang dihasilkan satu sama lain. Dari sini Saliba berkesimpulan bahwa Copernicus bisa saja diam-diam menggunakan teorema yang dikembangkan oleh Al-Ṭūsī tanpa menyebutkan referensinya 3.
Mungkin argumentasi Saliba, juga sejarawan sains lain, terkesan cocoklogi. Namun, di sini Saliba membela bahwa berdasarkan penelitian sejumlah manuskrip, astronom muslim telah melahirkan teori-teori astronomi tingkat tinggi. Teori-teori tersebut juga masuk ke Eropa zaman Renaisans melalui orang-orang seperti Guillaume Postel (1510-1581), diplomat asal Prancis yang bisa berbahasa Arab dan mengembara untuk mengumpulkan manusktrip-manuskrip yang dikarang ilmuwan muslim 3.
Penutup
Jika kita telisik lagi, memang astronomi di peradaban Islam masih merujuk pada sistem Ptolemy. Tetapi, apa yang dilakukan oleh ilmuwan muslim bukan tanpa modifikasi atau koreksi. Di antara contoh yang bisa disadurkan adalah al-Battani (w. 929) dan Ibn Rusyd (w. 1198)5. Jika kita amati upaya-upaya yang dilakukan ilmuwan di atas, kita akan melihat sebetulnya kritik kepada sistem Ptolemy sudah muncul secara gradual dan evolutif, tidak hanya di dunia Eropa tetapi juga di peradaban Islam. Namun, revolusi sains di bidang Astronomi membuahkan hasil di dunia Eropa. Perkembangan sains secara revolusioner diistilahkan oleh Thomas Kuhn sebagai paradigm-shift (pergeseran paradigma).
Revolusi sains, menurut Thomas Kuhn, terjadi bukan karena akumulasi dari pengetahuan-pengetahuan saintifik lewat penelitian yang telah berlangsung. Lebih dari itu, revolusi terjadi ketika para ilmuwan menemukan titik kritis ketidakakuratan antara data empiris yang diperoleh dengan konsep-konsep atau teori sains yang sudah mapan6. Revolusi sains menjadi sebuah keniscayaan manakala sistem atau teori-teori yang lama tidak mampu menjawab atau menjelaskan kejadian suatu fenomena melalui data-data empiris yang diperoleh.
Referensi
1Sagan, Carl Edward. Kosmos (terjemahan). Jakarta: Kepustakaan Penerbit Gramedia. 2016.
2Akdogan, Cemil. “Sains Modern: Asal-usul, Revolusi, dan Profesionalisasi”. In Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Jakarta: INSISTS. 2016.
3Saliba, George. “Sains Islam dan Revolusi Copernicus”. In Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Jakarta: INSISTS. 2016.
4Nosonovsky, Michael. “Abner of Burgos: The Missing Link between Nasir al-Din al-Tusi and Nicolas Copernicus.” Zutot 15, Vol 1. pp25-30. 2018.
5Arif, Syamsuddin. “Sains di Dunia Islam: Fakta Historis-Sosiologis.” in Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Jakarta: INSISTS. 2016.
6Muslih, M. “Filsafat ilmu Imre Lakatos dan metodologi pengembangan sains Islam.” TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam, 4(1), 47-90.
Lulusan S1 Teknik Fisika ITS. Mencintai aktivitas budaya ilmu. Memiliki minat pada integrasi keilmuan, ketertarikan pada engineering mathematics, physics, material science, optimization, control system, history, dan philosophy of science.