Warga Indonesia dinilai mudah terpapar hoaks dan rentan menjadi target penipuan di jagat maya. Apa sebabnya? Yuk mari kita simak pembahasannya.
Kata Ahli Mengenai Permasalahan Ini
Foto Ilustrasi: Para Ahli
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza mengungkapkan hal itu terkait tingginya pengguna internet di Indonesia yang tidak diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang mumpuni. “Faktanya, masyarakat Indonesia cukup rawan terpapar hoaks dan misinformasi, terlibat dalam perundungan siber, serta menjadi target penipuan di dunia maya,” ujar Nadia Fairuza
Contohnya dalam konteks pandemi Covid-19, keberadaan informasi yang salah atau hoaks yang marak menunjukkan bahwa kurangnya literasi digital dapat mempengaruhi upaya pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi pandemi.
Ia menjelaskan kemampuan literasi digital sangat dipengaruhi dengan kemampuan literasi yakni kemampuan membaca, menulis, mencari, menganalisis, mengolah dan membagikan teks tertulis. “Sayangnya, performa Indonesia di bidang literasi baca tulis termasuk rendah,” ujar dia.
Hal itu tercermin dari survei tiga tahunan dari Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2018. Survei ini dilakukan terhadap siswa berusia 15 tahun yang menilai sejauh mana pengetahuan dan keterampilan kunci yang penting untuk partisipasi penuh dalam masyarakat.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Penilaian ini berfokus pada kemampuan membaca, matematika, sains, dan kompetensi global (pada tahun 2018, kompetensi global adalah bidang inovatif), serta kesejahteraan siswa. Hasilnya, Indonesia berada pada peringkat ke-71 dari 79 negara. Menurut Nadia, salah satu faktor yang memicu fenomena ini adalah kurangnya pembentukan kemampuan berpikir kritis sejak usia dini. “Satu penyebab rendahnya literasi masyarakat Indonesia adalah kurangnya perhatian pada pembentukan kemampuan berpikir kritis sejak dini. Padahal, literasi digital harus mulai dikembangkan sejak pendidikan dasar,” katanya.
Selain itu tantangan struktural, yaitu ketimpangan akses internet antar daerah juga mempersulit adopsi literasi digital.
“Materi literasi digital juga harus disertakan dalam pelatihan guru. Tanpa meningkatkan kompetensi TIK (teknologi informasi dan komunikasi) yang rendah dan pedagogi berpikir kritis di antara para guru, mereka tidak akan dapat berperan dalam meningkatkan literasi digital siswa,” ujar Nadia.
Golongan usia mana yang paling terdampak?
Dikutip dari The Verge, survei Universitas New York dan Princeton mengungkap golongan tua lebih mungkin untuk berbagi berita palsu di jagat maya terutama di Facebook.
Penelitian menemukan bahwa orang yang lebih tua lebih mungkin untuk membagikan berita palsu dibandingkan dengan orang yang lebih muda, tanpa memperhatikan faktor pendidikan, jenis kelamin, ras, pendapatan, atau jumlah tautan yang mereka bagikan. Temuan ini bisa membantu pengguna dan platform media sosial untuk membuat intervensi yang lebih efektif dalam mencegah berita palsu tersebar.
Efek berita palsu dalam mempengaruhi perilaku pemilih sejak kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton pada 2016 telah menjadi bahan perdebatan yang terus berlanjut. Studi juga menemukan bahwa berita palsu yang pro-Trump membantu mempengaruhi beberapa orang untuk memilih Trump saat memilih antara dia dan Clinton.
Kesimpulan
Pelajaran yang bisa kita ambil dari artikel kali ini ialah bahwa kita sebagai generasi muda yang lebih paham dan lebih mudah untuk mengecek informasi dengan memastikan informasi yang didapat tersebut ialah informasi yang benar, harus lebih giat untuk melakukan sosialiasi ke teman atau kerabat terdekat yang memungkinkan terpapad informasi hoax dan sering menyebarkannya. Agar di kemudian hari tidak timbul masalah karena informasi hoax yang ditelan mentah-mentah tersebut.
Referensi
CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20221004150217-197-856229/kenapa-warga-62-gampang-kena-tipu-dan-hoaks
IDN Times: https://www.idntimes.com/science/experiment/bayu/ini-8-alasan-kenapa-banyak-orang-indonesia-mudah-percaya-hoax-atau-kabar-bohong