Oleh: Fitri Patriani
Tahukah kamu? Tidak semua makanan baik untuk dikonsumsi, kemajuan bidang pangan mendukung bervariasinya makanan jajanan yang beredar disekeliling kita. Saat ini telah banyak ditemui aneka makanan jajanan yang menggunakan bahan tambahan makanan berbahaya seperti pengawet, formalin dan boraks. Jajanan di definisikan sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan dan persiapan lebih lanjut.
Salah satu jajanan yang digemari masyarakat yaitu bakso, bakso merupakan produk olahan daging sapi yang kaya protein hewani dan sangat populer di indonesia. Selain karena memiliki citarasa yang lezat bakso juga merupakan jajanan yang merakyat dan mudah ditemui. Eits tapi jangan seneng dulu, ternyata kandungan protein yang tinggi pada bakso dapat berbahaya bagi tubuh kita. Kok bisa?? meskipun bakso telah mengalami proses pengolahan, bakso belum sepenuhnya aman dari cemaran mikroba. Kandungan protein yang tinggi dalam bakso dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit, selain itu tingginya kadar air dalam bakso akibat proses pengolahan juga dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba menjadi lebih cepat[4]. Penanganan produk olahan pangan yang buruk dan kontaminasi dapat mengakibat beberapa penyakit berbahaya bahkan keracunan.
Berdasarkan SNI No.7388:2009 Batas Cemaran Mikroba Dalam Pangan yaitu E.Coli sebesar 1 x 10^5 dan Salmonella sp harus negatif. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), tahun 2016 telah melakukan pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) terhadap 4 sampel jenis pangan paling bermasalah yaitu es, minuman beraroma dan sirup, jeli/ agar dan bakso. Hasil pengujian menunjukkan dari sebanyak 627 sampel yang diuji, 245 (39,07%) sampel Tidak Memenuhi Syarat (TMS)[2]. Dari data uji BPOM, diketahui bahwa dari 4 sampel jenis pangan paling bermasalah salah satunya bakso[3]. Tapi bukan berarti semua bakso tidak layak dikonsumsi dan berbahaya bagi tubuh. Lalu bakso yang bagaimana dan seperti apa? Penasaran kan? Yuk kita simak penjelasan terkait protein tinggi penyebab penyakit dan substarat pertumbuhan bakteri salmonella sp dan E.coli.
Bakso adalah hasil olahan daging sapi yang kaya akan protein. Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh. Fungsi lain dari protein adalah untuk mengatur keseimbangan air, pembentukan ikatan-ikatan essensial tubuh, memelihara netralitas tubuh, sebagai pembentuk antibodi, mengatur zat gizi dan sebagai sumber energi[1]. Meskipun memiliki manfaat yang sangat banyak bagi tubuh namun daging merupakan produk peternakan yang sangat rentan terhadap kontaminasi mikroba karena daging mempunyai pH dan kelembaban yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba. Nilai pH daging sapi normal berkisar antara 5,46 – 6,29. Nilai pH daging sapi relatif rendah (asam), disebabkan oleh akibat peruraian glikogen otot oleh enzim-enzim glikolisis secara anaerob menjadi asam laktat dengan kadar air rata-rata berkisar antara 65% – 80% [7].
Popularitas bakso, bahasa kerennya meet ball, memang sulit ditandingi oleh makanan lain. Pedagang bakso alangkah baiknya memahami dokumen pendukung seperti Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). Urgensi PIRT adalah untuk menjamin bahwa makanan dan minuman rumahan yang dijual memenuhi standar keamanan makanan. PIRT adalah ijin edar produk pangan olahan yang diproduksi oleh UKM untuk dipasarkan secara lokal. Ijin PIRT hanya untuk produk pangan olahan dengan tingkat resiko rendah.
Berdasarkan penelitian Tuti & Ifsan (2018), dengan tujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi cemaran Escherichia coli, Salmonella sp dan total mikroba pada bakso di kota Padang. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai pH, kadar air, dan mutu mikrobiologi, dengan sampel uji membandingkan bakso pedagang PIRT dan Non PIRT. Rataan hasil analisis kadar air bakso dari pedagang PIRT adalah 66.24% dan Non PIRT adalah 67.57%. Hal ini membuktikan bahwa bakso yang terdapat di Kota Padang sudah memenuhi standar dari badan standarisasi nasional yaitu kadar air bakso kurang dari 70%. Kadar air daging sapi adalah 68%[5]. Dari uji pH diperoleh bahwa bakso pedagang PIRT memiliki rataan pH 6.15, sedangkan pH bakso pada pedagang Non PIRT memiliki rataan 6.22. diketahui bahwa rataan kadar air dan pH bakso pada pedagang Non PIRT lebih tinggi dibandingkan dengan rataan bakso pada pedagang PIRT, akan tetapi, uji statistik (uji t) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah yang nyata (P value = 0.05) antara kedua jenis pedagang[8]. Kadar air suatu bahan berbanding lurus dengan pH, dimana semakin menurun kadar air maka pH pun akan semakin rendah. Namun pH dengan Hal semacam ini harus mendapatkan perlakuan dan pengawetan secara hati-hati karena mudah mengalami kerusakan oleh bakteri, termasuk bakteri patogen yang berbahaya[6].
Tabel 1.Rataan Escherichia coli (x 101 CFU/g) Bakso pada Pedagang Bakso PIRT dan Non PIRT di Kota Padang
Tabel 2. Rataan Salmonella Bakso pada Pedagang Bakso PIRT dan Non PIRT di Kota Padang
Hasil perhitungan Escherichia coli bakso yang dijual menunjukkan bahwa jumlah Escherchia coli bakso pada pedagang PIRT rataan 17.08 x 10^1 CFU/g, sedangkan jumlah Escherichia coli pada pedagang Non PIRT rataan 28.24 x 10^1 CFU/g, dan hasil uji statistik uji t ternyata terdapat perbedaan yang sangat nyata (P value =0.01) antara kedua pedagang bakso tersebut[8]. Menurut Badan SNI, jumlah bakteri E. Coli pada bakso adalah kurang dari 1 x 10^3 CFU/g [2]. Ini menunjukan bahwa bakso kedua pedagang aman untuk dikonsumsi. Didukung dengan tidak diketemukanya bakteri Salmonella pada bakso menunjukkan bahwa bakso yang terdapat di Kota Padang tidak mengandung bakteri yang dapat menggangu. Tidak adanya Salmonella dalam bakso menunjukan bahwa perebusan memberi pengaruh terhadap adanya bakteri Salmonella dalam makanan, karena diketahui bahwa bakso mengalami proses pemanasan selama penanganannya, untuk membunuh Salmonella di dalam makanan umumya adalah selama minimal 12 menit pada suhu 600C. Oleh sebab itu semakin lama bakso direbus atau dipanaskan, maka jumlah bakteri Salmonella semakin sedikit bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini dapat terjadi karena pada proses pembuatan bakso, melalui proses perebusan dengan air mendidih (pemanasan pada suhu 100 oC)[8].
Dari data diatas disimpulkan bahwa pada pedagang bakso Non PIRT, lebih rentan mengandung bakteri patogen (E. Coli dan Salmonella sp) serta kurang aman dikonsumsi. Hal ini berasal dari aspek sikap dan tindakan karyawan banyak diantara pedagang bakso Non PIRT ini melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan terkontaminasinya bakso, diantaranya karyawan sering berbicara, menggaruk-garuk, makan dan minum selama proses pengolahan pangan berlangsung, dan karyawan juga sering meludah disembarang tempat, dan juga berasal dari sampah seperti sisa bakso yang lokasinya berdekatan dengan bahan pangan karena terbawa oleh udara/angin serta binatang seperti lalat yang hinggap pada bakso tersebut. Kondisi ini dapat memicu dan memacu pencemaran sehingga menjadi tidak sehat dan berbahaya untuk dikonsumsi. Hal ini diperkuat oleh Widodo (2008), bahwa makanan yang dijual oleh pedagang yang berjualan ditepi jalan umumnya tidak dipersiapkan dengan secara baik dan bersih, karena selain masalah lokasi mereka kurang mempunyai akses terhadap air bersih serta fasilitas cuci dan buang sampah[9].
Dimanapun dan kapanpun tidak dapat dipungkiri bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia mahluk sosial saling membutuhkan dan saling berinteraksi maka alangkah indahnya jika antara pedagang dan pembeli senantiasa menjaga dan memikirkan kesehatan satu sama lain. Oleh karena itu baik pedagang maupun pembeli harus memperhatikan aspek kebersihan dan sikap dalam pengolahan serta pemilihan makanan. Karena Pangan adalah kebutuhan yang urgent bagi kehidupan sebagai asupan nutrisi yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan tubuh.
REFERENSI
[1] Almatsier, Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka BPOM. Laporan Tahunan 2016. Jakarta. http://www.pom.go.id/new/admin/dat/20171127/laptah2016.pdf (diakses pada 19/05/2018).
[2] BSNI. 2009. Standar Nasional Indonesia (SNI) 7388:2009 Tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan. Jakarta. http://blog.ub.ac.id/cdrhprimasanti90/files/2012/05/batas_maksimum_cemaran_mikrob
a_dalam_pangan_sni_7388-2009_-1.pdf (diakses pada 19/05/2018).
[3] BPOM RI. 2009. Peraturan Kepala BPOM, tentang Kriteria Mikrobiologi dalam Pangan Olahan. Jakarta. http://standarpangan.pom.go.id/dokumen/peraturan/2016/PerKa_BPOM_No_16_Tahun_20 6_tentang_Kriteria_Mikrobiologi_dalam_Pangan_Olahan.pdf.(diakses pada19/05/2018).
[4] Cahyadi, W.2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara. Hal 227-230. Jakarta
[5] Desrosier, N.W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan, Cetakan I, U.I. Press, Jakarta
[6] Nurwantoro, V. P. 1997. Nilai ph, Kadar Air, dan Total Escherichia coli Daging Sapi
yang dimarinasi dalam jus Bawang Putih. Research Article. Jurnal Aplikasi Teknologi
Pangan. 1 (2)
[7] Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University. Press.Yogyakarta.
[8] Tuti, H dan Ifsan, W. 2018. Uji Ph, Kadar Air Dan Mutu Mikrobiologi Pada Bakso Di Kota Padang. Jurnal Katalisator. 3(1) : 61-70.
[9]Widodo, J. 2008. Perilaku Makan. Anak Sekolah. http://gizi.depkes.go.id/wp content/uploads/2012/05/perilaku-makan-anak- (diakses pada 19/05/2018).