Dalam peralihan ke sumber energi yang lebih “ramah lingkungan”, permintaan untuk baterai lithium-ion yang dapat diisi ulang meningkat pesat. Namun, katoda baterai ini biasanya mengandung kobalt, logam yang penambangannya memiliki dampak lingkungan dan dampak sosial yang negatif. Tim peneliti dari Amerika Serikat dan Italia melaporkan penelitian terhadap bahan katoda berbasis karbon yang melimpah di bumi, berpotensi dapat menggantikan kobalt dan logam langka serta beracun lainnya tanpa mengorbankan kinerja baterai lithium-ion. Hasil penelitiannya diterbitkan pada jurnal ACS Central Science.
Mengganti kobalt dengan senyawa organik dalam katoda baterai lithium-ion dapat membantu mempercepat konversi kendaraan konvensional (BBM) ke kendaraan listrik secara global.
Saat ini, baterai lithium-ion menjadi sumber daya listrik hampir untuk segalanya, mulai dari ponsel, laptop hingga kendaraan listrik. Salah satu kendala utama untuk mewujudkan peraliha ke energi terbarukan—terutama dari mobil bertenaga bahan bakar minyak ke kendaraan listrik—secara global adalah kelangkaan dan kesulitan penambangan logam seperti kobalt, nikel, dan magnesium. Padahal logam-logam tersebut digunakan dalam pembuatan katoda baterai isi ulang. Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti telah mengembangkan katoda dari bahan berbasis karbon yang lebih melimpah dan lebih terjangkau, termasuk senyawa organosulfur dan karbonil. Namun prototipe katoda berbasis karbon belum mampu menyamai daya keluaran energi dan stabilitas baterai lithium-ion tradisional.
Hal ini membuat Mircea Dincă dan rekan penelitinya yang terdiri dari negara Amerika Serikat dan Italia mulai meneliti apakah bahan katoda berbasis karbon lainnya bisa lebih berhasil. Mereka telah menemukan kandidat yang layak dalam bis-tetraaminobenzoquinone (TAQ). Molekul TAQ membentuk struktur padat berlapis yang berpotensi bersaing dengan kinerja katoda berbasis kobalt tradisional.
Mengembangkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan keefektifan TAQ sebagai bahan superkapasitor, tim Dincă menguji senyawa tersebut dalam katoda untuk baterai lithium-ion. Untuk meningkatkan stabilitas siklus dan meningkatkan kelekatan TAQ pada pengumpul arus stainless steel katoda, tim peneliti menambahkan bahan yang mengandung selulosa dan karet ke katoda TAQ. Dalam proses pengujian baterai, katoda komposit baru tersebut dapat beroperasi secara aman lebih dari 2.000 kali, memberikan densitas energi yang lebih tinggi dibandingkan kebanyakan katoda berbasis kobalt, dan dapat diisi-ulang dalam waktu hanya enam menit.
Meskipun katoda berbasis TAQ memerlukan pengujian tambahan sebelum dapat dijual secara komersial, para peneliti optimis bahwa inovasi ini dapat memungkinkan pengembangan baterai berbasis bahan organik dengan energi tinggi, daya tahan yang baik, dan pengisian cepat. Ketiga hal tersebut diperlukan untuk mendukung percepatan transisi global menuju masa depan energi terbarukan yang bebas kobalt dan nikel.
Referensi :
[1] https://www.acs.org/pressroom/presspacs/2024/january/next-generation-batteries-could-go-organic-cobalt-free-for-long-lasting-power.html diakses pada 31 Januari 2024
[2] Tianyang Chen, Harish Banda, Jiande Wang, Julius J. Oppenheim, Alessandro Franceschi, Mircea Dincǎ. A Layered Organic Cathode for High-Energy, Fast-Charging, and Long-Lasting Li-Ion Batteries. ACS Central Science, 2024; DOI: 10.1021/acscentsci.3c01478