CO2 umumnya dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil baik di pembangkit listrik untuk kebutuhan masyarakat maupun industri maupun pada kendaraan. Salah satu pemanfaatan CO2adalah sebagai “gas pembantu” pada baterai litium-udara. Seiring berjalannya waktu, CO2 tidak lagi berperan sebagai gas pembantu melainkan sebagai oxidant yang tereduksi di katoda. Nilai densitas energi teoritis baterai Li-CO2 sebesar 1.879 Wh/kg lebih besar dibandingkan dengan baterai litium ion yakni sebesar 500 Wh/kg[1]. Baterai Li-CO2 pertama kali dibuat oleh Archer dkk pada tahun 2013 sebagai baterai primer. Baterai tersebut beroperasi pada temperatur 60 – 100oC dan menghasilkan kapasitas 2.000 – 4.000 mAh/gram[2].
Pada bulan September 2018, para peneliti dari MIT memanfaatkan CO2 sebagai spesi aktif pada elektrolit baterai litium. Anoda yang digunakan adalah litium foil dan katoda yang digunakan adalah karbon berpori. Elektrolit yang digunakan adalah 100 mM EEA (2-ethoxyethylamine)/0,3 M LiClO4 dalam DMSO[3]. CO2 diinjeksi kan ke dalam elektrolit sebelum sel baterai digunakan. Penambahan EEA pada elektrolit sebagai bagian dari proses pre-aktivasi CO2 untuk reaksi reduksi di katoda saat proses discharge.
Ada beberapa pertimbangan dalam pemilihan EEA sebagai bahan kimia untuk menangkap CO2, diantaranya (1) solubilitas yang tinggi dalam pelarut organir polar (2) stabil secara kimia dengan logam litium dan yang terakhir adalah tidak terjadi reaksi evolusi hidrogen dari gugus -OH selama proses berlangsung[3]. Pada saat proses discharge, CO2 akan bereaksi dengan Li menjadi litium karbonat (Li2CO3) dan EEA dapat diregenerasi sehingga baterai Li-CO2 dapat berperan sebagai CO2 carbon capture yang dapat menyimpan dan menghasilkan energi. Skema sel dan reaksi baterai Li-CO2 serta skema reaksi reduksi yang terjadi di elektroda karbon ditunjukkan oleh Gambar 1.
Sebelum diuji, sel baterai didiamkan selama 20 jam. Open Circuit Voltage (OCV) yang dihasilkan sebesar 2,9 – 3,2 V vs Li/Li+. Untuk menguji kapasitas discharge baterai Li-CO2, konsentrasi EEA divariasikan pada arus tetap sebesar 30 mA/gc. Hasil yang diperoleh adalah semakin tinggi konsentrasi EEA maka semakin tinggi juga kapasitas discharge yang dihasilkan. Namun, konsentrasi optimum EEA yang didapat sebesar 115 mM. Kapasitas discharge yang diperoleh pada konsentrasi EEA 115 mM sebesar 2000 mAh/gc[3]. Namun, ketika konsentrasi EEA ditingkatkan, kapasitas discharge baterai Li-CO2 malah mengalami penurunan. Uji kapasitas discharge baterai Li-CO2 dengan variasi konsentrasi EEA ditunjukkan oleh Gambar 2.
Selain itu, kemungkinan produk samping dari proses discharge dapat berupa karbon deposit atau gas CO. Namun, setelah diuji menggunakan gas kromatografi, gas CO tidak terdeteksi dalam produk baterai. Maka, para peneliti menyimpulkan bahwa produk samping dari proses discharge baterai Li-CO2 adalah karbon. Karbon yang terbentuk perlu dipelajari lebih lanjut sebagai variable yang mungkin mempengaruhi kinerja baterai Li-CO2. Para peneliti berharap teknologi dapat menjadi sistem yang terintegrasi dimana CO2 yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil dimanfaatkan menjadi material yang digunakan pada baterai[4].
Referensi
[1] Lu, Y.-C., Gallant, B.M., Kwabi, D.G., Harding, J.R., Mitchell, R.R., Whittingham, M.S., and Shao-Horn, Y. 2013. Lithium–oxygen batteries: bridging mechanistic understanding and battery performance. Energy & Environmental Science, 6, 750–768
[2] Xu, S.M., Das, S.K., and Archer, L.A. 2013. The Li-CO2 battery: a novel method for CO2 capture and utilization. RSC Advances, 3, 6656–6660
[3] Khurram, A., He, M., Gallant, B.M. 2018. Tailoring the discharge reaction in Li-CO2 batteries through incorporation of CO2 capture chemistry. Joule, 2, 1-18
[4] MIT. 2018. New battery gobbles up carbon dioxide. DIakses dari : https://www.sciencedaily.com/releases/2018/09/180921140146.htm pada 11 Desember 2018
Mahasiswa S2 Teknik Kimia ITB