Indonesia akan memasuki era baru keantariksaan, ditandai dengan dimulainya pembangunan observatorium astronomi modern di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dari informasi di laman milik LAPAN, peletakan batu pertama pembangunan kawasan observatorium tersebut telah dilakukan oleh Deputi Sains Antariksa dan Atmosfer LAPAN, Afif Budiyono pada 29 November 2018. Fasilitas tersebut digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Detail pembangunan fasilitas astronomi masa depan di Indonesia tersebut dilaporkan dalam publikasi di Nature Astronomy pada 3 Desember 2018 yang ditulis oleh peneliti dari Pusat Saint Antariksa (Pussainsa) LAPAN dan Departemen Astronomy, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung (FMIPA ITB), Bandung Indonesia.
Dalam publikasi dengan Emanuel Sungging Mumpuni dari Pussainsa LAPAN sebagai penulis utama itu dijelaskan bahwa pembangunan obvservatorium modern tersebut bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan astronomi mendasar dan untuk memperkuat bangsa melalui pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Astronomi telah menjadi bagian dari budaya dan sejarah Indonesia sejak jaman dahulu. Di masa lalu, astronomi telah digunakan untuk navigasi, untuk menentukan siklus budidaya padi, seperti menentukan musim kemarau dan musim hujan. Kemudian juga untuk mengarahkan pembangunan kuil kuno.
Namun, astrofisika, cabang ilmu astronomi tentang fisika bintang baru muncul di Indonesia pada tahun 1920 dengan berdirinya observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, Indonesia dengan sebagian didukung oleh sumbangan UNESCO, badan khusus PBB untuk pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan. Observatorium Bosscha telah memberikan banyak kontribusi penting bagi perkembangan astronomi dan astrofisika, serta pengembangan komunitas astronomi Indonesia.
Saat ini komunitas astronomi di Indonesia sedang tumbuh. Di samping Observatorium Bosscha yang merupakan bagian dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam di Institut Teknologi Bandung (ITB), ada juga LAPAN dan Departemen Ilmu Atmosfer dan Planet di Institut Teknologi Sumatera (ITERA). Sayangnya, fasilitas astronomi modern masih kurang. Situasi itu diperparah oleh fakta bahwa Observatorium Bosscha -satu-satunya observatorium astronomi profesional yang beroperasi di Indonesia- dipengaruhi oleh polusi cahaya dari kota Bandung.
Mengingat pesatnya kemajuan sains dan teknologi, penting untuk menjaga modernisasi fasilitas astronomi yang ada dan mengembangkan fasilitas yang baru. Berkat upaya dari komunitas astronomi lokal yang dikombinasikan dengan keputusan politik, Indonesia kini berkomitmen untuk memajukan astronomi dan ilmu ruang angkasa. Pengembangan kunci menuju tujuan ini adalah disahkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2013 tentang Kegiatan Luar Angkasa, diikuti oleh Keputusan Presiden untuk Program Luar Angkasa Nasional, yang menyebutkan bahwa Indonesia harus memiliki observatorium nasional. Untuk itu, dimulailah pembangunan observatorium masa depan di Pulau Timor tersebut.
Wilayah Indonesia timur dianggap yang paling menguntungkan sebagai lokasi pembangunan observatorium astronomi baru. Terlepas dari tantangan cakupan awan di Indonesia yang rata-rata cukup tinggi, penelitian meteorologi menemukan bahwa kawasan terbaik mungkin terdapat di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pengukuran menunjukan kawasan untuk pembangunan ada di Gunung Timau yang memiliki ketinggian sekitar 1.300 meter di atas permukaan laut dengan tingkat kecerahan langit malam di wilayah tersebut mencapai 70 persen yang merupakan aspek penting untuk melakukan pengamatan dan riset astronomi.
Observatorium itu adalah milik LAPAN, namun proyek tersebut merupakan kolaborasi antara LAPAN, ITB, UNDANA, Pemerintah NTT dan Kabupaten Kupang. Diharapkan observatorium itu telah dapat beroperasi pada tahun 2021 dan akan terbuka untuk kolaborasi nasional dan internasional.
Selain kawasan di Gunung Timau, juga akan dibangun kantor pusat dan pusat sains di Tilong, dekat Kota Kupang, NTT. Pusat sains akan memberikan manfaat langsung dan menjangkau masyarakat setempat serta memberikan edukasi.
Teleskop utama yang diusulkan akan dipasang di Timau National Observatory di Indonesia adalah teleskop optik 3,8 meter yang merupakan saudara kembar dari Teleskop Seimei di Observatorium Okayama, Universitas Kyoto, Jepang. Teleskop itu dapat mencakup 95% dari langit. kawasan itu juga akan memiliki teleskop 1,2 meter, dua teleskop pengamatan kembar 50 cm dan teleskop 30 cm untuk pengamatan matahari. Beberapa teleskop direncanakan memungkinkan dioperasikan dengan menggunakan kontrol jarak jauh untuk menghindari permasalahan akses yang sulit ke kawasan tersebut. Tidak hanya itu, observatorium masa depan itu juga akan dilengkapi dengan teleskop radio -masih dalam pembahasan- yang dapat menyediakan data multi panjang gelombang dan resolusi tinggi.
Teleskop 3,8 m akan dilengkapi dengan camera ccd ultra-sensitive dan spektograf resolusi menengah yang akan cocok untuk penelitian masa depan yang mengarah ke penelitian tentang pembentukan dan evolusi gugus bintang dari dinamika dan perspektif kimia dan hubungan antara fisika bintang dan medium antar bintang. Teleskop ini juga dapat digunakan untuk bidang ilmu astrofisika lainnya, seperti karakterasi eksoplanet, bintang-bintang seperti matahari dan sifat dinamis dan kimia dari galaksi terdekat.
Kemudian, selain teleskop 3,8 m, teleskop yang lebih kecil dapat digunakan untuk pengamatan benda-benda langit terdekat dan pengamatan matahari yang akan memperkuat studi cuaca antariksa di Indonesia. Pertimbangan lain pemilihan instrumen tersebut adalah dapat memberikan hasil yang signifikan untuk output ilmiah, perawatan yang dibutuhkan minimum, kesesuaian untuk melatih astronom baru dan memberikan kesempatan pendidikan umum.
Kolaborasi nasional dan internasional akan menjadi komponen kunci ntuk keberhasilan observatorium masa depan dan untuk keberlanjutan program sainsnya.
Dengan tersedianya fasilitas tersebut, dinilai akan sangat menguntungkan karena observasi asteroid masing kurang di kawasan Asia Tenggara. Kolaborasi penelitian dengan lembaga lain juga telah dibuat, seperti misalnya rencana pengembangan instrumentasi berkelanjutan dengan Universitas Kyoto dan juga ada rencana pengembangan robotic telescope yang bekerja bekerja sama dengan Astrophysics Research Institute di Liverpool John Moores University.
Beberapa kegiatan tambahan juga dipertimbangkan di masa akan datang untuk masyarakat setempat dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Salah satunya adalah membangun astro-tourism dengan menciptakan dark-sky park di sekitar lokasi. Rencana itu menjadi solusi yang saling menguntungkan untuk menjaga kualitas langit dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat. Keberlanjutan jangka panjang dari kawasan teleskop itu penting untuk tetap membangun kesadaran pentingnya langit malam yang gelap, nilai-nilai warisan ilmiahnya dan pentingnya bagi kehidupan manusia hingga perencanaan lingkungan dan ekologi.
Referensi
[1] Mumpuni, E.S. Puspitarini, Lucky. Priyatikanto, Rhorom. Clara, Y.Y. Putra, Mahasena. 2018. Future astronomy facilities in Indonesia. Nature Astronomy. DOI: doi.org/10.1038/s41550-018-0642-6
[2] Tim Diseminasi Pussainsa. 2018. Pembangunan Observatorium Nasional Timau Resmi Dimulai. Diakses dari : https://www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2018/5347/Pembangunan-Observatorium-Nasional-Timau-Resmi-Dimulai pada tanggal 5 Desember 2018