Sampah merupakan masalah global yang menjadi perhatian semua pihak. Di Indonesia, berbagai metode penanganan sampah sudah banyak dilakukan tetapi masih besarnya volume sampah yang masuk ke Tempat pemrosesan akhir (TPA) menunjukkan bahwa proses reduksi sampah belum efektif. Sampah pun dapat overload dalam waktu yang lebih singkat dari yang diperkirakan. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka perlu dipertimbangkan teknologi yang murah dan tepat guna. Karakteristik sampah di Indonesia yang cenderung tercampur (mixed waste), basah dan didominasi organik menjadi tantangan tersendiri bagi pengolahan sampah di TPA (Damanhuri, 2008).
Komposting merupakan salah satu teknologi pengolahan sampah yang murah dan umum. Teknologi ini memiliki banyak kekurangan karena hasil kompos memiliki kualitas yang rendah karena tercampur dengan bahan-bahan less biodegradable dan beracun seperti plastik, karet, B3, dan kulit (Permen PU No 3 Tahun 2013). Akibatnya, nilai jual kompos menjadi sangat rendah yang berimbas pada tidak diminatinya produk kompos dari TPA. Pengolahan menggunakan panas seperti pirolisis, gasifikasi, dan insinerasi membutuhkan dana investasi dan operasi yang sangat besar karena adanya isu pencemaran udara dari emisi gas buang dan perlunya pre-treatment pada material yang akan dibakar agar proses pembakaran berlangsung efektif dan efisien. Peneliti kemudian mengembangkan teknologi biodrying yang dapat mengatasi masalah dengan karakteristik sampah tercampur seperti di Indonesia (Darmasetiawan, 2004).
Biodrying merupakan teknologi yang digunakan untuk menurunkan kadar air pada material organik menggunakan bantuan mikroorganisme yang secara alami meningkatkan suhu pada proses penguraian. Dengan adanya proses ini, kadar air dapat turun dari 60% hingga kurang dari 20% dalam kurung waktu kurang dari sebulan.
Perbedaannya dengan komposting konvensional adalah pada waktu tinggal dimana komposting membutuhkan waktu yang jauh lebih panjang yaitu 2-3 bulan. Sampah yang tercampur terlebih dahulu dipisahkan dari material inert seperti plastik, kaca, kayu, B3 dan karet. Kemudian, sampah dialirkan ke ruang pencacahan dan diperangkap dalam ruang tertutup dan udara/oksigen (O2) ditiupkan secara terus menerus dengan debit tertentu untuk mendukung proses aerobik selama 14 – 21 hari. Suhu dalam ruangan biodrying dapat mencapai 70 C yang merupakan efek eksotermal dari proses pengolahan sampah secara aerobik (Velis dkk., 2009).
Keluaran dari proses ini adalah bahan bakar yang sering disebut refuse derived fuel (RDF). Istilah lain dari RDF adalah solid recovered fuel, briket atau pelet (RDF yang dipadatkan). RDF merupakan material yang sering digunakan sebagai bahan bakar boiler di industri. Potensi energi dari RDF dengan bahan baku sampah kota adalah 15 MJ/kg atau hampir setara dengan batu bara yaitu sebesar 26,47 MJ/kg. Di Indonesia, teknologi ini telah diujicobakan oleh produsen semen Tiga Roda, PT Indocement Tunggal Prakasa (ITP) Tbk, Citeureup, Kabupaten Bogor, di TPST Nambo dan sangat memungkinkan untuk diterapkan di berbagai TPA di Indonesia (Faizal, 2016). Penelitian mengenai biodrying di Indonesia juga masih sangat terbatas, sehingga potensi pengembangannya masih sangat terbuka lebar.
Referensi:
- Damanhuri, Enri. 2008. Diktat Landfilling. Bandung : ITB.
- Darmasetiawan, Ir Martin. 2004. Perencanaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Jakarta : Ekamitra Engineering
- Faizal Achmad. 2016. Produsen Sampah di Bogor Mengolah Sampah dengan Metode “Biodrying”. Kompas.com (diakses tanggal 15 November 2017)
- Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3/PRT/M/2013 Tentang “Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan Dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga”
- Velis CA., Longhurst PJ., Drew GH., Smith R., dan Pollard SJT. Biodrying for mechanical–biological treatment of wastes: A review of process science and engineering. Bioresource Technology, 100: 2747-2761.