Biologi feat Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan?
Buat apa deh? Biologi kan ilmu yang mempelajari makhluk hidup, apa yang bisa kecerdasan buatan bantu dari biologi? Artikel ini akan mencoba membahas potensi penggabungan AI dan biologi di masa kini, yang membuka beragam riset baru di masa depan.
Kecerdasan buatan di masa kini seakan menjadi kata pasaran yang menjadi jaminan teknologi tinggi. Lihat saja iklan ragam produk teknologi, kata-kata AI-powered camera, AI-assisted processor seringkali ada pada telepon genggam atau laptop masa kini. Hanya saja, orang lebih familiar karena hal ini pada teknologi informasi. Namun bagaimana penerapan AI untuk memecahkan masalah biologi yang tidak melibatkan komputer sama sekali?
Yah, meskipun eksperimen biologi tidak melibatkan sistem komputasi yang benar-benar canggih, namun biologi menawarkan banyak sekali hasil eksperimen sebagai data, yang menjadi “makanan” bagi AI.
Pemrosesan big data pada bidang biologi, menyebabkan kebutuhan akan analisis data tersebut menjadi meningkat dan melibatkan teknik komputasi lanjut dengan menggunakan kecerdasan buatan alias AI. Selanjutnya, penerapan AI ini juga melahirkan cabang ilmu baru bernama bioinformatika. Makanya sekarang ada juga para biologist yang hobinya main komputer, setel-setel HPC (high performance computing), dan yang pasti, ngoding. Ya, kamu tidak salah baca.
Memang data biologi apa yang bisa menggunakan kecerdasan buatan untuk mempercepat risetnya?
Nah ini beberapa di antaranya :
DNA
Riset DNA tentu menjadi salah satu hal yang sangat terbantu dengan adanya AI dan bioinformatika. Salah satu yang paling terkenal ialah BLAST, kakas yang bermanfaat untuk mencari organisme berdasarkan DNAnya, dan juga melihat kemungkinan sekuens DNA yang dapat diterjemahkan menjadi kode protein. Cara kerja BLAST dan penggunaannya juga bisa kamu lihat di sini.
Selain itu, kecerdasan buatan yang digunakan untuk mendukung riset terkait DNA antara lain anotasi DNA [1]. Apa itu anotasi DNA? Anotasi merupakan “penerjemahan” bagian DNA sehingga kita mampu memahami makna dari DNA tersebut, apakah merupakan pembawa keturunan saja, atau merupakan coding sequence yang berfungsi untuk pembuatan protein dalam suatu organisme.
Protein
Nah ini yang paling baru dari riset terkait AI pada biologi. Google melalui DeepMind meluncurkan AlphaFold, algoritma kecerdasan buatan yang berfungsi untuk memprediksi struktur protein. Mengapa prediksi struktur protein menjadi penting dan membutuhkan bantuan AI sih? Sebagaimana diketahui sebelumnya, protein memiliki empat macam struktur, yaitu struktur primer, sekunder, tersier dan kuartener [2].
Struktur kuartener ini merupakan struktur yang paling sulit diperoleh, padahal informasi yang terkandung pada struktur kuartener ini merupakan informasi yang paling lengkap, karena dari struktur, kita dapat menentukan fungsi dari protein tersebut [3]. Tidak hanya itu, kerusakan struktur pada protein ini dapat menyebabkan degradasi atau perubahan fungsi dari protein spesifik ini [4]. Tidak heran, banyak pendekatan yang digunakan untuk menguak misteri dari struktur protein ini, salah satunya pendekatan prediksi menggunakan kecerdasan buatan.
Secara simpel, AlphaFold bekerja dengan menggunakan sekuens primer protein, yang hanya terdiri dari untaian asam amino dan beberapa jenis masukan yang lain sehingga nantinya akan didapat prediksi tiga dimensi struktur protein [5]. Animasi singkat bagaimana AlphaFold bekerja dapat kamu lihat di video ini :
Metabolisme
Wow, memangnya apa yang dapat AI dan teknologi komputasi lakukan pada riset metabolisme? Perkembangan AI pada bidang metabolisme merupakan hasil berkembangnya keilmuan baru dalam biologi, yaitu biologi sintetik dan systems biology. Seperti namanya, biologi sintetik merupakan cabang ilmu biologi yang fokus dalam merekayasa sistem metabolisme di dalam makhluk hidup, termasuk rekayasa genetika dan rekayasa metabolisme.
Jika biologi sintetik adalah cabang ilmu terkait perekayasaan makhluk hidup, systems biology merupakan cabang ilmu biologi yang melihat organisme sebagai satu system yang saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga pada era saat ini, kita mampu melihat satu gejala di dalam tubuh sebagai satu reaksi sistematis, yang semua komponen pada tubuh turut mempengaruhinya. Berdasarkan data ini, kita mampu membuat model yang mensimulasikan apa yang terjadi pada organisme tersebut. Video di bawah menjelaskan bagaimana potensi systems biology dalam perekayasaan organisme di masa depan.
Aspek biologi sintetik yang melibatkan perekayasaan inilah yang terbantu dengan adanya systems biology dan AI. Kita mampu membuat ribuan skenario simulasi terlebih dahulu, sebelum kita melakukan eksperimen sesungguhnya, sehingga akan sangat menekan biaya untuk riset eksperimental, dan yang paling penting, kita tidak kelelahan saat nge-lab.
Selain itu, masih banyak lagi peranan kecerdasan buatan dalam bidang biologi yang belum tercakup di sini karena keterbatasan artikel. Potensi pengembangannya pun sangat besar, karena ini merupakan bidang baru.
Jadi, apakah kamu masih ragu biologi tidak bisa berkolaborasi dengan AI? Siapkah kamu untuk menjadi the next computational biologist?
Referensi:.
[1] Dias, R., & Torkamani, A. (2019). Artificial intelligence in clinical and genomic diagnostics. Genome medicine, 11(1), 1-12.
[3] Ouellette, R. J., & Rawn, J. D. (2015). Principles of organic chemistry. Academic Press.
[4] Fichtner, M., Schuster, S., & Stark, H. (2021). Influence of spatial structure on protein damage susceptibility: a bioinformatics approach. Scientific reports, 11(1), 1-12.
[5] Jumper, J., Evans, R., Pritzel, A., Green, T., Figurnov, M., Ronneberger, O., … & Hassabis, D. (2021). Highly accurate protein structure prediction with AlphaFold. Nature, 1-11.
.
Alumni Rekayasa Hayati ITB. Saat ini bekerja sebagai Bioinformatician pada salah satu perusahaan bioteknologi di Indonesia, sambil menempuh Master pada program studi Bioinformatics and Systems Biology, KMUTT, Thailand. Memiliki impian mengintegrasikan biologi dan sistem kontrol demi tercapainya biosistem yang optimal untuk kesejahteraan umat.