Peperangan menggunakan bom nuklir adalah suatu hal yang paling menakutkan bagi seluruh negara di dunia. Bom nuklir disebut-sebut juga sebagai senjata pemusnah masal karena daya ledaknya yang luar biasa besar. Daya ledak dari sebuah bom nuklir didefinisikan sebagai TNT (trinitrotoluene) dalam kiloton (ribuan ton TNT) atau megaton (jutaan ton TNT), tetapi kadang-kadang ditulis juga dalam bentuk terajoule atau TJ (1 kiloton TNT = 4,184 TJ)[1]. Bom nuklir pertama kali diuji coba pada 16 Juli 1945, ketika Amerika Serikat berhasil meledakan bom fisi nuklir bernama “Trinity” di atas gurun Alamogordo di New Mexico dengan daya ledak sebesar 19 kiloton. Kemudian, kurang dari sebulan setelah uji coba tersebut tepatnya pada 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom nuklir pertama yang diberi nama “Little Boy” di kota Hiroshima (Jepang) dengan daya ledak sebesar 15 kiloton dan 3 hari kemudian tepatnya pada 9 Agustus 1945 dijatuhkan kembali bom nuklir kedua bernama “Fat Man” di kota Nagasaki (Jepang) dengan daya ledak sebesar 21 kiloton. Pada peristiwa tersebut setidaknya menewaskan sekitar 68.000 orang pada kota Hiroshima dan 38.000 orang pada kota Nagasaki[2]. Diketahui uji coba peledakan bom nuklir terkuat adalah pada bom termonuklir bernama “Tsar Bomba” dengan daya ledak setara dengan 50.000 kiloton TNT yang dilakukan oleh Uni Sovyet pada 31 Oktober 1961[1].
Ledakan dari bom nuklir memiliki efek yang luar biasa bagi kehidupan dibumi. Efek yang terjadi dari ledakan bom nuklir dapat berdampak bagi manusia, bangunan, dan lingkungan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dari hasil ledakan bom nuklir berupa cuaca, lokasi, titik ledakan pada permukaan bumi, dan hasil dari daya ledak bom. Ledakan senjata nuklir akan menghasilkan tiga fase dasar yaitu gelombang ledakan, radiasi termal, dan radiasi nuklir residual[2].
Melihat pada keganasan dari daya ledak bom nuklir tersebut dan juga dikarenakan dua (2) kota penting Jepang telah luluh lantak dihancurkan oleh ledakan senjata nuklir. Pada tanggal 7 Mei 2003 telah diterbitkan sebuah makalah pre-print yang berjudul “Destruction of Nuclear Bombs Using Ultra-High Energy Neutrino Beam” atau “Pemusnahan Bom-bom Nuklir Menggunakan Sinar Neutrino Berenergi Tinggi” yang ditulis oleh tiga (3) orang ilmuwan Jepang[3,4]. Neutrino pertama kali dikenal sebagai partikel hantu (ghost particle) karena dianggap tidak memiliki massa yang pertama kali istilah ini diperkenalkan oleh Wolfgang Pauli pada tahun 1931. Pauli mengamati ketidak-konsitenan konservasi energi dan momentum pada suatu peluruhan radioaktif.
Kemudian penelitian lebih mutakhir dilakukan pada tahun 1998 pada eksperimen yang dilakukan dengan menggunakan detektor Super-Kamiokande yang menggunakan tangki berisi 50.000 ton air murni, diletakkan sekitar 1000 meter di bawah permukaan bumi, berhasil membuktikan bahwa neutrino memiliki massa. Meski demikian, massa neutrino secara pasti tidak dapat diukur melalui eksperimen tersebut. Oleh karena neutrino memiliki sedikit massa inilah dapat digunakan untuk menembus bumi menuju bom nuklir dan juga hanya berinteraksi dengan gaya nuklir lemah dan gaya gravitasi sehingga tidak akan berinteraksi dengan materi[5].
Baca juga artikel yang berjudul Ternyata Neutrino Dapat Dipakai Untuk Mengetahui Bagian Inti Bumi
Perancangan bom nuklir merupakan pekerjaan yang tidaklah mudah untuk dilakukan agar bom tersebut dapat meledak secara maksimal. Semua negara yang pernah merancang bom nuklir akan merahasiakan konsep bom yang mereka buat dan tidak pernah dipublikasikan secara resmi guna mencegah disalahgunakan untuk tujuan kejahatan. Namun prinsip dasar dari sebuah bom nuklir dapat ditemukan dibeberapa buku teks fisika nuklir atau pun buku-buku populer. Bagan sederhana sebuah bom nuklir implosif dapat dilihat pada gambar 2 dibawah ini yang mana pada gambar tersebut menunjukkan bahan peledak nuklir yang dikelilingi oleh peledak konvensional (TNT) yang didesain sedemikian rupa agar ledakan TNT menghasilkan gelombang kejut.
Tujuan dari pembuatan bom nuklir adalah untuk menghasilkan ledakan nuklir yang optimal detonasi dari peledak konvensional harus disinkronkan dengan reaksi fisi. Hal ini dimaksudkan agar ledakan TNT menghasilkan gelombang kejut yang pada akhirnya akan menekan 239Pu (Plutonium-239) sehingga membuat 239Pu berada dalam kondisi superkritis, yaitu kondisi dimana reaksi fisi dapat membiakkan lebih dari satu netron. Pada prakteknya hal ini merupakan bagian tersulit dari sebuah bom nuklir. Netron kemudian dilepas oleh initiator untuk memulai reaksi berantai. Selubung 238U yang menutupi bahan peledak 239Pu berguna untuk mengembalikan netron yang keluar dari inti bom, atau dapat juga menghasilkan netron-netron tambahan melalui reaksi fisi yang dipicu oleh netron-netron cepat yang bergerak keluar dari inti bom. Proses-proses tersebut terjadi dalam selang waktu begitu singkat, bahkan dengan periode nano-detik.
Suatu hal yang harus kita ketahui bahwa cara kerja bom nuklir berbeda dengan cara kerja reaktor nuklir untuk tujuan eksperimen atau pun untuk tujuan pembangkit energi listrik. Pada bom nuklir reaksi berantai dibiarkan berfisi secara tak terkendali guna menciptakan energi ledak sebesar mungkin. Sedangkan pada reaktor eksperimen atau reaktor daya reaksi fisi berantai dikendalikan menggunakan batang kendali yang dimasukkan kedalam teras reaktor.
Dengan mengetahui cara kerja dan struktur dari bom nuklir tersebut dapat dihancurkan menggunakan sinar neutrino berenergi tinggi dan sinar proton. Dalam penulisan makalahnya ada dua (2) skenario dalam penghancuran bom nuklir tersebut yaitu skenario pertama, bom-bom nuklir yang disimpan di atas atau pun di bawah permukaan bumi dapat dihancurkan dengan sinar neutrino yang ditembakkan menembus perut bumi. Skenario kedua digunakan untuk menghancurkan rudal-rudal yang memiliki hulu-ledak nuklir yang sudah terlanjur diluncurkan dari permukaan bumi. Untuk kasus ini, berkas proton yang lebih mudah diproduksi dapat digunakan.
Penghancuran bom nuklir tersebut dilakukan dengan cara menembakkan berkas neutrino berenergi sangat tinggi yang dapat dengan mudah menembus bumi (karena tidak berinteraksi dengan materi) ke arah lokasi bom nuklir untuk menyulut reaksi fisi pada bom nuklir tersebut. Untuk tujuan ini dibutuhkan berkas neutrino yang memiliki energi paling tidak 1000 TeV (Tera atau triliun elektron Volt, dengan satu elektron Volt adalah energi yang diberikan oleh beda potensial satu Volt pada sebuah elektron). Kalau pun kita ingin membuat eksperimennya maka dibutuhkan sebuah akselerator muon sepanjang 1000 km dan memiliki magnet berkekuatan 10 Tesla. Jika angka-angka tersebut tidak menjadi masalah untuk direalisasi, maka biaya yang harus dikeluarkan tak kurang dari 100 triliun dollar. Mengingat fantastisnya angka-angka tersebut maka pencetus ide ini memperkirakan tidak akan ada satu negara yang sanggup untuk membuat peralatan pemusnah bom nuklir. Kecuali jika seluruh negara di dunia bersatu membuat suatu pemerintahan dunia, barulah proposal tersebut dapat terlaksana.
Neutrino dengan energi yang mencapai 1000 TeV ini kemudian diarahkan ke bagian inti bom nuklir, yaitu elemen 239Pu. Sebelum memasuki inti 239Pu neutrino tersebut akan menghasilkan pancaran (shower) hadron yang akan memicu reaksi fisi di dalam 239Pu. Pada sebuah bom nuklir akan efektif daya ledaknya jika proses reaksi fisi yang berantai disinkronisasi dengan ledakan TNT pembungkus bom tersebut. Jadi ada kemungkinan bom nuklir tersebut tidak akan meledak secara efektif, karena pada proses ini TNT meledak setelah reaksi fisi berjalan dan temperatur TNT meningkat melebihi 250 C. Pada kenyataannya, hasil perhitungan ketiga penulis makalah tersebut memperlihatkan bahwa dengan menggunakan berkas neutrino berkekuatan 1000 TeV bom nuklir akan meledak dengan kekuatan hanya 3% dari kekuatan penuh. Penurunan daya ledakkan inilah yang paling penting dari penembakan berkas neutrino berenenrgi tinggi kedalam inti bom nuklir.
Pada kasus rudal nuklir yang telah diluncurkan, penulis makalah mengusulkan untuk menggunakan berkas proton karena proton dapat ditembakkan langsung di tempat terbuka. Untuk menghasilkan berkas proton tersebut sebuah akselerator (pemercepat) proton, yang jauh lebih sederhana dibandingkan dengan cincin penyimpan muon, dapat ditempatkan pada sebuah satelit. Karena proton adalah partikel masif, energi yang dibutuhkan hanyalah sekitar 100 GeV (Giga electron Volt). Sampai saat ini akselerator proton di LHC (Large Hadron Collider) milik CERN (Pusat Riset Fisika Nuklir Dunia) telah mencapai kekuatan hingga 13 TeV[6]. Proses selanjutnya sama dengan pada skenario pertama. Problem utama di sini adalah bagaimana menempatkan akselerator proton pada sebuah satelit atau pesawat ulang-alik, karena akselerator lazimnya memiliki berat ratusan atau bahkan ribuan ton. Namun, jika teknologi pemercepat dengan menggunakan laser atau plasma sudah dapat dikuasai, dimensi akselerator dapat direduksi, sehingga hal di atas bukan merupakan kendala substansial[7].
Secara sederhana tujuan dari bom nuklir adalah bagaimana pemanfaatan energinya yang luar biasa besar untuk dilepaskan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya agar daya ledak sebesar-besar mungkin. Sedangkan menembak neutrino berenergi tinggi atau proton ke dalam inti bom nuklir adalah agar bom meledak seminimal mungkin agar dampak yang dihasilkan tidak begiru besar atau bahkan tidak ada sama sekali. Peperangan menggunakan senjata pemusnah semacam bom nuklir sangat tidak manusiawi karena dampak yang dihasilkan sangat benar-benar merusak. Harapannya adalah semoga energi yang luar biasa dari nuklir digunakan untuk tujuan damai semata bukan untuk senjata pemusnah.
Refrensi:
- Wikipedia Indonesia, Daya ledak senjata nuklir (https://id.wikipedia.org/wiki/Daya_ledak_senjata_nuklir) diakses pada tanggal 27 Desember 2017
- Anderson, John. 1999. “Nuclear Weapons: The Characteristics and Capabilities Behind the Horror“. Ethics of Development in a Global Environment (EDGE), 18 Agustus 1999 (https://web.stanford.edu/class/e297c/war_peace/atomic/hHORROR.html) diakses pada tanggal 27 Desember 2017
- Cornel University Library, Destruction of Nuclear Bombs Using Ultra-High Energy Neutrino Beam (https://arxiv.org/abs/hep-ph/0305062) diakses pada tanggal 27 Desember 2017
- Sugawara, Hirotaka et al. 2003. “Destruction of Nuclear Bombs Using Ultra-High Energy Neutrino Beam“. Arxiv, 29 Juni 2003, hep-ph/0305062
- Dadang, Wayan. 2017. “Ternyata Neutrino Dapat Dipakai Untuk Mengetahui Bagian Inti Bumi“. Warung Sains danTeknologi, 28 Agustus 2017 (https://warstek.com/2017/08/28/neutrino/) diakses pada tanggal 27 Desember 2017
- O’Luanaigh, Cian. 2015. “First images of collisions at 13 TeV“. CERN, 26 Mei 2016 (https://home.cern/about/updates/2015/05/first-images-collisions-13-tev) diakses pada tanggal 30 Desember 2017
- Mart, Terry. 2003. “Menghancurkan bom nuklir dengan sinar neutrino dan proton“. Kompas, 12 Juli 2013 (https://staff.fisika.ui.ac.id/tmart/nuklir.html) diakses pada tanggal 27 Desember 2017