Oleh: Mohammad Jefri Rynaldi
Kehadiran teknologi canggih di sektor komunikasi banyak diklaim telah membantu umat manusia untuk meraih hidup lebih baik. Hal tersebut dilandaskan pada aspek kepraktisan teknologi itu sendiri semisal pada jaman dahulu kita harus berlama-lama mengirim pesan kepada seseorang namun kini hanya dalam waktu singkat pesan kita kepada orang lain dapat tersampaikan melalui aplikasi chatting seperti WhatsApp. Selain itu hadirnya jejaring media sosial semakin memperkecil jarak nyata dalam kehidupan kita, tentu pada jaman sebelum internet marak digunakan kita jarang memikirkan untuk memiliki teman dari belahan dunia lain dalam friendlist kita. Adapun kemudahan yang paling mencolok selain dalam berkomunikasi pada orang lain kemajuan teknologi juga membuat akses informasi menjadi lebih mudah. Kita tidak lagi memiliki kesulitan dalam mencari berita terkini tentang bencana tsunami di Jepang misalnya, atau jika kita tidak sempat menyaksikan pertandingan antara Real Madrid melawan Barcelona kita tetap bisa melihat cuplikan pertandingan hanya berselang beberapa menit setelah pertandingan usai. Singkatnya kelangkaan akan informasi sudah tidak lagi relevan dalam era digital yang memiliki kecanggihan teknologi.
Sayangnya ibarat dua buah mata pisau kemajuan teknologi tidak hanya memiliki sisi positif namun juga menyimpan sisi negatif. Hadirnya media sosial faktual menghadirkan banjir informasi dalam waktu yang relatif singkat. Masyarakat cenderung kebingungan dalam menyerap informasi yang begitu banyak dan berbeda versi. Akibat paling kentara dalam fenomena ini ialah setiap komunitas dalam masyarakat memiliki kebenaran versinya sendiri. Sebenarnya hal tersebut bukanlah masalah besar jika kebenaran versi mereka diadu secara gagasan untuk membuktikan siapa yang paling kuat berdasar data, akan tetapi yang terjadi justru konflik yang tak jarang berujung persekusi di media sosial.
Untuk memahami fenomena di atas perlu kiranya melihat apa yang disebut sebagai post truth. Secara sederhana post truth ialah fase di mana masyarakat mengabaikan pendapat dan mengedepankan berita palsu (hoax) yang bertujuan untuk memacing emosi masyarakat demi kepentingan politik tertentu. Singkatnya dalam post truth masyarakat tidak lagi mempercayai fakta, masyarakat hanya percaya pada informasi yang dikonstruksi sebagai kebenaran berdasarkan seleranya, meskipun dalam hal ini tidak menunjukkan kebenaran yang objektif[1]. Watak post truth yang menyerupai cinta buta karena tidak lagi memperdulikan fakta melainkan hanya berdasar “perasaan” dan selera. Kondisi itu jelas tidak sehat secara sosial karena rawan menimbulkan konflik dan diskriminasi dalam masyarakat. Selain itu keadaan tersebut mengakibatkan masyarakat semakin terkotak-kotak baik dalam pemikiran dan perbuatan.
Istilah post truth sendiri sebenarnya muncul pada tahun 1992 pada peristiwa Perang Teluk, namun dalam era digital istilah tersebut mengemuka semenjak terjadinya peristiwa Brexit (Britain Exit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Mengapa kedua peristiwa tersebut menjadi tonggak post truth era digital? Karena dalam peristiwa tersebut kondisi-kondisi post truth terjadi secara gamblang. Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa dan terpilihnya Donald Trump disebut sebagai titik puncak post truth yang dilandasi oleh hoax dan fitnah. Hal tersebut semisal dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan Trump pada masa kampanye yang kerap melempar berita bohong dan klaim tanpa bukti. Keadaan itu juga terjadi pada peristiwa Brexit yang dimotori oleh kelompok konservatif yang menginginkan Britania Raya keluar dari Uni Eropa. Rentetan kejadian tersebut bahkan memaksa media besar semisal New York Times untuk melakukan cek data pada setiap pernyataan Donald Trump pada masa itu.[2]
Hoax yang menjadi “anak kandung” post truth sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dunia politik yang memang dari jaman dahulu sedikit banyak dibentuk dari berita bohong berpengaruh dalam hal ini. Dalam kacamata sosiologi komunikasi perbedaan antara dunia politik konvensional yang terdapat berita bohong di sana dengan era post truth ialah pada aspek media dan persebaran informasi. Seperti sudah disebutkan sebelumnya perkembangan teknologi berhasil memangkas jarak dan waktu dalam masyarakat sehingga informasi bukan lagi menjadi barang langka. Hal tersebut ternyata juga dimanfaatkan politisi guna mengaduk emosi masa dengan sarana hoax atau dengan kata lain kecanggihan teknologi telah ditunggangi oleh kepentingan politik kontemporer demi memasukkan kepentingannya ke dalam informasi. Dengan memanfaatkan pola persebaran informasi yang massif melalui jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, WhatsApp dan media lain memungkinkan hal tersebut terjadi.
Cara paling sederhana guna menangkal gejala post truth sebenarnya cukup dekat namun sedikit sulit dilakukan yaitu dengan menaikkan daya kritis kita. Kita harus mau untuk keluar dari “gelembung” pemikiran kita dan mencoba melihat suatu hal dari pendapat yang berseberangan. Atau kita juga bisa menyelidiki suatu berita dengan kaidah dasar pemikiran kritis seperti melihat siapa yang berada di balik korporasi media tersebut lalu melihat siapa yang diuntungkan dan dirugikan jika berita tersebut tersebar[3]. Intinya kita harus bisa menghilangkan watak cinta buta kita pada politisi tertentu dan mulai mendengarkan pendapat dari lawan bicara kita.
Referensi
[1] Wahyono, Eko, Rizka Amalia dan Ikma Citra Ranteallo. 2017. “Menelaah Lebih Dekat “Post Factual/Post Truth Politics, Studi Kasus Brexit” (Analsis Resensi Media)”. Journal of Communication (Nyimak),Vol. 1, No. 1, 23-31.
[2] Utomo, Wisnu Prasetya. 2017. Diakses dari http://www.remotivi.or.id/kabar/345/Selamat-Datang-di-Era-Post-Truth pada 22 Mei 2018
[3] Video Wawancara Dr. Haryatmoko – Post-Truth. 2018. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=xwnrucp9Gpo pada 22 Mei 2018
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.