Deforestasi Mengintai Kesehatan Masyarakat: Antara Lingkungan dan Penyakit Menular

Peradangan otak adalah suatu kondisi medis di mana jaringan otak mengalami inflamasi atau pembengkakan. Kondisi ini dapat terjadi karena infeksi […]

blank
blank

Peradangan otak adalah suatu kondisi medis di mana jaringan otak mengalami inflamasi atau pembengkakan. Kondisi ini dapat terjadi karena infeksi virus, bakteri, atau penyakit lain yang memicu sistem kekebalan tubuh untuk merespons secara berlebihan. Gejala peradangan otak antara lain sakit kepala, demam, kebingungan, hingga kehilangan kesadaran, yang menunjukkan adanya masalah serius pada fungsi otak. Pada tahun 1999, di Malaysia, tercatat adanya wabah peradangan otak parah yang menyerang 265 orang. Wabah ini disebabkan oleh virus Nipah, yang merupakan virus langka dan berbahaya, dan menyebabkan 105 korban jiwa. Hal ini menunjukkan betapa seriusnya dampak yang dapat ditimbulkan oleh virus tersebut.

Virus Nipah adalah jenis virus yang bisa menyebabkan peradangan pada otak (ensefalitis) dan infeksi selaput otak (meningitis), yang keduanya merupakan kondisi berbahaya yang dapat mengancam nyawa. Virus ini biasanya menyebar melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, seperti kelelawar atau babi, yang dapat menjadi pembawa virus tanpa menunjukkan gejala penyakit. Virus Nipah pertama kali menginfeksi manusia pada tahun 1999 di Malaysia, di mana terjadi wabah besar yang berdampak serius. Sejak saat itu, virus ini telah menyebabkan sejumlah wabah berulang di kawasan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, Thailand, dan Vietnam.

Penyebaran virus Nipah sering dikaitkan dengan perubahan lingkungan, terutama di wilayah yang mengalami pembukaan hutan secara cepat. Pembukaan hutan, yang terjadi untuk keperluan pertanian atau urbanisasi, dapat memaksa hewan liar seperti kelelawar untuk berpindah ke daerah yang lebih dekat dengan pemukiman manusia. Hal ini meningkatkan kemungkinan terjadinya kontak antara satwa liar dan manusia, sehingga risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia menjadi lebih tinggi. Virus Nipah merupakan salah satu dari banyak penyakit zoonosis, yaitu penyakit yang dapat berpindah dari hewan ke manusia, dan menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem untuk mencegah penyebaran penyakit menular.

Dalam dua puluh tahun terakhir, semakin banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa penggundulan hutan dapat menyebabkan serangkaian dampak yang kompleks, yang pada akhirnya menciptakan kondisi yang mendukung penyebaran patogen berbahaya ke manusia. Penggundulan hutan terjadi ketika pohon-pohon di suatu area ditebang secara besar-besaran, biasanya untuk pertanian atau pembangunan. Ketika habitat alami hewan terganggu, hewan-hewan tersebut, seperti kelelawar atau tikus, bisa mendekati pemukiman manusia dan meningkatkan risiko penyebaran patogen seperti virus dan parasit.

Beberapa contoh patogen yang menjadi ancaman setelah penggundulan hutan termasuk virus Nipah, yang dapat menyebabkan peradangan otak, dan virus Lassa, yang menyebabkan demam Lassa, sebuah penyakit yang mirip dengan demam berdarah. Selain itu, perubahan lingkungan ini juga meningkatkan risiko penularan parasit penyebab penyakit seperti malaria, yang disebarkan oleh nyamuk, dan penyakit Lyme, yang ditularkan oleh gigitan kutu. Penggundulan hutan menciptakan kondisi yang mengganggu keseimbangan ekosistem, menyebabkan hewan pembawa penyakit mendekat ke area yang lebih sering dihuni oleh manusia, sehingga memperbesar risiko munculnya penyakit-penyakit ini di kalangan manusia.

Ketika terjadi kebakaran di hutan tropis Amazon, serta di beberapa bagian Afrika dan Asia Tenggara, para ahli kesehatan dan lingkungan semakin khawatir akan dampak kesehatan terhadap masyarakat yang tinggal di daerah yang rentan terhadap penggundulan hutan. Mereka juga memperingatkan bahwa pandemi besar berikutnya mungkin saja berasal dari wilayah-wilayah hutan ini. Menurut para ahli, penggundulan hutan tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga meningkatkan risiko penularan penyakit dari hewan ke manusia.

Dikutip dari National Geographic, Andy MacDonald, seorang ahli ekologi penyakit dari Earth Research Institute, University of California, Santa Barbara, menjelaskan bahwa “penggundulan hutan dapat menjadi faktor utama yang mendorong penyebaran penyakit menular.” Artinya, ketika kita terus mengurangi dan merusak habitat alami, seperti hutan, kita meningkatkan peluang terjadinya kontak antara manusia dan hewan liar yang bisa membawa patogen berbahaya. Andy menyebut fenomena ini sebagai “permainan angka”: semakin banyak kita merusak dan menebangi hutan, semakin tinggi pula risiko kita mengalami wabah penyakit menular. Hal ini terjadi karena saat habitat hewan liar terganggu, mereka lebih sering berinteraksi dengan manusia, sehingga meningkatkan potensi penularan virus atau penyakit yang sebelumnya hanya beredar di antara hewan.

Kaitan Penyakit dengan Hutan Gundul

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini telah lama diduga terjadi bersamaan dengan penggundulan hutan, karena penggundulan hutan dapat menyebabkan perubahan lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dan menyebar penyakit.

Di Brasil, meskipun upaya pengendalian telah secara signifikan mengurangi penularan malaria (6 juta kasus per tahun pada tahun 1940an turun menjadi ‘hanya’ 50 ribu pada tahun 1960an), kasus malaria terus meningkat seiring dengan pesatnya pembukaan hutan dan perluasan pertanian.

Pada pergantian abad, terdapat lebih dari 600 ribu kasus malaria setiap tahun di lembah Amazon, yang berarti bahwa penyakit ini masih menjadi masalah signifikan di wilayah tersebut. Penelitian pada akhir tahun 1990-an oleh Amy Vittor, seorang ahli epidemiologi di Emerging Pathogens Institute di University of Florida, mengemukakan alasannya. Pembukaan lahan hutan tampaknya menciptakan habitat ideal di sepanjang tepi hutan bagi nyamuk Anopheles darlingi, penyebar penyakit malaria di Amazon, untuk berkembang biak. Penelitian Amy Vittor menemukan bahwa pembukaan lahan hutan dapat menciptakan habitat ideal bagi nyamuk Anopheles darlingi, yang adalah salah satu jenis nyamuk yang dapat menyebar penyakit malaria.

Melalui survei yang cermat di Amazon Peru, ia menemukan jumlah larva yang lebih banyak di kolam yang hangat dan sebagian teduh, jenis yang terbentuk di pinggir jalan yang membelah hutan dan genangan air di balik puing-puing tempat air tidak lagi diserap oleh pepohonan. Survei adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang suatu wilayah atau objek. Dalam survei ini, Vittor menemukan jumlah larva yang lebih banyak di kolam yang hangat dan sebagian teduh, yang berarti bahwa nyamuk Anopheles darlingi dapat berkembang biak di tempat-tempat tersebut.

Anopheles darlingi adalah suatu jenis nyamuk yang dapat menyebar penyakit malaria. Vittor mengatakan bahwa tempat-tempat tersebut sangat disukai oleh nyamuk Anopheles darlingi, yang berarti bahwa nyamuk tersebut dapat berkembang biak dan menyebar penyakit malaria di tempat-tempat tersebut.

Dalam analisis kompleks terhadap data satelit dan kesehatan yang diterbitkan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, Erin Mordecai dari Stanford University melaporkan dampak signifikan penggundulan hutan di lembah Amazon terhadap penularan malaria, sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Analisis kompleks adalah suatu metode yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data dari berbagai sumber. Dalam analisis ini, Erin Mordecai menemukan bahwa penggundulan hutan di lembah Amazon memiliki dampak signifikan terhadap penularan malaria, yang berarti bahwa penggundulan hutan dapat menyebabkan perubahan lingkungan yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dan menyebar penyakit malaria.

Antara tahun 2003 hingga 2015, rata-rata, mereka memperkirakan bahwa peningkatan kehilangan hutan sebesar 10% per tahun menyebabkan peningkatan kasus malaria sebesar 3%, yang berarti bahwa penggundulan hutan dapat menyebabkan peningkatan kasus penyakit malaria. Penelitian ini menemukan bahwa penambahan lahan hutan seluas 1.600 kilometer persegi dikaitkan dengan tambahan 10 ribu kasus malaria, yang berarti bahwa penggundulan hutan dapat menyebabkan peningkatan kasus penyakit malaria.

Dampak penggundulan hutan paling terasa di bagian dalam hutan, karena beberapa petak hutan masih utuh dan menyediakan habitat lembab yang disukai nyamuk. Dengan terus terjadinya pembakaran hutan Amazon, dampak yang ditimbulkan bukanlah pertanda baik.

Di Afrika, penelitian hanya menemukan sedikit hubungan antara malaria dan penggundulan hutan, yang berarti bahwa penggundulan hutan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap penularan malaria di Afrika. Hal ini mungkin karena spesies nyamuk di sana suka berkembang biak di perairan yang terkena sinar Matahari dan lebih menyukai lahan pertanian terbuka dibandingkan kawasan hutan yang teduh. Namun di Sabah, bagian dari Kalimantan, Malaysia, wabah malaria juga terjadi bersamaan dengan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya. Di Sabah, wabah malaria terjadi bersamaan dengan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya, yang berarti bahwa penggundulan hutan dapat menyebabkan peningkatan kasus penyakit malaria di wilayah tersebut.

Penyakit yang Datang dari Hutan Nyamuk bukanlah satu-satunya hewan yang dapat menularkan penyakit mematikan kepada manusia. Faktanya, 60% penyakit menular baru muncul pada manusia termasuk HIV, Ebola, dan Nipah. Semua penyakit ini berasal dari hewan penghuni hutan, ditularkan oleh sejumlah hewan lain, yang sebagian besar adalah satwa liar. Dalam studi tahun 2015, para peneliti di Ecohealth Alliance, sebuah organisasi nirlaba berbasis di New York yang memantau penyakit menular secara global, menemukan bahwa hampir satu dari tiga wabah penyakit baru muncul terkait dengan perubahan penggunaan lahan seperti deforestasi. Banyak virus yang hidup tanpa bahaya bersama hewan inangnya di hutan, karena hewan tersebut telah berevolusi bersama dengan hewan tersebut. Namun tanpa disadari, manusia bisa menjadi inang bagi patogen ketika mereka memasuki atau mengubah habitat hutan.

Daya Tarik Mematikan

Perubahan lingkungan dengan membuka hutan untuk perkebunan dapat membawa konsekuensi pada penyebaran penyakit. Misalnya, di Liberia, peningkatan aktivitas pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit menarik tikus-tikus hutan ke wilayah yang berdekatan dengan permukiman manusia dalam pencarian makanan. Tikus-tikus ini dapat membawa virus Lassa, yang dapat ditularkan ke manusia melalui kontak dengan makanan atau benda yang tercemar oleh tinja atau urin hewan pengerat yang terinfeksi virus. Penularan virus ini pada manusia dapat menyebabkan demam berdarah, dan di Liberia, tingkat kematian akibat infeksi virus Lassa mencapai 36%.

Hewan pengerat yang membawa virus juga menghuni kawasan hutan gundul di Panama, Bolivia, dan Brasil. Alfonso Rodriguez-Morales, seorang peneliti medis dan pakar penyakit tropis di Universidad Tecnológica de Pereira Kolombia, mengungkap kekhawatiran terhadap pola perpindahan yang semakin meluas di habitat mereka sebagai dampak dari deforestasi yang meningkat. Tidak hanya berdampak pada penyakit tropis, namun penelitian yang dilakukan oleh MacDonald juga mencatat hubungan aneh antara penggundulan hutan dan penyakit Lyme di Amerika Serikat Bagian Timur Laut. Penularan penyakit Lyme disebabkan oleh bakteri Borrelia burgdorferi yang disebarkan melalui gigitan kutu. Kutu ini melakukan siklus hidupnya dengan rusa hutan sebagai inangnya, memerlukan darah dari inang untuk bertahan hidup. Selain dari rusa hutan, kutu-kutu ini juga ditemukan pada tikus berkaki putih yang merupakan spesies yang berkembang pesat di hutan yang terfragmentasi akibat aktivitas manusia, berpotensi meningkatkan risiko penularan penyakit Lyme di tengah populasi manusia.

Peningkatan risiko penyebaran penyakit ke manusia cenderung terjadi di daerah tropis karena terdapat beragam jenis satwa liar dan patogen, hal ini menyebabkan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Di zona tropis, terdapat sejumlah penyakit yang dapat ditularkan oleh berbagai hewan, seperti serangga yang menghisap darah dan juga siput, yang dilekatkan pada aktivitas deforestasi. Selain penyakit yang sudah dikenal, para ilmuwan mengkhawatirkan adanya penyakit mematikan yang belum teridentifikasi secara pasti yang mungkin tersembunyi di dalam hutan dan berpotensi tersebar saat manusia terus melakukan pembabatan hutan.

Para ilmuwan memperhatikan bahwa peluang penularan penyakit ke manusia tampaknya meningkat seiring dengan suhu bumi yang semakin panas, mendorong berpindahnya hewan bersama virus yang mereka bawa ke area yang sebelumnya tidak terjangkau. Dr. Vittor menyatakan, “Apakah penyakit-penyakit ini hanya tetap di daerah pinggiran hutan atau menular ke manusia, yang dapat menyebabkan potensi pandemi, sangat tergantung pada cara penularannya.” Beberapa virus, seperti Ebola atau Nipah, memiliki kemampuan untuk ditularkan secara langsung dari satu manusia ke manusia lainnya, sehingga dalam teori, virus-virus ini berpotensi menyebar ke seluruh dunia selama masih terjadi interaksi manusia.

Virus Zika, awalnya ditemukan di hutan di Uganda pada abad ke-20, mampu menyebar secara global dan menginfeksi jutaan orang karena memiliki inang utamanya yaitu Aedes aegypti, jenis nyamuk yang banyak dijumpai di daerah perkotaan. Dr. Vittor menyatakan, “Saya merasa tidak nyaman membayangkan bahwa patogen lain atau lebih dari satu patogen memiliki potensi serupa, namun saat kita berhadapan dengan situasi seperti ini, adalah tindakan yang kurang bijak untuk mengabaikannya tanpa Memperhitungkan konsekuensinya.”

REFERENSI:

Chivian, E., & Bernstein, A. (2008). Sustaining Life: How Human Health Depends on Biodiversity. Oxford University Press.

Dobson, A., & Carper, R. (2020). Health in the Anthropocene: Understanding the Impact of Environmental Change on Infectious Diseases. Cambridge University Press.

Gottdenker, N. L., Streicker, D. G., Faust, C. L., & Carroll, C. R. (2014). Anthropogenic Land Use Change and Infectious Diseases: A Review of the Evidence. EcoHealth, 11(4), 619-632.

Laurance, W. F., & Peres, C. A. (2006). Emerging Threats to Tropical Forests. University of Chicago Press.

Mordecai, Erin & MacDonald, Andy. 2019. Amazon Deforestation drives Malaria Transmission, and malaria burden reduces Forest Clearing .Proceedings of the National Academy of Sciences, Stanford University, 116(44), 22212-22218.

Morse, S. S., Mazet, J. A., Woolhouse, M., Parrish, C. R., Carroll, D., Karesh, W. B., & Daszak, P. (2012). Prediction and Prevention of the Next Pandemic Zoonosis. The Lancet, 380(9857), 1956-1965.

Patz, J. A., Confalonieri, U. E., Amerasinghe, F. P., Chua, K. B., Daszak, P., & Tabor, G. M. (2004). Human Health: Ecosystem Regulation of Infectious Diseases. In: Millennium Ecosystem Assessment, Ecosystems and Human Well-being: Current State and Trends (pp. 391-415).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.