Kepunahan Massal Keenam
Kepunahan massal telah terjadi sebanyak lima kali selama bumi terbentuk, pada zaman akhir Ordovisium (sekitar 443 juta tahun yang lalu), Devonian (359 juta tahun yang lalu), Permian (sekitar 251 juta tahun yang lalu), akhir Trias (210 juta tahun yang lalu), dan akhir Cretaceous (sekitar 2,5 – kurang 1 juta tahun yang lalu). Pada zaman tersebut banyak spesies punah secara simultan akibat perubahan lingkungan, seperti pola perubahan suhu bumi menjadi ekstrem, global anoxia (menurunnya jumlah oksigen secara drastis), aktivitas vulkanik gunung berapi, tumbukan meteor besar, dan lain-lain (National Geographic Indonesia, 2019).
Biologis memperkirakan kepunahan massal selanjutnya, yaitu kepunahan keenam diperkirakan diakibatkan oleh aktivitas manusia (Benton, 2003). Intervensi manusia telah mengambil peran dalam penurunan keanekaragaman spesies selama 30.000 tahun terakhir. Hal tersebut ditunjukkan dengan terjadinya kepunahan beberapa spesies, salah satunya mamalia besar, seperti Mammoth, Mastodon, dan Wooly Rhinos. Sejak manusia mendominasi di Benua Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan, sekitar 74-86% megafauna mengalami kepunahan yang diakibatkan oleh perburuan dan hilangnya habitat akibat aktivitas pembakaran hutan dan padang rumput (Indrawan dkk, 2007).
Menurut United Nations Population Division (UNPD) pada tahun 2007, pertumbuhan jumlah populasi manusia akan meningkat secara eksponensial, peningkatan populasi diperkirakan sekitar 1,5 milyar (30%) pada 20 tahun terakhir. UNPD juga memperkirakan pada tahun 2050 populasi manusia akan meningkat hingga 7,8-10,8 miliar (Frankham dkk, 2002). Peningkatan jumlah populasi manusia dan faktor-faktor lain yang disebabkannya seperti kemiskinan, logging (pembalakan hutan), kebakaran, dan perburuan yang berlebihan (overhunting) menjadi ancaman terhadap keanekaragaman hayati (Indrawan dkk, 2007; Myers, 1987). Tanpa upaya konservasi yang serius, laju kepunahan akan terus meningkat. Ancaman kepunahan spesies lain menjadi ancaman juga bagi kelangsungan hidup manusia karena manusia bergantung pada lingkungan dan spesies lain untuk pemenuhan bahan baku, makanan, obat-obatan, dan bahkan untuk air minum (Indrawan dkk, 2007).
Kepunahan keenam diperkirakan akan berbeda dengan kelima kepunahan massal terdahulu. Pada saat itu kepunahan terjadi pada satu waktu yang singkat (Benton, 2003), sedangkan kepunahan yang diakibatkan oleh manusia dapat disebut sebagai kepunahan yang terhutang (extinction debt). Populasi-populasi kecil beberapa spesies tetap dapat bertahan dalam satu dekade atau bahkan seabad sampai pada akhirnya punah (Indrawan dkk, 2007). Bagi beberapa orang, kepunahan mungkin dipahami sebagai hal yang normal. Memang benar suatu spesies tidak akan bertahan selamanya, namun pemulihan siklus kehidupan setelah kepunahan massal membutuhkan waktu sekitar 10 juta tahun (Benton, 2003).
Penurunan Keanekaragaman Hayati dan Keruntuhan Ekosistem
Konservasi dilakukan bukan hanya sebatas agar keturunan manusia selanjutnya masih dapat melihat keanekaragaman spesies yang ada. Kepunahan suatu populasi/spesies dapat menimbulkan perubahan drastis pada vegetasi, keanekaragaman hayati, dan bahkan keruntuhan ekosistem. Kepunahan dapat merusak jaring-jaring makanan pada suatu ekosistem, sehingga spesies lain akan terpengaruh dan mengalami peningkatan atau penurunan jumlah populasi. Contoh kasus tersebut adalah punahnya Gray Wolf dan predator lainnya di Amerika Serikat akibat diburu oleh manusia mengakibatkan populasi rusa meledak.

Peningkatan populasi rusa berdampak pula pada peningkatan kebutuhan pangan, sehingga populasi berbagai spesies tumbuhan dan semak mengalami penurunan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan tersebut berdampak buruk pada herbivora, pollinator, dan bahkan rusa itu sendiri. Selain itu, kepunahan pada spesies kunci (keystone species), yaitu spesies yang mempunyai kemampuan mengubah lingkungan fisik atau “insinyur ekosistem” juga dapat menimbulkan serangkaian kepunahan yang saling berkaitan yang dikenal dengan istilah kepunahan beruntun (Indrawan dkk, 2007; McLaren dan Peterson, 1994). Kepunahan beruntun tersebut mengakibatkan degradasi ekosistem dan penurunan keanekaragaman hayati pada setiap tingkatan trofik (Indrawan dkk, 2007).
Genetika sebagai Solusi Konservasi
Manajemen utama pada penanganan hewan yang terancam punah adalah menekan laju kepunahan dan meningkatkan jumlah populasi (Frankham dkk, 2002). Kematian Iman, Badak Sumatera terakhir di Malaysia menjadi pelajaran bahwa beberapa hewan memang di ambang kepunahan dan harus ditindaklanjuti dengan lebih serius (The Conservation, 2019). Kemudian, tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi penyebab dari penurunan jumlah populasi spesies yang terancam punah. Diagnosa melalui analisis secara molekuler sangat membantu konservasi populasi hewan di alam. Analisis molekuler dapat menjawab pertanyaan, seperti apakah spesies/populasi yang terancam punah telah kehilangan keanekaragaman genetik?, apakah spesies/populasi yang terancam punah mengalami inbreeding depression?, dan apakah spesies/populasi yang terancam punah telah terfragmentasi? (Frankham dkk, 2002).
Adapun teknologi molekuler lainnya yaitu modifikasi genom, sedang dalam tahap pengembangan yang dicadangkan dapat menghilangkan mutasi berbahaya (mengatasi masalah penyakit genetik pada satwa liar) dan membantu konservasi. Modifikasi genom telah berhasil diterapkan pada monyet, sapi, dan nyamuk dalam kondisi laboratorium untuk keperluan medis dan agrikultur. Penyuntingan genom juga sudah dilirik sebagai opsi konservasi populasi terakhir musang berkaki hitam (Mustela nigripes) di Amerika dari penyakit mematikan. Apabila keanekaragaman genetik pada hewan yang terancam punah dapat dikontrol (gene drive), manusia dapat menurunkan laju kepunahan suatu spesies. Oleh karena itu, inventarisasi informasi genetik satwa liar, khususnya yang terancam punah sudah seharusnya ditingkatkan untuk meningkatkan efektivitas konservasi (The Conservation, 2019).
Genetika konservasi memang telah menjadi solusi baru untuk menyelesaikan masalah kepunahan pada hewan. Namun tetap diperlukan partisipasi semua pihak dari berbagai kalangan. Adanya genetika konservasi bukan menjadi alasan bagi manusia untuk tetap melakukan pengrusakan ekosistem dan melakukan perburuan berlebihan. Manusia masih mengemban tugas untuk menjaga habitat dan keberlangsungan spesies lain. Kemajuan teknologi yang pesat membutuhkan adaptasi regulasi yang tepat pula untuk mendukung pelaksanaan konservasi hewan.
Referensi
- Benton M, J. 2003. When Life Nearly Died: The Greatest Mass Extinction of All Time. London, Thames & Hudson: 336.
- Frankham, R., J. D. Ballou, D. A. Briscoe. 2002. Introduction to Conservation Genetics. New York, Cambridge University Press: xxi + 607.
- Indrawan, M., R. B. Primack, J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia: 626.
- National Geographic Indonesia: Inilah Lima Kepunahan Massal yang Pernah Dialami Bumi. 2019 [https://nationalgeographic.grid.id/read/131939253/inilah-lima-kepunahan-massal-yang-pernah-dialami-bumi?page=2]. Diakses pada 28 September 2020.
- The Conversation: Mengapa satwa langka rentan punah? Begini kata genetika. 2019. [https://theconversation.com/mengapa-satwa-langka-rentan-punah-begini-kata-genetika-129145]. Diakses pada 29 September 2020.
Ya Allah, semoga tidak ada kepunahan yang terjadi lagi. Umat manusia harus bergotong royong dan solid.