Tersesat dalam Scroll Tanpa Akhir (Infinite Scrolling): Mengapa Kita Terjebak dan Bagaimana Keluar Darinya

Bayangkan kamu membuka Instagram atau TikTok hanya untuk “cek sebentar” notifikasi, tapi tiba-tiba kamu sudah menghabiskan 1 jam scroll tanpa henti. Akhirnya kamu tutup aplikasinya dengan rasa menyesal. Kenapa bisa begitu?

Efek doomscrolling pada gen z

Bayangkan kamu membuka Instagram atau TikTok hanya untuk “cek sebentar” notifikasi, tapi tiba-tiba kamu sudah menghabiskan 1 jam scroll tanpa henti. Akhirnya kamu tutup aplikasinya dengan rasa menyesal. Kenapa bisa begitu?

Fenomena ini dikenal sebagai infinite scrolling—fitur di media sosial yang membuat konten terus bermunculan “tanpa batas” saat kita menggulir layar. Meski awalnya dirancang agar pengguna lebih mudah mengakses konten, fitur ini justru menjadi jebakan digital yang membuat kita sulit berhenti. Tim peneliti dari Universitas Ulm, Jerman, mencoba menjawab pertanyaan besar: Mengapa kita terjebak dalam pola scroll tanpa akhir, dan apa yang akhirnya membuat kita berhenti? Hasil penelitian tersebut diterbitkan di Proceedings of the 2023 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems dengan judul “The loop and reasons to break it: Investigating infinite scrolling behaviour in social media applications and reasons to stop”.

Infinite Scrolling: Si Penjebak Modern

Infinite scrolling hadir pertama kali sebagai pengganti sistem “klik halaman berikutnya” yang dulu lazim di website. Sekarang, hampir semua platform media sosial seperti TikTok, Instagram, Facebook, dan Twitter memakai fitur ini. Konten mengalir tak henti-henti, membuat pengguna seperti bermain mesin slot: kadang kita menemukan hal menarik, kadang tidak—dan itulah yang membuatnya adiktif.

Menurut sang pencipta fitur ini sendiri, Aza Raskin, infinite scrolling adalah sesuatu yang “tidak baik untuk kemanusiaan.” Bahkan dalam film dokumenter The Social Dilemma, Raskin mengaku menyesal menciptakannya.

Baca juga: Distopia Digital: Pergeseran Kehidupan dalam Bayang-Bayang Teknologi

Terjebak dalam ‘Loop’

Dalam studi yang dilakukan selama satu minggu terhadap 46 pengguna Android, peneliti mencatat lebih dari 6.000 sesi penggunaan media sosial. Mereka menemukan bahwa infinite scrolling menciptakan dua jenis “loop”:

  1. Outer Loop: kebiasaan membuka aplikasi media sosial secara berulang, tanpa niat khusus.
  2. Inner Loop: keterusan scroll dalam satu sesi yang membuat waktu terasa menguap.

Pengguna sering kali merasa “terhisap” ke dalam loop ini tanpa sadar, dan hanya berhenti karena suatu hal menghentikan mereka. Tapi apa sebenarnya yang membuat kita keluar dari loop ini?

Tiga Alasan Utama Kita Berhenti Scroll

Dari data dan kuisioner yang dikumpulkan, alasan orang berhenti menggunakan media sosial bisa dikategorikan ke dalam tiga kelompok besar:

  1. Faktor Dunia Nyata
    • Terganggu oleh orang lain, harus bekerja, makan, tidur, atau melakukan aktivitas lain di dunia nyata.
    • Contoh: “Anak saya minta jalan-jalan,” atau “Saya harus pergi kerja.”
  2. Faktor dari Perangkat
    • Aplikasi macet, konten sudah tidak menarik, atau masuk notifikasi dari aplikasi lain.
    • Contoh: “Bosan,” “Tidak ada konten baru,” atau “Aplikasi tiba-tiba tertutup.”
  3. Faktor Internal
    • Keinginan untuk berhenti, merasa bersalah, atau ingin melakukan hal lain.
    • Contoh: “Saya sadar sudah terlalu lama,” atau “Saya ingin tidur.”

Yang menarik, sebagian besar alasan keluar dari media sosial tidak datang dari aplikasinya sendiri, tapi dari konteks pengguna di dunia nyata.

Baca juga: Gerakan Melek Media Melalui Formula Lasswell

Scroll Membuat Kita Menyesal

Hasil studi menunjukkan bahwa sesi yang didominasi oleh infinite scrolling membuat pengguna merasa kurang senang setelahnya. Sebaliknya, sesi yang diisi dengan interaksi sosial atau menonton stories justru memberi rasa puas lebih tinggi.

Artinya, semakin pasif kita saat menggunakan media sosial (seperti hanya scroll), semakin besar kemungkinan kita merasa menyesal. Sesi yang penuh scroll juga cenderung lebih panjang dan tidak direncanakan—itulah yang membuat kita “jatuh ke lubang kelinci”.

Intervensi: Cara Membantu Pengguna Keluar dari Loop

Saat ini, solusi yang umum ditawarkan oleh aplikasi adalah pengingat waktu atau pembatasan durasi. Tapi peneliti menyarankan intervensi yang lebih cerdas dan kontekstual, misalnya:

  • Intervensi berbasis kebutuhan: Jika aplikasi tahu bahwa kamu biasanya tidur jam 11 malam, dan kamu masih scroll jam 12, aplikasi bisa memberi notifikasi seperti, “Waktunya tidur supaya kamu cukup istirahat besok.”
  • Intervensi berbasis niat awal: Jika kamu hanya ingin cek notifikasi tapi malah terus scroll, aplikasi bisa mengingatkan, “Kamu tadi hanya ingin cek pesan—mau berhenti sekarang?”
  • Intervensi personal: Karena setiap orang berbeda, solusi yang efektif harus memperhitungkan kebiasaan dan pola penggunaan unik tiap pengguna.

Kesimpulan: Saatnya Keluar dari ‘Loop’

Media sosial tak sepenuhnya buruk. Ia bisa memberi hiburan, informasi, bahkan koneksi sosial. Tapi fitur seperti infinite scrolling membuat kita mudah kehilangan kontrol dan waktu.

Penelitian ini membuka mata kita bahwa untuk menciptakan hubungan yang lebih sehat dengan media sosial, kita perlu memahami bukan hanya aplikasinya, tapi juga diri kita sendiri—apa yang kita cari, kenapa kita menggunakannya, dan kapan kita harus berhenti.

Langkah pertama? Sadar bahwa kita sedang berada di dalam ‘loop’. Langkah berikutnya? Keluar dari sana.


Referensi

Zayeni, S., Schwind, V., & Henze, N. (2023). The loop and reasons to break it: Investigating infinite scrolling behaviour in social media applications and reasons to stop. Proceedings of the 2023 CHI Conference on Human Factors in Computing Systems. https://doi.org/10.1145/3544548.3581042

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top