Experimental Advanced Superconducting Tokamak (EAST), yang sering dijuluki “Matahari buatan”, adalah sebuah perangkat canggih yang dikembangkan oleh para ilmuwan di Tiongkok. Alat ini merupakan jenis reaktor fusi nuklir eksperimental, yang dirancang untuk meniru proses luar biasa yang terjadi di inti Matahari.
Di dalam inti Matahari, energi dihasilkan melalui reaksi fusi nuklir—yaitu ketika atom-atom hidrogen bergabung menjadi helium dan melepaskan energi dalam jumlah besar. Proses ini sangat efisien dan tidak menghasilkan limbah berbahaya seperti pembangkit listrik tenaga nuklir konvensional, yang menggunakan reaksi fisi (pemecahan inti atom).
Dengan mencoba menciptakan kondisi ekstrem seperti panas dan tekanan tinggi yang ada di dalam Matahari, reaktor seperti EAST bertujuan untuk menghasilkan energi bersih, aman, dan hampir tidak terbatas. Jika berhasil dikembangkan secara komersial, teknologi ini bisa menjadi solusi jangka panjang untuk krisis energi global dan membantu mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi.
Dalam beberapa tahun terakhir, proyek reaktor fusi bernama EAST (singkatan dari Experimental Advanced Superconducting Tokamak) terus mencatat pencapaian luar biasa dalam bidang energi fusi nuklir. Fusi nuklir sendiri adalah proses menggabungkan inti-inti atom ringan, seperti hidrogen, menjadi inti yang lebih berat, dan dalam proses itu melepaskan energi yang sangat besar—mirip dengan cara matahari menghasilkan panas dan cahaya.
Prestasi terbaru EAST terjadi pada hari Senin, 20 Januari, ketika para ilmuwan berhasil mempertahankan kondisi plasma—yaitu gas panas bermuatan listrik yang menjadi bahan utama dalam reaksi fusi—pada suhu lebih dari 100 juta derajat Celsius selama 1.066 detik, atau sekitar 17 menit dan 46 detik. Suhu ini jauh lebih panas daripada inti matahari, yang hanya sekitar 15 juta derajat Celsius.
Keberhasilan ini menunjukkan peningkatan besar dibandingkan rekor sebelumnya pada Mei 2023, ketika plasma hanya bisa dipertahankan selama 403 detik. Kemampuan untuk menjaga plasma tetap stabil dalam waktu lama sangat penting karena merupakan salah satu tantangan utama dalam mengembangkan energi fusi sebagai sumber energi bersih dan tidak terbatas di masa depan.
Baca juga artikel tentang: Berapa Lama Matahari Akan Hidup? Jawaban Ilmiah Tentang Kehancurannya
EAST dan Masa Depan Energi Fusi: Menuju Sumber Energi Tak Terbatas
Reaktor bernama Experimental Advanced Superconducting Tokamak atau disingkat EAST, terus menunjukkan kemajuan luar biasa dalam riset energi fusi nuklir—sebuah teknologi yang berpotensi menjadi sumber energi bersih dan tak terbatas di masa depan. Salah satu pencapaian pentingnya terjadi pada 30 Desember 2021, ketika para ilmuwan berhasil menjaga plasma—zat berupa gas superpanas yang jadi bahan utama fusi—pada suhu 120 juta derajat Celsius selama 1.056 detik, atau hampir 18 menit.
Plasma pada suhu ekstrem ini sangat sulit dikendalikan, karena mirip seperti matahari mini di dalam reaktor. Namun, dalam eksperimen terbaru, EAST kembali melampaui rekornya sendiri dengan mempertahankan plasma bersuhu lebih dari 100 juta derajat selama 1.066 detik. Artinya, EAST kini memegang rekor dunia sebagai reaktor yang mampu menjaga kondisi plasma ultra-panas paling lama yang pernah tercatat dalam sejarah penelitian fusi nuklir.
Kemampuan ini sangat penting, karena semakin lama plasma bisa dipertahankan, semakin dekat kita dengan membuat reaksi fusi berlangsung stabil—langkah kunci menuju pembangkit listrik fusi yang nyata.
Keberhasilan ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan menuju pengembangan reaktor fusi sebagai sumber energi yang stabil, bersih, dan berkelanjutan untuk masa depan. Fusi nuklir menjanjikan energi dalam jumlah sangat besar tanpa menghasilkan limbah radioaktif jangka panjang seperti pada pembangkit tenaga nuklir konvensional. Namun, untuk bisa mewujudkannya, para ilmuwan harus mengatasi tantangan besar—salah satunya adalah mencapai dan mempertahankan suhu yang sangat tinggi.
Mungkin muncul pertanyaan: mengapa suhu di dalam reaktor fusi di Bumi harus jauh lebih panas dibandingkan inti Matahari, yang “hanya” sekitar 15 juta derajat Celsius?
Jawabannya berkaitan dengan perbedaan lingkungan. Di inti Matahari, tekanan gravitasi sangat besar—jutaan kali lebih kuat daripada di Bumi. Tekanan ini membantu memaksa partikel-partikel atom untuk saling bertabrakan dan menyatu, memicu reaksi fusi. Karena kita tidak bisa mereplikasi tekanan luar biasa itu di Bumi, para ilmuwan harus menggantinya dengan suhu yang jauh lebih tinggi. Suhu ekstrem ini membuat partikel-partikel bergerak sangat cepat, sehingga kemungkinan mereka bertabrakan dan menyatu menjadi lebih besar, memungkinkan reaksi fusi terjadi. Jadi, meskipun kondisinya berbeda, tujuannya sama: menciptakan energi dari penggabungan inti atom.
Di dalam bintang seperti Matahari, reaksi fusi nuklir terjadi secara alami. Hal ini dimungkinkan karena adanya tekanan gravitasi yang sangat besar—hasil dari massa bintang itu sendiri—yang menekan inti-inti atom hingga cukup dekat untuk bergabung. Karena tekanan ini sangat kuat, reaksi fusi bisa berlangsung pada suhu yang relatif “rendah” untuk skala kosmis, yaitu sekitar 15 juta derajat Celsius.
Namun, situasinya sangat berbeda di Bumi. Kita tidak memiliki cara untuk menciptakan tekanan sebesar itu di dalam reaktor buatan manusia. Akibatnya, untuk membuat inti-inti atom seperti hidrogen atau helium bisa menyatu (berfusi), para ilmuwan harus mengkompensasi kekurangan tekanan tersebut dengan cara lain—yaitu dengan menaikkan suhunya hingga jauh lebih tinggi dari suhu inti Matahari.
Dalam reaktor fusi, gas hidrogen dipanaskan menjadi plasma, yakni keadaan materi yang sangat panas dan bermuatan listrik. Ketika plasma mencapai suhu ekstrem—sering kali lebih dari 100 juta derajat Celsius—partikel-partikel di dalamnya bergerak sangat cepat. Kecepatan ini meningkatkan kemungkinan partikel bertabrakan dan menyatu, melepaskan energi dalam prosesnya. Inilah prinsip dasar dari fusi nuklir buatan yang sedang dikembangkan sebagai sumber energi masa depan yang bersih dan melimpah.
Menurut Song Yuntao, Direktur Institute of Plasma Physics (ASIPP), tantangan paling besar dalam menciptakan reaktor fusi yang benar-benar bisa digunakan sebagai pembangkit listrik adalah menjaga agar plasma tetap stabil dalam jangka waktu yang lama, dan melakukannya dengan efisiensi tinggi.
Plasma, yang merupakan gas superpanas dan bermuatan listrik, cenderung sangat tidak stabil. Ia bisa dengan mudah kehilangan energi atau bahkan “padam” jika tidak dikendalikan dengan tepat. Dalam eksperimen-eksperimen awal, plasma biasanya hanya bisa dipertahankan selama beberapa detik—itu pun dengan energi yang sangat besar. Tapi untuk bisa digunakan secara praktis dalam pembangkit listrik, reaktor fusi harus mampu menjaga kondisi plasma tetap stabil selama ribuan detik, atau dalam skala jam, dan harus dilakukan secara terus-menerus, bukan hanya dalam eksperimen singkat.
Dengan kata lain, tantangan utamanya bukan hanya mencapai suhu tinggi, tetapi juga bagaimana menjaga reaksi itu tetap berlangsung cukup lama dan cukup efisien agar energi yang dihasilkan lebih besar daripada energi yang digunakan—itulah kunci untuk membuat energi fusi benar-benar layak secara komersial.
China adalah salah satu negara yang terlibat dalam proyek kolaborasi internasional bernama ITER, singkatan dari International Thermonuclear Experimental Reactor. Proyek ambisius ini bertujuan untuk membangun reaktor fusi terbesar dan tercanggih di dunia, sebagai langkah besar menuju masa depan energi bersih yang tak terbatas. ITER bukan hanya proyek milik satu negara, melainkan kerja sama global yang melibatkan tujuh kekuatan besar: China, Uni Eropa, India, Jepang, Rusia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Tujuan utama ITER adalah membuktikan bahwa energi fusi bisa dijalankan dalam skala besar dan berkelanjutan, seperti layaknya pembangkit listrik komersial di masa depan. Awalnya, para peneliti menargetkan untuk menghasilkan plasma pertama—yakni tahap awal ketika reaksi fusi bisa dimulai—pada akhir tahun ini. Namun, seperti banyak proyek teknologi besar lainnya, pembangunan ITER menghadapi sejumlah tantangan teknis dan logistik yang menyebabkan penundaan.
Kini, target terbaru menyatakan bahwa ITER diharapkan mulai beroperasi dan menghasilkan plasma pada tahun 2034. Meski jadwalnya mundur, proyek ini tetap menjadi harapan besar dunia untuk menciptakan sumber energi baru yang ramah lingkungan, bebas emisi karbon, dan mampu memenuhi kebutuhan energi manusia dalam jangka panjang.
Hingga saat ini, eksperimen yang dilakukan oleh reaktor seperti EAST di Tiongkok, serta berbagai proyek fusi lainnya di seluruh dunia, memainkan peran penting dalam mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman teknis. Semua hasil dari eksperimen-eksperimen ini akan membantu menyempurnakan desain dan pengoperasian ITER, reaktor fusi internasional yang sedang dibangun di Prancis.
Tujuan dari semua upaya ini adalah untuk mengembangkan reaktor fusi yang benar-benar efisien dan dapat diandalkan sebagai pembangkit listrik. Jika ITER dan reaktor fusi lainnya berhasil, dunia akan memiliki akses ke sumber energi baru yang revolusioner: bersih karena tidak menghasilkan gas rumah kaca, aman karena tidak menimbulkan risiko ledakan atau limbah radioaktif jangka panjang, dan hampir tak terbatas karena bahan bakunya—seperti isotop hidrogen—tersedia melimpah di alam, termasuk di air laut.
Keberhasilan teknologi ini akan mengubah cara manusia memenuhi kebutuhan energinya, memungkinkan kita untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan memperlambat dampak perubahan iklim, sekaligus menyediakan energi yang cukup bagi generasi masa depan.
Baca juga artikel tentang: Rekor Baru! Parker Solar Probe Wahana Paling Dekat dengan Matahari dalam Sejarah
REFERENSI:
Fang, Linlin dkk. 2025. Model experiments to the conductivity of turn insulation of large fusion magnets during unmitigated quench. Fusion Engineering and Design 215, 114975.
Huaxia. 2025. China Focus: Key system of China’s next-generation “artificial sun” passes acceptance process. Xinhua: https://english.news.cn/20250309/26132f396c6f4a60b923e53f388514e9/c.html diakses pada tanggal 6 April 2025.
Zhang, Huapeng dkk. Research on ion cyclotron emission driven by deuterium–deuterium fusion-produced tritium ions on the Experimental Advanced Superconducting Tokamak. Nuclear Fusion 65 (2), 026057.