Krisis iklim telah terjadi secara menyeluruh di Bumi. Krisis iklim tentunya menjadi tanggung jawab setiap negara. Hal ini telah direalisasikan berdasarkan hasil Protokol Tokyo (1995) dan Paris Agreement (2019). Oleh karena itu, Indonesia mulai merancang dan melaksanakan ekonomi hijau melalui kegiatan perdagangan karbon, pajak karbon, teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan skema Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) terhadap hutan karbon Indonesia. Selain itu juga melalui kegiatan konversi bahan bakar alternatif.
CCS merupakan teknologi atas rangkaian proses yang terdiri dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage). CCS dapat dilakukan secara natural atau secara buatan. Secara natural dan sederhana, CCS dapat terjadi saat tanaman hijau melakukan fotosintesis. Namun, jumlah karbon dioksida yang diserap oleh tanaman hijau tidak banyak menyerap CO2 khususnya CO2 akibat pembukaan lahan atau proses produksi.
Selain implementasi CCS, implementasi REDD+ juga perlu menjadi perhatian produsen. REDD+ merupakan kegiatan mitigasi perubahan iklim yang terdiri dari program konservasi hutan, manajemen hutan pada tingkat global, nasional, dan sub-nasional. Implementasi CCS dan REDD+ berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi hijau dan perdagangan karbon.
Namun realita yang terjadi di Indonesia menunjukkan seolah terjadi ketidakseriusan dalam pelaksanaan ekonomi hijau. Hal ini dibuktikan seperti belum adanya metodologi perdagangan karbon yang terverifikasi dan mengacu kepada standar internasional yang membuat penghitungan pajak karbon akan terhambat. Pajak karbon berpotensi menurunkan kuantitas kegiatan penghasil emisi karbon. Disisi lain, jika pajak karbon sudah diterapkan keseluruhan, maka terdapat kemungkinan kegiatan perekonomian Indonesia menjadi terhambat.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui tantangan dan realita yang terjadi terhadap ekonomi hijau di Indonesia. Tujuannya agar meningkatkan kepedulian kita bersama, sehingga tercapainya kesejahteraan sosial dan lingkungan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Krisis iklim Bumi dan penyebab utamanya
Krisis iklim (climate crisis) merupakan suatu kondisi global yang mengacu pada perubahan ekstrem dalam jangka panjang terkait suhu dan pola cuaca. Kenaikan suhu bumi (global warming, sekarang global boiling) disebabkan banyaknya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, sehingga panas matahari terperangkap di Bumi. Gas rumah kaca terdiri dari gas CO2, CH4, CFC, SO2, NO, dan NO2 serta uap air. Krisis iklim telah benar-benar terjadi di Indonesia, saat ini dibuktikan dengan sering terjadinya perubahan cuaca yang ekstrem. Seperti, pagi hari cerah dan sore hujan deras semalaman.
Penyebab utama krisis iklim adalah ketidakseimbangan pada siklus karbon. Siklus karbon (carbon cycle), merupakan putaran karbon di Bumi. Dimana terjadi pembentukan dan pertukaran karbon pada setiap lapisan Bumi. Ketidak seimbangan pada siklus karbon ditandai dengan; 1) terlalu banyak karbon yang terperangkap di setiap lapisan Bumi, dan 2) ketidakmampuan reservoir karbon dalam menyerap dan menyimpan karbon.
Penyebab terlalu banyak karbon yang terperangkap di atmosfer, berasal dari kegiatan sehari-hari. Kegiatan yang dimaksud yaitu;
- Pembakaran bahan bakar fosil pada kendaraan bermotor
Seluruh reaksi pembakaran pada bahan bakar fosil pasti menghasilkan gas karbon. Rekor pelepasan karbon tertinggi dari pembakaran bahan bakar fosil, mencapai 36,8 miliar ton CO2 terjadi pada 2023.
- Pemakaian listrik yang berlebihan
Faktanya pemakaian listrik di Indonesia masih menghasilkan pelepasan karbon. Hal ini disebabkan hampir seluruh pembangkit listrik di Indonesia masih bersumber tenaga uap dari pembakaran minyak bumi (2%), gas bumi (18%) dan batubara (62%).
- Pemakaian pendingin ruangan
Penggunaan pendingin ruangan menghasilkan gas rumah kaca seperti; CFC (klorofluorokarbon) atau freon. Freon merupakan zat yang digunakan untuk menyerap panas dari udara, sehingga lokasi tersebut menjadi lebih dingin. Namun, apabila freon terlepas di atmosfer dapat menyebabkan pembentukan lubang pada ozon. Akibatnya panas matahari akan langsung masuk tanpa perlindungan.
Ekonomi Hijau di Indonesia
Dalam mengatasi laju pemanasan global, perlu dilakukan pengendalian pelepasan karbon ke atmosfer. Berbagai komitmen sudah dibuat oleh negara-negara dalam mengurangi pelepasan karbon. Diantaranya komitmen bersama pada Protokol Kyoto yang diadopsi tahun 1997 dan mulai berlaku pada 2005. Saat itu, Indonesia mengambil bagian menjadi negara Non-Annex I, yaitu negara yang tidak diwajibkan untuk memenuhi target pengurangan pelepasan karbon, melainkan hanya berkomitmen untuk berkontribusi dalam mengurangi pelepasan gas rumah kaca.
Kemudian dilanjutkan dengan Paris Agreement pada acara United Nation Framework Convention on Climate Change pada tahun 2019. Persetujuan Indonesia dituangkan dalam dokumen yang disebut dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang terbit pada tahun 2022. Dalam dokumen NDC tersebut, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi pelepasan karbon atau GRK sebanyak 29% di tahun 2030 pada level nasional, dan 41% pada level internasional. Kegiatan yang ditempuh Indonesia untuk mengurangi jumlah emisi karbon adalah ekonomi hijau.
Ekonomi hijau merupakan konsep pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, serta mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi. Diantaranya terdapat kebijakan perdagangan karbon, pajak karbon, teknologi CCS dan skema REDD+ pada hutan karbon serta penggunaan bahan bakar alternatif.
Hah?, Pajak Karbon?! Apa lagi ini?
Salah satu kegiatan ekonomi yang ditempuh oleh Indonesia berdasarkan Paris Agreement dan NDC adalah pajak karbon. Dalam UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pajak karbon (carbon tax) merupakan salah satu paket kebijakan komprehensif dalam memitigasi risiko perubahan iklim. Tujuan pajak karbon bukan untuk menambah pendapatan negara, tetapi menekan atau menurunkan pelepasan gas rumah kaca dari sumber emisi.
Secara umum, fungsi pajak merupakan sumber pendapatan negara yang membantu membayar pengeluaran untuk pembangunan dan operasi pemerintah sehari-hari yang terdiri dari fungsi mengatur, fungsi stabilitas, dan fungsi redistribusi. Adapun penerimaan pajak karbon dapat digunakan untuk;
- Menambah dana pembangunan (fungsi redistribusi)
- Investasi ramah lingkungan seperti konservasi hutan karbon (fungsi stabilitas)
- Dukungan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam bentuk bantuan sosial (fungsi mengatur)
Sedangkan sektor yang dikenai pajak karbon yaitu energi, limbah, kegiatan perindustrian, pertanian serta penggunaan hutan dan lahan.
Dalam UU No 7 Tahun 2021, diketahui bahwa subjek dari pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan kegiatan yang menghasilkan pelepasan karbon. Objek pajak karbon adalah barang yang mengandung dan menghasilkan karbon.
Setelah dituangkannya pajak karbon dalam UU HPP. Pajak karbon mulai diberlakukan sejak 1 April 2022 di Indonesia. Namun, sasaran pajak karbon baru diarahkan secara parsial kepada beberapa instansi penghasil pelepasan karbon (seperti PLTU Batubara) sepanjang tahun 2022. Sedangkan, sasaran pajak karbon secara pribadi dikenai pada pajak kendaraan bermotor yang telah dilaksanakan cukup lama. Mekanisme pengenaan pajak karbon di Indonesia menggunakan prinsip selisih batas emisi (cap and tax) dengan tarif Rp 30.000/tCO2e (kilogram karbon dioksida ekuivalen).
Pajak karbon dapat disetorkan oleh Wajib Pajak Karbon maupun Pemungut Pajak Karbon. Wajib Pajak Karbon wajib dilaporkan dalam bentuk dokumen SPT Masa Pajak Karbon setiap bulan dan SPT Tahunan Pajak Karbon setiap tahun secara berkala. SPT Masa Pajak Karbon dilaporkan oleh Wajib Pajak paling lama 20 hari setelah akhir Masa Pajak. Sedangkan, SPT Tahunan Pajak Karbon dilaporkan oleh Wajib Pajak paling lama 4 bulan setelah akhir tahun kalender.
Kegiatan sehari-hari yang berpotensi terkena Pajak Karbon!
Adapun kondisi saat terutang pajak karbon yaitu saat membeli barang yang mengandung karbon, dan akhir periode tahun kalender dari aktivitas menghasilkan pelepasan karbon dalam jumlah tertentu. Salah satu kegiatan harian yang telah dikenai pajak karbon yaitu berkendaraan. Terutama kendaraan pribadi dan perusahaan, baik itu kendaraan darat dan air. Hal ini tertuang pada UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta PP 73 Tahun 2019. Instrumen pungutan yang dimaksud memiliki esensi terkait dengan pengurangan pelepasan karbon seperti PPnBM Kendaraan Bermotor, Pajak Kendaraan Bermotor, BBNKB, dan Pajak Bahan Bakar.
Bahkan PPnBM pada kendaraan bermotor, sangat tergantung dengan tingginya pelepasan CO2 yang dihasilkan. Apabila kadar pelepasan CO2 suatu kendaraan bermotor rendah, maka PPnBM yang dikenakan juga semakin rendah. Nominal terendah PPnBM hanya dimiliki oleh kendaraan listrik.
Lalu, kegiatan sehari-hari seperti apa yang berpotensi terkena pajak karbon?
Dari sektor energi, kegiatan yang berkaitan pembelian dan penggunaan alat elektronik seperti air conditioner, laptop, smartphone dan smart television, bisa jadi terkena pajak karbon. Bisa jadi, kegiatan jual-beli online nantinya juga akan terkena pajak karbon. Hal ini disebabkan kegiatan ini masuk dalam sektor energi dan transportasi.
Bahkan dari sektor pertanian dan pangan. Konsumsi beras yang semakin meningkat bisa berpotensi terkena pajak karbon. Mengingat penanaman dan panen tanaman padi pasti menghasilkan biomassa, yang menumpuk menjadi sampah. Kegiatan rumah tangga seperti memasak, dan mencuci menggunakan mesin juga kemungkinan dapat dikenai pajak karbon.
Bagaimana cara membuktikan, bahwa kegiatan sehari-hari kita menghasilkan karbon?
Perhitungan pajak karbon dilakukan berdasarkan data dan dokumen dalam kegiatan pencatatan. Adapun data yang dimaksud adalah jejak karbon. Jejak karbon merupakan ukuran yang menunjukkan jumlah karbon yang dilepas ke atmosfer akibat aktivitas manusia. Alat yang digunakan dalam menghitung jejak karbon yaitu alat uji ambien gas, alat monitoring emisi berkelanjutan, alat monitoring gas pembakaran, dan/atau alat ukur konsentrasi gas. Secara sederhana, penggunaan kalkulator karbon juga dapat digunakan untuk keperluan industri rumah tangga atau kegiatan sehari-hari.
Anda, dapat menghitung jejak karbon kegiatan sehari-hari melalui website berikut: https://m.lindungihutan.com/imbangi/jejak-karbon/electric-equipment
Tantangan dan realita pada Pajak Karbon
Beberapa Negara maju seperti Prancis, Spanyol, Kolombia, Singapura dan Jepang telah memberlakukan pajak karbon secara intensif. Dimana, Prancis adalah Negara dengan nilai pajak karbon tertinggi yaitu 49 USD$/tCO2e. Diketahui bahwa nilai harga pajak karbon Indonesia adalah paling rendah di Dunia. Jika dilihat dari timeline, Indonesia akan memberlakukan pajak karbon pada berbagai sektor pada 2025 mendatang.
Jika kita melihat ‘realita’ negeri ini, tentu semua berpendapat bahwa pajak karbon pastinya akan ‘memberatkan’ berbagai lapisan rakyat. Salah satu contohnya adalah kenaikan pajak bahan bakar. Berbagai kasus kenaikan bahan bakar pasti menyebabkan inflasi dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sejatinya pengenaan pajak karbon untuk pemanfaatan bahan bakar fosil kontradiktif dengan kenyataan, bahwa pemerintah masih memberikan subsidi bahan bakar.
Lalu, bagaimana jika hampir semua kegiatan sehari-hari diberlakukan pajak karbon? Pastinya, akan memunculkan jeritan dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, jika tidak diterapkan maka krisis iklim tidak dapat terkendali. Selain itu tidak terwujudnya ekonomi hijau di Indonesia.
Perlu diketahui bahwa pajak karbon belum ditetapkan untuk seluruh sektor pemberlakuannya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena beban terbesar dalam penanggulangan perubahan iklim adalah sektor penggunaan hutan dan lahan. Sedangkan beban energi ada di posisi kedua. Oleh karena itu, beban pajak karbon saat ini diberikan intens pada tingkat internasional. Indonesia memberikan tawaran ‘hutan karbonnya’ sebagai subjek yang memitigasi iklim Bumi dengan sangat baik.
Referensi
Barus, E.B., dan Wijaya, S., 2022, PAJAK KARBON: BELAJAR DARI SWEDIA DAN FINLANDIA, CV. Adanu Abimata, Jawa Barat.
Dey, S.P., and Sepay, N., 2021, A Textbook of Green Chemistry, 1st edition, Techno World, Kolkata.
Envilife.co.id., 2022, Pengertian, Fungsi dan Jenis Alat Uji Emisi. Diakses pada 08/06/2024, melalui: https://envilife.co.id/pengertian-fungsi-dan-jenis-alat-uji-emisi/
Gunarso, P., 2024, PAJAK KARBON; Peluang dan Tantangannya, [Slide PPT], disampaikan melalui Webinar HIMNI pada Kamis, 5 Juni 2024.
Burhan, I., Den Ka, V. S., Ilham, I., Sari, S. N., & Arifin, R. (2024). PENGARUH RAZIA LAPANGAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DALAM MENUNJANG PENCAPAIAN TARGET PADA UPTP SAMSAT WILAYAH GOWA. Jurnal Analisa Akuntansi dan Perpajakan, 8(1), 78-89.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, 2009, Carbon Capture and Storage (3): Sistem Penangkapan CO2, https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/carbon-capture-and-storage-3-sistem-penangkapan-co2 diakses pada 27/06/2024.
Kresnomurti, Bimo, 2023, Apa itu Carbon Capture and Storage? Sejarah, Fungsi, dan Perkembangan di Indonesia. https://caritahu.kontan.co.id/news/apa-itu-carbon-capture-and-storage-sejarah-fungsi-dan-perkembangan-di-indonesia#google_vignette diakses pada 27/06/2024.
Kumparan.com., 2021, Paris Agreement & Pencapaian Indonesia dalam Mengatasi Isu Climate Change. Diakses pada 08/06/2024, melalui: https://kumparan.com/solar-kita/paris-agreement-and-pencapaian-indonesia-dalam-mengatasi-isu-climate-change-1wOq9CGxh9C
Kompas.com., 2022, Mengenal Pajak Karbon di Indonesia dan Perhitungannya. Diakses melalui: https://money.kompas.com/read/2022/07/19/160243026/mengenal-pajak-karbon-di-indonesia-dan-perhitungannya#google_vignette , pada 08/06/2024.
Lindungi Hutan. Electric Equipment. https://m.lindungihutan.com/imbangi/jejak-karbon/electric-equipmen diakses pada 08/07/2024.
Nathalia, Telly, 2023, Pasar Karbon Indonesia untuk Siapa? https://www.dw.com/id/pasar-karbon-indonesia-untuk-siapa/a-67243508 diakses pada 27/06/2024.
Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.Â
Tampubolon, R.M., 2022, Perdagangan Karbon: Memahami Konsep dan Implementasinya, Standar: Better Standard Better Living, 1(3), 25-29.