Neurosemiotika Digital: Bagaimana AI Bisa Membentuk Ulang Cara Manusia Menulis

Dalam sebuah studi gabungan yang dilakukan oleh para peneliti dari University of East Anglia di Inggris dan Jilin University di Tiongkok, para ilmuwan membandingkan dua jenis tulisan: 145 esai yang dibuat oleh mahasiswa dan 145 esai yang dihasilkan oleh ChatGPT, sebuah model kecerdasan buatan. Hasilnya cukup mengejutkan. Meskipun tulisan AI memiliki struktur kalimat yang rapi dan hampir tidak ada kesalahan tata bahasa, para penilai menilai bahwa tulisan manusia terasa lebih "hidup."

Dalam waktu lima tahun ke depan, cara kita menulis kemungkinan besar akan terlihat sangat berbeda dibandingkan sekarang. Perubahan ini bukan terjadi karena manusia tiba-tiba berubah secara drastis, melainkan karena munculnya “pemain baru” dalam dunia tulis-menulis: kecerdasan buatan, atau dalam bahasa Inggris disebut Artificial Intelligence (AI).

AI adalah sistem komputer yang dirancang untuk meniru cara berpikir dan belajar manusia. Teknologi ini semakin pintar dari waktu ke waktu, dan kini sudah mampu membantu bahkan menghasilkan tulisan dengan cara yang mengesankan.

Karena kemajuan ini, para ilmuwan dan ahli bahasa mulai bertanya-tanya: apakah kehadiran mesin-mesin pintar ini akan mengubah cara manusia menulis? Apakah suatu hari nanti mesin bisa menulis lebih baik daripada manusia itu sendiri?

Penulisan dan Otak Manusia: Hubungan Simbiotik Antara Pikiran dan Bahasa

Manusia bisa menulis karena otaknya memiliki sistem biologis yang sangat kompleks. Bagian-bagian otak seperti area Broca dan Wernicke berperan penting dalam kemampuan kita untuk membentuk kalimat, memahami kata-kata, dan menyampaikan pikiran dalam bentuk bahasa. Menulis bukan sekadar menyusun huruf menjadi kata, atau kata menjadi kalimat tulisan manusia adalah hasil dari gabungan emosi, logika, pengalaman hidup, dan bahkan intuisi yang sulit dijelaskan.

Di sisi lain, kecerdasan buatan (AI) tidak memiliki otak seperti manusia. AI bekerja menggunakan apa yang disebut jaringan saraf tiruan, sebuah sistem komputasi yang terinspirasi dari cara kerja otak manusia, tapi sebenarnya hanyalah serangkaian rumus matematika dan algoritma.

Misalnya, model seperti ChatGPT belajar dari miliaran kata yang tersedia di internet. Ia mampu mengenali pola dalam bahasa, seperti struktur kalimat atau kata-kata yang sering muncul bersama. Namun, tidak seperti manusia, AI tidak benar-benar “merasakan” makna dari kata-kata itu. Ia tidak memahami emosi di balik sebuah puisi, atau pengalaman hidup yang tergambar dalam cerita. AI hanya menebak apa kata selanjutnya berdasarkan data yang pernah ia pelajari, tanpa kesadaran atau perasaan.

Baca juga artikel tentang: Ketika AI Membantu Mengatur Keuangan: Inovasi di Era Digital

Riset Terbaru: Manusia vs. Mesin di Ruang Kelas

Dalam sebuah studi gabungan yang dilakukan oleh para peneliti dari University of East Anglia di Inggris dan Jilin University di Tiongkok, para ilmuwan membandingkan dua jenis tulisan: 145 esai yang dibuat oleh mahasiswa dan 145 esai yang dihasilkan oleh ChatGPT, sebuah model kecerdasan buatan. Hasilnya cukup mengejutkan. Meskipun tulisan AI memiliki struktur kalimat yang rapi dan hampir tidak ada kesalahan tata bahasa, para penilai menilai bahwa tulisan manusia terasa lebih “hidup.”

Apa yang dimaksud dengan lebih hidup? Tulisan manusia dinilai mengandung unsur-unsur khas yang sulit ditiru oleh mesin, seperti humor, empati, refleksi pribadi, dan sudut pandang yang unik. Dengan kata lain, ada sentuhan manusia didalamnya, sesuatu yang membuat pembaca bisa merasakan emosi atau memahami perspektif si penulis.

Dari kacamata ilmu kognitif, bidang yang mempelajari bagaimana pikiran dan otak bekerja, temuan ini sebenarnya masuk akal. Saat menulis, manusia tidak hanya menggunakan logika, tetapi juga mengandalkan pengalaman inderawi (apa yang kita lihat, dengar, rasakan) dan emosi (seperti senang, sedih, marah, atau haru). Inilah yang membuat tulisan manusia terasa personal dan penuh makna.

Sebaliknya, AI seperti ChatGPT menulis dengan pendekatan yang sangat berbeda. Ia bekerja secara prediktif: ia tidak memahami arti kata-kata seperti manusia, melainkan hanya menebak kata mana yang paling mungkin muncul selanjutnya berdasarkan pola-pola dalam data teks yang pernah dipelajarinya. Jadi, meskipun tulisannya bisa tampak pintar, AI sebenarnya tidak merasakan apa pun saat menulis.

Evolusi Gaya Menulis: Adaptasi atau Asimilasi?

Saat teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) semakin banyak digunakan dalam dunia tulis-menulis, gaya menulis manusia juga mulai mengalami perubahan. Pertanyaannya: apakah kita sedang beradaptasi dengan alat baru ini, yaitu menyesuaikan gaya kita agar selaras dengan teknologi atau justru kita mulai kehilangan ciri khas manusia dalam tulisan karena terlalu banyak bergantung pada mesin?

Adaptasi berarti kita memanfaatkan AI untuk mendukung kreativitas kita: misalnya, menggunakan AI sebagai asisten dalam menulis draft awal, menyusun ide, atau memperbaiki tata bahasa, tapi tetap mempertahankan suara dan gaya personal kita. Sementara itu, asimilasi berarti kita mulai mengubah cara menulis kita agar menyerupai gaya mesin, seragam, netral, dan efisien, tapi mungkin kehilangan kehangatan, humor, dan emosi yang membuat tulisan terasa manusiawi.

Dengan kata lain, kita sedang berada di titik kritis: apakah AI akan menjadi alat bantu yang memperkuat kemampuan menulis kita, atau justru membuat tulisan-tulisan manusia kehilangan sentuhan uniknya?

Baca juga artikel tentang: 6 Cara Menghapus Aplikasi / Software di Macbook Anti Ribet dan Anti Gagal

Neurolinguistik AI: Apa yang Mesin Tidak Bisa Lakukan (Belum)?

Dari sudut pandang ilmu neurolinguistik (ilmu yang mempelajari hubungan antara otak dan bahasa) dan semiotika (ilmu tentang tanda dan makna), ada beberapa hal mendasar yang hingga kini belum bisa dilakukan oleh kecerdasan buatan (AI), terutama dalam konteks menulis dan memahami bahasa seperti manusia.

Pertama, AI tidak bisa merasakan. Berbeda dengan manusia yang memiliki sistem saraf dan otak, termasuk bagian emosional yang disebut sistem limbik. AI tidak memiliki tubuh, pancaindra, atau emosi. Jadi, ia tidak bisa benar-benar merasakan hal-hal seperti takut, cinta, rindu, atau nostalgia. Semua emosi yang muncul dalam tulisan AI hanya hasil dari peniruan, bukan pengalaman nyata.

Kedua, AI tidak punya niat atau tujuan sendiri. Setiap tulisan yang dibuat manusia biasanya lahir dari sebuah maksud: ingin menyampaikan pesan, membujuk, mengekspresikan diri, atau menjawab persoalan sosial dan budaya tertentu. Sementara itu, AI hanya menulis karena disuruh, sesuai dengan perintah atau pemrograman yang diberikan manusia. Ia tidak memiliki kesadaran diri atau keinginan pribadi.

Ketiga, AI masih kesulitan memahami dan menciptakan metafora yang kompleks. Metafora, yaitu cara membandingkan dua hal berbeda untuk menyampaikan makna yang lebih dalam, seringkali berkaitan dengan budaya, sejarah, atau emosi manusia. Hal serupa juga berlaku untuk ironi atau sindiran halus. Bagi AI, ini adalah tantangan besar karena maknanya sering tersembunyi dan tidak bisa ditebak hanya dari pola kata-kata saja.

Namun demikian, kemampuan AI dalam meniru gaya manusia terus berkembang. Berbagai alat bantu, seperti humanizer (alat untuk membuat teks terdengar lebih alami) dan rephraser (alat untuk mengubah susunan kata), dapat digunakan untuk menyempurnakan tulisan AI agar terdengar seolah-olah ditulis oleh manusia.

Tapi di sinilah muncul pertanyaan penting: jika sebuah teks terdengar seperti tulisan manusia, apakah itu berarti AI benar-benar menjadi manusiawi? Atau kita hanya sedang melihat tiruan yang semakin meyakinkan, namun tetap tanpa jiwa di baliknya?

Kolaborasi Kognitif: AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti

Dalam dunia ilmu pengetahuan, tujuan utama kita bukanlah menggantikan manusia dengan mesin, tetapi meningkatkan kemampuan manusia melalui bantuan teknologi. Contohnya bisa kita lihat pada kalkulator: alat ini tidak mengambil alih kemampuan kita dalam berpikir atau berhitung, melainkan membantu kita menyelesaikan perhitungan dengan lebih cepat dan akurat. Prinsip yang sama bisa diterapkan pada penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam menulis.

Alih-alih melihat AI sebagai pesaing, kita bisa memposisikannya sebagai mitra kreatif, semacam asisten digital yang mendukung proses berpikir dan berkarya. Misalnya:

AI bisa digunakan untuk menyusun draf awal dari sebuah tulisan, menyusun kalimat, menyarankan struktur, atau memberi ide awal. Setelah itu, manusia masuk untuk menambahkan sentuhan emosional, opini pribadi, atau gaya bahasa yang khas, sehingga tulisan menjadi lebih hidup dan bermakna.

AI juga dapat digunakan untuk mencari dan merangkum referensi ilmiah dari berbagai sumber dengan cepat. Namun, tugas untuk mengevaluasi kualitas informasi, menafsirkan makna, dan mengaitkannya dengan konteks yang lebih luas tetap menjadi tanggung jawab manusia.

Dengan pendekatan kolaboratif ini, kita tidak perlu khawatir kehilangan suara manusia dalam tulisan. Justru, teknologi bisa membantu memperkuat keunikan tersebut dengan meningkatkan efisiensi dan memperluas wawasan. Teknologi dan kemanusiaan tidak harus saling meniadakan, mereka bisa saling melengkapi.

Masa Depan: Menuju Ekosistem Penulisan Hybrid

Dalam lima tahun ke depan, cara kita menulis kemungkinan besar akan mengalami perubahan yang bersifat evolutif, yaitu perubahan bertahap yang mengikuti perkembangan zaman. Gaya menulis baru ini mungkin bisa disebut sebagai penulisan hibrida (hybrid writing), sebuah perpaduan antara kreativitas manusia dan kecepatan serta efisiensi dari kecerdasan buatan (AI).

Dalam praktiknya, ini berarti manusia tetap memegang kendali atas ide, emosi, dan pesan utama dalam tulisan, sementara AI membantu mempercepat proses, menyusun struktur, atau menyederhanakan bahasa. Tren ini sebenarnya sudah mulai terlihat dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, jurnalisme, dan pemasaran digital, di mana penggunaan teknologi otomatis semakin umum, namun tetap disertai usaha untuk menjaga sentuhan personal agar tidak terasa dingin atau impersonal.

Namun, di balik potensi tersebut, ada pula sejumlah tantangan etis dan sosial yang perlu kita pikirkan bersama. Misalnya:

Apakah siswa akan menggunakan AI untuk menulis tugas sekolah tanpa benar-benar belajar dan memahami materi? Ini bisa menurunkan kualitas pembelajaran dan mengaburkan batas antara kejujuran akademik dan ketergantungan teknologi.

Apakah profesi seperti jurnalis akan terancam digantikan oleh mesin yang bisa menulis berita secara otomatis? Ini bisa berdampak pada lapangan pekerjaan dan integritas informasi publik.

Namun di sisi lain, perubahan ini juga bisa melahirkan profesi-profesi baru yang sebelumnya tidak ada, seperti AI editor (orang yang mengkurasi dan memperbaiki hasil tulisan AI agar sesuai dengan nilai-nilai manusia) atau konten semi-otonom (konten yang dibuat sebagian oleh AI dan sebagian oleh manusia).

Dengan kata lain, dunia penulisan sedang bergerak ke arah baru yang menarik, penuh potensi, tapi juga membutuhkan tanggung jawab dan kebijaksanaan dalam menggunakannya.

Kecerdasan buatan (AI) tidak akan sepenuhnya menggantikan manusia dalam kegiatan menulis. Setidaknya, tidak dalam arti yang utuh atau total. Tulisan manusia lebih dari sekadar susunan kata; ia mencerminkan pikiran, emosi, pengalaman, dan nilai-nilai yang unik bagi setiap individu. Namun demikian, AI tetap akan berperan besar dalam membentuk masa depan menulis. Ia bisa menjadi cermin, karena membuat kita menyadari apa yang membuat tulisan manusia begitu khas. Ia juga menjadi tantangan, karena mendorong kita berpikir lebih kritis tentang apa yang ingin kita sampaikan. Dan tentu saja, AI adalah alat baru yang bisa membantu, mempercepat, dan memperkaya proses menulis jika digunakan dengan bijak.

Perubahan besar ini bisa dibandingkan dengan revolusi mesin cetak ratusan tahun lalu. Ketika mesin cetak ditemukan, cara manusia menyebarkan informasi berubah secara drastis. Demikian pula, kehadiran AI sekarang mulai mengubah cara kita menciptakan dan membagikan tulisan. Jadi, pertanyaannya bukan lagi “Apakah AI akan menggantikan manusia?” karena itu bukan fokus utamanya. Pertanyaan yang lebih penting sekarang adalah: “Bagaimana manusia akan beradaptasi dengan keberadaan AI dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menulis?”

Di era digital seperti sekarang, tulisan tidak hanya soal memilih kata yang tepat. Lebih dari itu, tulisan juga menyampaikan siapa yang berbicara, kepada siapa ia berbicara, dan untuk tujuan apa. Identitas penulis, hubungan dengan pembaca, serta konteks sosial dan budaya di balik tulisan menjadi semakin penting. Dalam dunia yang dibanjiri informasi, termasuk yang dihasilkan oleh mesin, tulisan manusia yang otentik dan bermakna justru menjadi semakin berharga.

Baca juga artikel tentang: How Artificial Intelligence is Revolutionizing Education in Indonesia

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top