Konsep Biorefinery, Sebenarnya Apa Sih?

Mungkin banyak dari kalian yang sudah mendengar konsep atau kata biorefinery, terutama teman-teman yang berasal dari jurusan semisal Teknologi Bioproses, […]

DiagramDescription automatically generated

Mungkin banyak dari kalian yang sudah mendengar konsep atau kata biorefinery, terutama teman-teman yang berasal dari jurusan semisal Teknologi Bioproses, Teknik Lingkungan, atau Teknik Kimia. Tapi memang apa sih maknanya biorefinery ini? Memangnya bisa jadi masa depan industri Indonesia? Yuk kita cek sama-sama 🙂

Biorefinery dan Industri Proses

Industri proses di Indonesia termasuk penopang ekonomi terbesar bangsa kita. Bisa dilihat contohnya industri petrokimia, semen, dan pupuk menjadi industri besar yang berkontribusi nyata pada PDB alias Produk Domestik Bruto dari Indonesia hingga mencapai 2,9% [1].

Salah satu konsep industri proses yang saat ini berkembang adalah konsep biorefinery atau bisa kita sebut juga kilang hayati. Lah berarti harusnya mirip-mirip dengan konsep kilang minyak (petrorefinery) ya? Kemudian apa bedanya dong?

Sebenarnya perbedaannya hanya pada bahan bakunya saja. Jika petrorefinery mengandalkan minyak bumi sebagai platform untuk menghasilkan ragam produk, biorefinery menggunakan bahan baku berupa biomassa untuk dijadikan beragam produk, seperti yang kamu bisa lihat pada Gambar 1.

Diagram Description automatically generated
Gambar 1. Skema biorefinery yang mirip dengan petrorefinery [2]

Secara umum, terdapat tiga kata kunci yang dapat menjelaskan biorefinery, yaitu meminimalkan limbah, mengoptimalkan bahan baku, dan memaksimalkan keuntungan dari biomassa itu sendiri. Mungkin dari teman-teman hanya melihat hal ini merupakan pergeseran paradigma saja ya? Namun, hal ini membawa perubahan besar lho pada industri proses. Salah satu sebabnya adalah konsep keberlanjutan dari biorefinery dan siklus dari biorefinery yang jauh lebih cepat dibandingkan dengan petrorefinery yang siklus alaminya terjadi berjuta tahun lamanya dari bahan bakunya yaitu fosil menjadi minyak bumi yang dapat digunakan.

Namun, bagaimana sih aplikasi konsep biorefinery ini secara nyata?

Aplikasi Konsep Biorefinery di Indonesia

Secara konsep, aplikasi biorefinery sangat mudah, terutama di Indonesia sebagai salah satu negara pertanian terbesar di dunia. Limbah pertanian yang mengandung lignoselulosa (sumber karbon kedua paling melimpah di muka bumi [3]) memiliki potensi yang sangat besar untuk dijadikan produk bernilai tambah, seperti contohnya building blocks.

Building blocks merupakan senyawa-senyawa dasar yang bermanfaat untuk memproduksi senyawa kimia lain yang lebih kompleks dan memiliki fungsi tertentu, misalnya pelarut industri, pemanis, dan masih banyak hal lainnya, yang selama ini masih berasal dari hasil kilang minyak bumi. Contoh senyawa yang termasuk building blocks beserta pemanfaatannya bisa kamu lihat di Gambar 2. Selain itu, banyak senyawa kimia berharga atau fine chemicals yang hanya bisa diekstrak dari tanaman atau makhluk hidup tertentu, misalnya madu dan propolis.

Diagram Description automatically generated
Gambar 3. Skema biorefinery yang melibatkan integrasi lebah pada perkebunan kopi [4]

Hah? Madu dan propolis melalui penerapan konsep biorefinery? Pada dasarnya, biorefinery merupakan integrasi sistem proses yang melibatkan makhluk hidup, sebagai aktor utama dalam sistem produksi sehingga memungkinkan untuk merancang desain proses berbasis biorefinery, seperti pada Gambar 3.

Diagram, schematic Description automatically generated
Gambar 3. Skema biorefinery yang melibatkan integrasi lebah pada perkebunan kopi [5]

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat integrasi lebah tanpa sengat dan kebun kopi dalam menghasilkan multiproduk, yaitu madu, propolis, kopi dan cascara. Cascara sendiri merupakan produk bernilai tambah yang berasal dari kulit buah kopi dan bermanfaat sebagai minuman herbal kaya antioksidan

Desain proses ini juga memiliki valuasi ekonomi yang kompetitif dengan industri lain, dan berpotensi untuk menghasilkan profit hingga USD 50,000. dalam waktu lima tahun, yang berasal dari skema multiproduk. Skema multiproduk memiliki keunggulan yang berujung pada naiknya pendapatan petani kopi, terlebih apabila melihat sistem konvensional dengan hanya kebun kopi yang menghasilkan kopi. Skema multiproduk dapat tercipta hanya dengan menambahkan lebah di dalam sistem produksinya. Sangat menarik bukan?

Namun hal ini bukannya tanpa tantangan.

Fajar Industri Berbasis Biorefinery

Konsep baru berupa biorefinery ini memang terlihat menjanjikan, apalagi konsep ini sangat mendukung konsep industri yang berkelanjutan. Namun pada praktiknya, industri biorefinery masih membutuhkan banyak penerapan lapangan agar terbukti menghasilkan profit yang menarik minat pengusaha agar beralih menuju ekonomi berbasis biomassa, selagi menerapkan prinsip berkelanjutan untuk memerangi “bencana” terbesar yang akan datang, yakni perubahan iklim yang semakin dipercepat dengan merebaknya industrialisasi yang tidak mendukung prinsip berkelanjutan.

Seiring orang sadar dengan prinsip keberlanjutan yang juga menjadi tujuan Sustainable Development Goals yang dicanangkan PBB, industri berbasis biorefinery juga semakin jamak. Magalarva, perusahaan pengolah sampah organik dengan menggunakan larva lalat tentara hitam menjadi multiproduk yang bernilai tinggi, menjadi salah satu pionir dalam pengembangan industri biorefinery yang bertujuan membuat closed-loop dalam pengolahan sampah yang bernilai tambah.

Meski demikian, masih diperlukan para pebisnis dengan paradigma biorefinery supaya paradigma ini tidak hanya menjadi fajar penebar optimisme, namun gagal secara praktikal ataupun tidak mampu berkompetisi dengan industri lain. Jelas banyak tantangannya, namun tentu menghadirkan banyak peluang di masa depan, baik dalam ranah lokal, regional ataupun internaional.

Bagaimana? Tertarik untuk menjadi bagian dari solusi berkelanjutan dengan biorefinery?

Referensi

[1] Gozan, M. (2015). Pengantar Teknologi Bioproses. Jakarta : PT.Erlangga.

[2] Wenger, J., Stern, T., Schoggl, J. P., Ree, R., Corato, U., Bari, I., … & Stichnothe, H. (2018). Natural fibers and fiber-based materials in biorefineries: status report 2018. IEA Bioenergy.

[3] Boerjan, W., Ralph, J., & Baucher, M. (2003). Lignin biosynthesis. Annual review of plant biology54(1), 519-546.

[4] https://www.epfl.ch/labs/bpe/research/bioenergy/biorefineries/

[5] Adam, A., Hakim, M. N., Oktaviani, L., Inderaja, B. M., Manurung, R., Putra, R. E., & Abduh, M. Y. (2020). TECHNO-ECONOMIC EVALUATION FOR INTEGRATED CULTIVATION OF COFFEE AND STINGLESS BEES IN WEST JAVA, INDONESIA: INTEGRATED CULTIVATION OF COFFEE AND STINGLESS BEES. Biological and Natural Resources Engineering Journal3(1), 28-36.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top