Inovasi Frugal pada Proses Pengeringan Jagung untuk Tingkatkan Efisiensi Pabrik

Aplikasi model proses pada pengeringan jagung untuk meningkatkan industri pengolahan pakan ternak

blank

“Jadi begini pak calon insinyur, masalahnya adalah di sistem pengeringan kami. Kami masih mencari metode pengeringan yang lebih baik untuk jagung-jagung kami, karena apabila tidak mencapai standar untuk produksi, jagung tersebut akan dikembalikan lagi ke silo (tempat penampungan jagung) agar lebih lembab dan seterusnya dapat dikeringkan lagi”. Ujar supervisor.

“Wah berarti butuh ruang dan bahan bakar buat pengeringan lagi ya pak?”

“Betul pak, jadi inefisiensi dan rugi kan, ini yang kami sedang cari caranya agar lebih efisien

***

Setelah sekian lama bergumul dengan teori, akhirnya penulis yang merupakan calon insinyur menghadapi masalah nyata di industri, untuk mengefisiensikan proses. Sebagai calon insinyur, ia diharapkan mampu mengoptimalkan sistem bioproduksi dan tentu, ia merasa tertantang untuk mencari solusi. Bioproduk seperti jagung, bukan sekali dua kali ia temui. Waktu magang industri yang singkat juga menjadi penghambat. Akan tetapi, kita lebih tidak tahu apabila kita belum berbuat.

blank
Ilustrasi industri pakan ternak [1]

Ia memutuskan masalah tersebut menjadi topik magang industrinya: persoalan pengeringan jagung di industri pakan ternak. Segera ia kumpulkan data dan fakta yang dibutuhkan untuk mendapat gambaran yang lebih luas terkait permasalahan industri pakan ternak ini.

Fakta yang pertama ialah pabrik ini merupakan pabrik yang canggih. Mesin pengering jagung mereka dapat diatur untuk pengeringan “normal” atau “ekstra”, apabila pihak pabrik mendapat jagung yang terlalu lembab dari petani. Sebagaimana mesin cuci yang memiliki mode “normal” untuk mencuci pakaian pada pemakaian sehari-hari, terdapat pengaturan mode “ekstra” untuk mencuci pakaian yang lebih kotor daripada biasanya.

Lain halnya dengan mesin cuci yang telah menyediakan petunjuk kapan kita harus mencuci dengan mode “normal” atau mode “ekstra”, mesin pengering ini tidak memiliki hal tersebut. Konsekuensinya, para pekerja hanya mengandalkan pengalaman terdahulu tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Dengan demikian, masih saja ditemui jagung yang gagal memenuhi standar produksi.

Mereka tidak tahu, kapan harus menggunakan mode “normal” atau “ekstra”.

Fakta kedua, sangat mungkin dibutuhkan inovasi dan metode baru yang bisa jadi tidak ekonomis. Namun ia berprinsip, inovasi tidak harus berbiaya mahal. Inovasi seharusnya mengandalkan kreativitas dan kemampuan rekayasa yang kuat, sehingga mampu dihasilkan inovasi yang hebat tanpa modal yang besar yang dikenal dengan istilah frugal innovation [2].

Fakta ketiga, berasal dari buku kuliah yang sengaja ia bawa. Di dalam buku tersebut terdapat bab “Pengeringan”. Dari hasil penelaahannya di bab tersebut ternyata ada grafik yang menggambarkan model proses pengeringan. Melihat grafik tersebut, ia mendapatkan solusi yang mungkin dapat menyelesaikan masalah pengeringan ini, yang tentu berpijak pada konsep frugal innovation.

Pemodelan proses pengeringan dapat menjadi solusi menyelesaikan masalah ini. Mengapa demikian?

Gambar 1 merupakan model proses pengeringan, dengan sumbu Y merupakan kadar air dan sumbu X adalah waktu. Dapat kita lihat, terdapat tiga tahap, yaitu pre-heating period, constant drying period, dan falling drying period [1].  Namun, tahap pre-heating period ini tidak harus terjadi pada setiap proses pengeringan produk. Kalau kita perhatikan, terdapat simbol θk, yang disebut sebagai kadar air kritis. Apa sih maknanya?

Sebelum menjelaskan makna θk, kita harus memahami terlebih dulu makna model tersebut. Constant rate drying period merupakan fase pengeringan dengan laju konstan yang ditandai dengan garis linear. Pada fase ini, air yang keluar dari material biologis tersebut merupakan air yang memiliki sifat fisik dan kimia seperti air yang kita kenal, atau dikenal dengan free water. Dengan demikian, laju pengeringannya lebih cepat dan membentuk grafik linear [4].

Apabila free water pada bahan telah habis, fase falling rate period dimulai. Air yang menguap pada fase ini merupakan air yang terikat dalam sel material biologis tersebut (diistilahkan dengan bound water), yang memiliki perbedaan karakteristik dengan free water, antara lain kalor penguapan yang lebih besar atau tekanan uap yang lebih kecil [4]. Karakteristik inilah yang menyebabkan laju pengeringan material menjadi lebih lambat, dan para pekerja tidak mengetahui hal ini sehingga seringkali hasil pengeringannya tidak memenuhi standar (masih basah).

Lalu, apa makna θk? Simbol ini menunjukkan ada batas kadar air antara berakhirnya fase constant rate drying period dan awal dari falling rate period. Sehingga, diduga terdapat rentang patokan kadar air jagung yang cukup spesifik, apakah akan melewati pengeringan “normal” atau “ekstra”. Hal ini yang mampu dijawab oleh pemodelan proses.

Dugaan ini yang ia uji dengan eksperimen. Beruntungnya, ia bisa menggunakan oven yang ada di pabrik sebagai bentuk scale down dari mesin pengeringan, karena secara umum oven di pabrik tersebut dan mesin pengeringan memiliki cara kerja yang sama.

Setelah melalui beberapa kali percobaan, akhirnya ia berhasil memperoleh model pengeringan, sebagaimana Gambar 2.

Ternyata, hipotesisnya terbukti dari hasil eksperimen. Berdasarkan data model, nilai θk berada pada rentang kadar air 18-21%, yang artinya proses pengeringan akan efisien menggunakan mode “normal” apabila nilai kadar air berada pada rentang 21% ke bawah. Di lain sisi, silakan menggunakan mode “ekstra” apabila kadar air jagung berada pada rentang 21% ke atas. Hanya perlu melakukan sedikit kustomisasi, karena kenyataan lapangan memang tidak seindah model.

Kurang lebih seperti itu isi laporan magang industri sang calon insinyur, yang ia serahkan kepada supervisor. Waktu yang terbatas membuat rancangan metode tersebut masih di atas kertas. Evaluasi harus dilakukan untuk menguji inovasi ini, supaya bisa terbukti. Penasaran, ia beranikan diri untuk bertanya pada supervisor, dan inilah jawabnya.

Dengan demikian, pendekatan model proses yang sederhana mampu menjawab masalah nyata, dan tentu dapat meningkatkan cuan pabrik karena prosesnya yang efisien. Inovasi tidak harus selalu berbiaya tinggi, bukan?

Referensi :

[1] Balitsereal Litbang Pertanian (2018, November 4). Mengenal Pabrik Pakan Berbahan Baku Jagung di Indonesia. Diterima dari http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/mengenal-pabrik-pakan-berbahan-baku-jagung-di-indonesia/. Diakses 3 Mei 2020

[1] Radjou, N., Prabhu, J., Yatsenko, S., Roo, Mel, Bates, A., … Raf. (2013, October 21). Frugal Innovation: A New Business Paradigm. Retrieved from https://knowledge.insead.edu/innovation/frugal-innovation-a-new-business-paradigm-2375. Diakses 30 April 2020

[2] Liu, C. (2012). Advances in Modeling of Fluid Dynamics. InTech Open Publishing.

[3] Belter, P. A., Cussler, E. L., dan Hu, W. (1988). Bioseparations : Downstream Processing for Biotechnology. New York: John Wiley & Sons.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Yuk Gabung di Komunitas Warung Sains Teknologi!

Ingin terus meningkatkan wawasan Anda terkait perkembangan dunia Sains dan Teknologi? Gabung dengan saluran WhatsApp Warung Sains Teknologi!

Yuk Gabung!

Di saluran tersebut, Anda akan mendapatkan update terkini Sains dan Teknologi, webinar bermanfaat terkait Sains dan Teknologi, dan berbagai informasi menarik lainnya.