“Berkhayal atau Berhitung Dahulu?” Bentuk Keresahan Terhadap Sistem Pendidikan Indonesia Saat Ini

Membaca buku IPA karya Janice van Cleave atau Yohanes Surya, terpikir bahwasanya pelajaran pertama untuk ilmuwan masa depan adalah berkhayal. […]

blank

Membaca buku IPA karya Janice van Cleave atau Yohanes Surya, terpikir bahwasanya pelajaran pertama untuk ilmuwan masa depan adalah berkhayal. Sebagaimana ucapan Einsten bahwa khayalan atau imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan. Tak kalah penting pula penguatan jiwa sebagaimana ucapan Einstein, lagi, bahwa agama tanpa ilmu lumpuh dan ilmu tanpa agama buta. Lalu bagaimana isi buku kedua pengajar IPA terkemuka tersebut?

Pertama, tidak muncul hitung-hitungan dalam setiap percobaan. Bahkan keberadaan angka-angka untuk menjustifikasi keilmiahan karya tersebut seperti sangat dihindari. Petunjuk percobaan cenderung melalui gambar dan sedikit tulisan panduan. Ampuhkah? Terlihat bahwa murid-murid Yohanes Surya sudah tak terhitung yang lolos olimpiade sains, serta buku Janice van Cleave diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Dengan pelaksanaan percobaan yang bisa langsung dilihat kenyataannya, maka bocah akan lebih mudah memperkirakan kejadian sesuai hukum alam atau sunnatullah. Maksudnya berkhayal secara ilmiah atas ibrah suatu kejadian. Setidaknya mampu mengira-ngira kapan ukuran yang lebih besar atau lebih kecil terjadi.

[embedyt] https://www.youtube.com/watch?v=DHOutGBbxVQ[/embedyt]
Acara TV Hand Made yang pernah diputar di Trans7 adalah salah satu tayangan yang bagus untuk melatih kreativitas anak-anak.

Salahkah jika pelajaran hitung menghitung diberikan di awal? Tidak mesti! Ada siswa yang langsung menikmati sajian angka-angka dan tanpa beban mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ada siswa yang lebih memilih hidup merdeka dengan mengeksplorasi alam liar bersama bocah sebayanya. Secara umum, bocah lebih suka bermain daripada berpikir serius apalagi membuat perhitungan. Jangankan bocah, perekayasa yang sudah “gede” sekalipun mungkin tidak mau terlibat perhitungan selain menyerahkannya pada juru hitung atau cukup percaya data komputer. Seorang akuntan ahli pun bisa saja tak lagi melakukan pekerjaan kasar kasir tersebut.

Inginnya sih, anak-anak segera mampu berpikir sistematis praktis dan siap pakai alias bisa segera dimanfaatkan supaya dapat diperas otaknya.

Barangkali pembaca sekalian masih ingat masa kecil masing-masing, apakah paham seketika dengan apa yang diajarkan guru di sekolah? Ada kalanya orangtua memerintahkan ini itu kepada anak, sedangkan anak sendiri tidak tahu ini itu apa. lupa bahwa yang dihadapinya adalah bocah polos yang belum tahu banyak makna. Contohnya pada kisah dibuku karya Jamie, mengisahkan tentang si anak berkali-kali diperingatkan jangan berbelok ke tikungan, eh tapi ternyata si anak belum tahu apa itu tikungan [1].

Memang, ada bocah yang mampu saja melampaui pemikiran umumnya bocah seusianya. Siapa tak bangga anaknya dianggap cerdas oleh orang banyak seperti Musa Izzanardi Wijanarko yang masuk MIPA ITB ketika berusia 14 tahun [3] atau Nur Wijaya Kusuma yang masuk UGM ketika berusia 15 tahun [4]? “Siapa dulu yang ngelahirin” begitu mungkin kata ibunya sambil menepuk dada ?.

Jangan ambisius dulu, lihat potensi anak seperti apa! Jika “gesit” seperti orangtua kedua bocah di atas, tentu sangat menyenangkan. Kalau anaknya telmi, anaknya disuruh mengikuti birokrasi sekolah yang panjang dan menjemukan, akhirnya si anak menganggap sekolah hanya kutukan karena melihat banyak ketidakjujuran ketika ujian sekaligus bosan melihat Lembar Jawaban Komputer.[5]

Saya sendiri lebih memilih tidak terburu menuntut anak bisa berpikir layaknya orang dewasa. Apa mau bocah yang belum berani sunat sudah mengerti cara buat anak atau berkomplot kriminal? Jika memang demikian, pantaslah kurikulum sekolah dasar, bahkan Taman Kanak-kanak dan Pendidikan Anak Usia Dini zaman now yang semakin cepat matangnya dibuat secara high expectated dibanding high order melampaui kewajaran jalan pikiran anak-anak. Einstein yang dijuluki sang jenius pun dianggap sebagai pembelajar yang lambat (slow learner) selama sekolah. Einstein cenderung berpikir dengan caranya sendiri (yang diklaim oleh beberapa peneliti sebagai proses menikmati setiap detail) sedangkan sekolah memberi pemahamanan dengan cara berpikir guru semata yang cenderung cepat [6]. Dalam buku Growth Mindset karya Carol Dweck juga dijelaskan bahwa yang terpenting dalam proses belajar bukanlah kecepatan, tapi kepahaman!

Jadi sangat keliru ketika menjustifikasi seseorang atau anak sebagai orang yang “bodoh” karena lambat dalam belajar. Bisa jadi ia seperti Einstein, menikmati sedikit demi sedikit namun tertancap di otak. Atau seperti Abraham Lincoln sang presiden ke-16 Amerika Serikat yang sangat terkenal. Lincoln mengakui dirinya sebagai pembelajar yang lambat dalam quote yang cukup fenomenal berikut ini:

“Saya lambat dalam belajar dan juga lambat dalam melupakan apa yang telah saya pelajari. Otak saya seperti sepotong baja, sangat sulit untuk diukir di atasnya. Namun ketika telah diukir, maka hampir mustahil Anda untuk menghilangkan ukiran tersebut. ”

Menurut Kak Seto, anak dinyatakan benar-benar siap menghadapi kegiatan belajar mengajar yang sesungguhnya di atas 10 tahun. Sedangkan dari di usia kanak-kanak sampai sembilan tahun, ada baiknya anak diajarkan soal pembentukan karakter diri. Misalnya memantapkan etika dan estetika agar dia berbuat lebih baik dan santun. 

“Sebab kalau materi yang disajikan terlalu padat, yang ada siswa malah stres, etika rusak, menjadi pemarah. Dan sifat-sifat itu kan salah satu dasar prilaku anak berbuat tawuran,” jelasnya.

Pria yang akrab dengan boneka si Komo ini menambahkan, ada baiknya anak kelas I sampai III SD, belajar sambil bermain. Misalnya tempat belajar di alam bebas, sehingga ketika dia berhitung dia akan menghitung apa yang dia lihat bukan yang disajikan di buku, atau menghitung balok.

“Nah ketika kelas IV, sudah lebih serius,” tambahnya. [2]

Diakui atau tidak, pada masa ketatnya persaingan mendapat pekerjaan seperti saat ini menuntut orang dewasa untuk menjadikan anaknya lebih cerdas. Lebih cerdas yang oleh beberapa orang tua diterjemahkan secara konyol sebagai lebih awal disekolahkan, lebih awal dijejali matematika, dan lebih awal disodorkan teknologi. Kekonyolan tersebut membuat anak-anak sedikit atau tidak memiliki waktu untuk bermain. Padahal ketika anak masuk ke suatu lapangan permainan misalkan permainan mandi bola, orangtua tak perlu banyak mengatur. Biarkan mereka berimajinasi dalam dunianya sendiri sehingga kreativitas bisa terpicu dan nalar terbentuk secara simultan, karena ada pelampiasan otak dan otot yang masih panas.

Tidak mesti permainan yang melibatkan aktivitas fisik. Beberapa permainan komputer atau gadget (gawai) dapat pula merangsang kreativitas, meskipun masih ada banyak kekurangannya seperti menyebabkan kecanduan, berdampak buruk bagi kesehatan mata, dll. Adanya televisi dan gawai memerlukan penanganan lebih keras sebagaimana pernah dilakukan salah satu kepala desa di Magetan. Beliau berhasil meningkatkan prestasi anak-anak di wilayahnya dengan menerapkan jam belajar setelah maghrib hingga pukul 21.00 dengan melarang anak-anak menonton televisi atau bermain gawai pada rentang jam tersebut [8]. 

Menurut saya, permainan paling bermakna adalah permainan leluhur kita yang semakin tergerus zaman. Di antaranya adalah dakon, gobag sodor, bentengan, engklek, egrang, 3 daerah, petak umpet, ular-ularan, cublak-cublak suweng, dan masih banyak macam lainnya [7].

Pada sistem pendidikan Indonesia saat ini terutama pendidikan pada masa anak-anak dan remaja, saya rasa masih kurang dalam hal penanaman budi pekerti dan pengendalian diri. Padahal kedua hal tersebut sangatlah penting untuk menjadi manusia dewasa yang cerdas dan bermoral. Tak lupa pula pendidikan aqidah dan akhlak beserta kedisiplinan bagi generasi Islami.

Sia-sia menebang pohon untuk membuka jalan jika jalannya saja ternyata keliru [9]. Percuma berkompeten kalau digunakan untuk hal yang negatif, misalnya DPR yang dipilih oleh rakyat karena dirasa kompeten eh ternyata melakukan korupsi.

Referensi:

[1] Jamie C. Miller, 1998, Mengasah Kecerdasan Moral Anak melalui Permainan 10-menit, diterjemahkan dari judul 10-Minute Life Lessons for Kids:  52 Fun and Simple Games and Activities to Teach Your Child Trust, Honesty, Love, and Other Important Values, Penerbit Kaifa, Bandung.

[2] Lia Harahap, Kak Seto: Pelajaran siswa SD terlalu padat, dari https://www.merdeka.com/peristiwa/kak-seto-pelajaran-siswa-sd-terlalu-padat.html dibuka tanggal 26 Desember 2018

[3] Putra Prima Perdana, Ini Pola Belajar Bocah Izzan, Bocah 14 Tahun yang Masuk ITB Lewat SNMPTN, dari https://regional.kompas.com/read/2017/06/16/03200061/ini.pola.belajar.izzan.bocah.14.tahun.yang.masuk.itb.lewat.sbmptn dibuka 26 Desember 2018

[4] Ika, Nur Wijaya Kusuma Mahasiswa Termuda UGM Berusia 15 Tahun, dari https://www.ugm.ac.id/id/news/16768-nur.wijaya.kusuma.mahasiswa.termuda.ugm.berusia.15.tahun dibuka 26 Desember 2018

[5] Pengalaman pribadi melihat kesepakatan para guru dan kepala sekolah menyuruh para murid bekerjasama ketika ujian supaya peringkat sekolah tidak jatuh. Tindakan ini lumrah di banyak sekolah sebelum Ujian Nasional Berbasis Komputer diselenggarakan.

[6] Adiya Nor Kurniawan, 2017, Biografi Ilmuwan Modern Barat & Muslim, Azka Presindo, Surakarta.

[7] Luluk, Cara Melestarikan Permainan Tradisional, dari https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/view&id=4738 dibuka 25 Desember 2018

[8] Rijal Mumazziq Zionis, penting kita perhatikan adalah mengontrol akses terhadap televisi, http://www.penerbitimtiyaz.com/blog/penting-kita-perhatikan-adalah-mengontrol-akses-terhadap-televisi/ dibuka 25 Desember 2018

[9] Kisah ini diuraikan Professor Steven Franklin Covey, pengarang “7 Habits” dan “First Thing First” yang saya tonton dalam kuliah Pandangan Dunia yang belum bisa diumumkan. Materi yang serupa terinspirasi dari beliau dapat ditonton di The Clock vs. The Compass by Dan Hawkins | Life Leadership

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *