Mengapa Panel Surya Masih Kurang Populer ?

Rendahnya Kontribusi Panel Surya Di tengah isu global warming dan harga listrik yang makin naik, panel surya yang mampu menghasilkan […]

blank

Rendahnya Kontribusi Panel Surya

Di tengah isu global warming dan harga listrik yang makin naik, panel surya yang mampu menghasilkan listrik secara gratis seharusnya menghiasi atap rumah kita bukan? Akan tetapi, di Indonesia sendiri, penggunaannya bisa dibilang masih sangat langka. Hanya negara-negara maju yang sudah mulai banyak menggunakannya. Meski penggunaannya berkembang dengan pesat, panel surya hanya menghasilkan 2,4 % dari total produksi listrik di Amerika Serikat [1]. Gambar 1 yang menunjukan produksi listrik global pada 2018 juga memperlihatkan hal yang sama. Panel surya dan pembangkit listrik tenaga angin hanya meliputi 7% dibandingkan batu bara yang meliputi 38%[2]. Kenapa panel surya dengan segala kelebihannya, belum mampu menggeser pembangkit listrik konvensional seperti batu bara?

Produksi Listrik Global 2018
Gambar 1: Produksi listrik global 2018 [2]

Harga Panel Surya Mahal dan Efisiensinya Masih Rendah

Ada beberapa hal yang menjadi alasan, salah satu yang paling penting adalah masalah biaya. Panel surya memang menghasilkan listrik secara gratis, tetapi pemasangannya memerlukan biaya yang cukup mahal. Di Amerika Serikat, untuk sistem 5 kW, yang biasa digunakan untuk sebuah rumah, biaya pemasangannya adalah sebesar $18.500 atau sekitar $13.000 jika dikurangi dengan federal solar tax credit [3]. Itu barulah biaya pemasangan, belum termasuk biaya perawatan dan perbaikan.

Selain harganya yang mahal, efisiensi juga rendah yaitu sekitar 10-20%. Dengan efisiensi serendah itu, energi yang sangat besar dari matahari tidak bisa dimanfaatkan dengan baik. Sebenarnya panel surya dengan efisiensi yang lebih tinggi sudah ada, tetapi harganya tentu lebih mahal. Efisiensi yang rendah juga menyebabkan kebutuhan lahan yang luas. Suatu sistem 1 MW dengan efisiensi 18% akan membutuhkan lahan seluas 16.187 m2[3].

Selain itu, efisiensinya bisa berkurang lagi bila digunakan di daerah yang tingkat polusi udaranya cukup tinggi. Sebuah studi menyebutkan bahwa debu dan partikel dapat mengurangi efisiensi panel surya sebesar 17% sampai 25%. Setengah dari pengurangan ini disebabkan oleh debu dan partikel yang terkumpul di permukaan panel sehingga menghalangi cahaya matahari[4]. Hal ini tentu menjadi masalah besar di kota-kota dimana udara tercemari oleh polusi dari kendaraan bermotor.

Harga yang mahal dan efisiensi yang masih rendah mungkin menjadi alasan utama seseorang mengurungkan niat untuk memasangnya di atap rumahnya. Di negara berkembang, harga pemasangan sebesar $18.500 tentu dianggap sangat mahal. Jika dikurskan ke rupiah, biayanya bisa mencapai ratusan juta. Panel surya memang bisa mengurangi pengeluaran listrik bulanan. Akan tetapi, dengan efisiensinya yang masih rendah, butuh waktu sangat lama agar modal besar yang dikeluarkan bisa berbuah keuntungan.

Produksi Listriknya Tidak Teratur dan Membutuhkan Banyak Komponen

Selanjutnya, energi surya hanya bisa didapatkan pada siang hari dan hanya bekerja dengan baik ketika cuacanya cerah. Masalah ini menimbulkan masalah-masalah lain. Itu membuat produksi listrik menjadi tidak stabil dan sulit dikontrol. Itu juga membuat panel surya tidak cocok digunakan di daerah dengan kondisi iklim dan cuaca yang tidak memadai.

Karena produksi listrik yang tidak stabil, dibutuhkan suatu baterai berkapasitas besar untuk menyimpan energi berlebih untuk digunakan ketika malam hari. Baterai berkapasitas besar itu memiliki ukuran yang besar dan berat serta memiliki harga yang mahal. Selain itu, umur baterai yang tidak lama membuat biaya yang dikeluarkan lebih besar lagi[3].

Selain baterai, penggunaan panel surya juga membutuhkan banyak komponen lain. Banyaknya komponen jika diikuti dengan kurangnya pengetahuan teknis dapat menyebabkan panel surya menjadi lebih mahal. Itu karena kurangnya pengetahuan menyebabkan masalah seperti penggunaan yang tidak stabil, baterai yang overcharged, atau pemasangan kutub yang terbalik yang pada akhirnya bisa menyebabkan kerusakan. Kerusakan pun mengharuskan adanya perbaikan yang lagi-lagi membutuhkan biaya[3].

Produksi listrik yang tidak stabil juga menimbulkan masalah lain, terutama ketika panel surya dipasang dalam skala besar. Pemasangan dalam skala besar ternyata mengganggu sistem yang sudah ada. Umumnya, listrik yang diproduksi oleh pembangkit langsung disalurkan ke konsumen. Karenanya, produksi listrik sangat bergantung pada permintaan setiap waktunya. Sebelum panel surya dipasang dalam skala besar, permintaan terhadap pembangkit listrik konvensional cenderung stabil dan bisa diprediksi. Ketika panel surya dipasang dalam skala besar, permintaan terhadap pembangkit listrik konvensional mengalami penurunan drastis pada siang hari[5].

Kurva Net Supply
Gambar 2 : Kurva Beban Listrik [5]

Gambar 2 menunjukkan kurva net supply, yaitu listrik yang harus diproduksi pembangkit listrik konvensional ketika listrik dari energi surya meningkat pesat. Kurva ini sering disebut “Duck Curve” karena bentuknya memang menyerupai bebek.[5] Dapat dilihat bahwa pembangkit konvensional harus mengubah jumlah produksinya secara drastis, bahkan terkadang harus mematikannya sementara. Hal itu sangat sulit diterapkan dan kurang efisien karena pembangkit konvensional tidak didesain untuk hal semacam itu. Di sisi lain, untuk sekarang, kita masih membutuhkan pembangkit-pembangkit konvensional itu.

Solusi ?

Untuk menyelesaikan masalah-masalah itu, perlu dilakukan banyak riset. Kita perlu mengembangkan proses produksi panel surya yang lebih efisien sehingga dapat mengurangi harganya. Kita juga perlu meninjau kembali teknologi transmisi listrik dan sistem penyimpanan energi untuk mengatasi masalah ketidakstabilan produksi listrik.

Bagaimanapun juga, panel surya adalah senjata utama untuk memperoleh clean energy. Produksi listrik menggunakan panel surya sebenarnya meningkat pesat pada beberapa tahun terakhir, meski terpusat pada negara-negara maju. Jika dilakukan lebih banyak riset lagi, panel surya dapat menjadi lebih terjangkau dan lebih efisien untuk masyarakat negara berkembang. Dengan begitu, kita berharap dapat melihatnya di atap rumah kita.

[1]   Roselund, C. (2018). Solar supplies more than 10% of electricity in five US states. Retrieved July 15, 2019, from PV Magazine: https://www.pv-magazine.com/2018/08/28/solar-supplies-more-than-10-of-electricity-in-five-us-states/

[2]   International Energy Agency. (2019). Electricity. Retrieved July 18, 2019, from IEA: https://www.iea.org/geco/electricity/

[3]   Kabir, Ehsanul & Kumar, Pawan & Kumar, Sandeep & Adelodun, Adedeji & Kim, Ki-Hyun. (2017). Solar energi: Potential and future prospects. Renewable and Sustainable Energy Reviews

[4]   Henley, S. (2017). Air Pollution Can Cut Solar Panel Efficiency By Up To 25%. Retrieved July 15, 2019, from Clean Technica: https://cleantechnica.com/2017/04/27/air-pollution-can-cut-solar-panel-efficiency-25/

[5]   Roberts, D. (2018). Solar power’s greatest challenge was discovered 10 years ago. It looks like a duck. Retrieved July 15, 2019, from Vox: https://www.vox.com/platform/amp/energi-and-environment/2018/3/20/17128478/solar-duck-curve-nrel-researcher/

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *