Peneliti Temukan Enam Virus Korona Jenis Baru yang Tidak Berkaitan dengan MERS-CoV, SARS-CoV, maupun SARS-CoV-2

ICTV announced “severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)” as the name of the new virus on 11 February 2020 […]

ICTV announced “severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)” as the name of the new virus on 11 February 2020 [1]. Lebih lanjut dikatakan, WHO announced “COVID-19” as the name of this new disease on 11 February 2020, following guidelines previously developed with the World Organisation for Animal Health (OIE) and the Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) [1].

Penggalan kalimat diatas merupakan press release, yang dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Informasinya singkat tapi cukup menyita perhatian dunia internasional. Satu informasi penting yang penulis dapatkan bahwa virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) telah menjadi dalang penyakit COVID-19.

Nampak eksistensi virus SARS-CoV-2 masih terlalu kuat. Hingga memasuki bulan april ini pemberitaan media masa begitu intens. Pagi, siang dan malam. Pada artikel ini, penulis akan berbagi informasi penting terkait virus korona. Informasi yang datangnya dari para peneliti yang mungkin juga akan menyita perhatian publik. Sekelompok peneliti yang merupakan gabungan dari Myanmar dan Amerika Serikat menemukan enam virus korona jenis baru dan telah dipublikasikan di jurnal PLOS ONE pada 9 April 2020 .

Kelompok peneliti tersebut pada awalnya ingin mengamati kehidupan satwa liar yang begitu dekat dengan manusia (biosurveillance). Tujuannya adalah agar dapat memahami seluk beluk penyakit yang menyebar secara luas. Mereka juga menamakan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan sebuah riset prediksi [2].

Penelitian difokuskan pada tiga daerah Myanmar, dimana manusia lebih sering ditemukan hidup berdampingan dengan satwa liar setempat. Periode Mei 2016 hingga Agustus 2018 adalah masa pengumpulan 759 sampel saliva dan feses dari kelelawar di kawasan yang telah ditentukan (Gambar 1). Rincian sampel yang dikumpulkan terdiri atas 464 swab mulut, 140 swab anus dan 155 merupakan sampel pupuk kototan kelelawar [2,3].

Para peneliti kemudian melakukan analisis dengan membandingkannya terhadap sekuen (urutan) RNA virus korona yang telah diketahui. Sebanyak 48 sampel dinyatakan positif mengandung virus korona. Tidak berhenti sampai disitu, hal yang cukup mengagetkan adalah para peneliti juga menemukan 6 virus korona baru untuk pertama kali. Keyakinan ini didasarkan atas perbandingan dengan basis data sekuens RNA virus korona yang kemiripannya kurang dari 90% [2,3].

Tabel 1. Sampel yang positif mengandung virus korona pada kelelawar di Myanmar [2]

Berdasarkan struktur genomnya virus korona jenis baru tersebut terbagi dalam dua kelompok, yaitu 4 sub grup alfa dan 3 lainnya termasuk dalam sub grup beta. PREDICT_CoV-35 adalah virus korona dari sub grup alfa yang telah teridentifikasi sebelumnya di dua negara tetangga (Kamboja dan Vietnam). Dengan demikian ada 6 virus korona baru yaitu PREDICT_CoV-90, 47, 82, 92, 93 dan 96 (Tabel 1) yang teridentifikasi. Para peneliti juga menambahkan virus korona jenis baru ini tidak memiliki keterkaitan dengan SARS-CoV, MERS-CoV maupun SARS-CoV-2 [2,3].

Sebagai informasi tambahan, sebesar 83.3% sampel yang positif mengandung virus korona ditemukan pada pupuk kotoran kelelawar. Fakta tersebut mengisyaratkan adanya ancaman yang serius terhadap manusia yang menggunakan pupuk kotoran kelelawar. Hal lain yang juga mengejutkan dalam penelitian adalah wilayah (site) 3 yang hanya mengandalkan sampel pupuk kotoran kelelawar justru tidak ditemukan virus korona [3].

Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengevaluasi potensi penyebaran ke spesies lain untuk lebih memahami kemungkinan ancaman terhadap manusia. “Kebanyakan virus korona kemungkinan tidak memberikan ancaman serius terhadap manusia. Hanya saja ketika peneliti melakukan identifikasi sejak dini terhadap satwa-satwa liar itu, peneliti punya kesempatan berharga untuk menginvestigasi potensi ancamannya”, ungkap Suzan Murray yang merupakan anggota kelompok penelitian ini [2,3].

Lebih lanjut para peneliti mengungkapkan bahwa pengamatan yang hati-hati, penelitian, dan pendidikan adalah cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pandemik. Ini adalah informasi singkat dari para peneliti, kemungkinan besar masih akan ada laporan selanjutnya terkait hal ini. Tak kalah penting kita sebagai khalayak perlu menunggu konfirmasi resmi dari Komite Taksonomi Virus Internasional (ICTV) atas temuan ini.

Salam Literasi….

Referensi

  1. https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/technical-guidance/naming-the-coronavirus-disease-(covid-2019)-and-the-virus-that-causes-it, diakses pada 17 April 2020 pukul 20.01 WITA
  2. https://www.sciencedaily.com/releases/2020/04/200409141429.htm, diakses pada 17 April 2020 pukul 20.30 WITA
  3. Marc T. Valitutto, Ohnmar Aung, Kyaw Yan Naing Tun, Megan E. Vodzak, Dawn Zimmerman, Jennifer H. Yu, Ye Tun Win, Min Thein Maw, Wai Zin Thein, Htay Htay Win, Jasjeet Dhanota, Victoria Ontiveros, Brett Smith, Alexandre Tremeau-Brevard, Tracey Goldstein, Christine K. Johnson, Suzan Murray, Jonna Mazet. Detection of novel coronaviruses in bats in MyanmarPLOS ONE, 2020; 15 (4): e0230802 DOI: 10.1371/journal.pone.0230802

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top