Perang nuklir merupakan konflik bersenjata yang melibatkan penggunaan senjata nuklir oleh dua atau lebih negara. Senjata nuklir adalah senjata yang menggunakan reaksi nuklir untuk melepaskan energi yang sangat besar dalam bentuk ledakan. Senjata nuklir dapat menghasilkan ledakan yang sangat besar dan merusak, bahkan menghancurkan kota atau wilayah yang luas.
Perang nuklir dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti konflik politik, ideologi, atau sumber daya. Namun, dampak dari perang nuklir sangat mengerikan dan dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar pada manusia dan lingkungan. Ledakan nuklir dapat menghasilkan gelombang kejut, radiasi, dan suhu yang sangat tinggi, yang dapat membunuh manusia dan hewan serta merusak tanaman dan infrastruktur.
Baca juga: Chernobyl Membuktikan Bahwa Nuklir Itu Selamat!
Selain itu, ledakan nuklir juga dapat menghasilkan awan jamur yang sangat besar dan berbahaya, yang dapat menyebar ke wilayah yang jauh dari tempat ledakan. Radiasi nuklir yang dihasilkan oleh ledakan nuklir dapat menyebabkan kanker, kelainan genetik, dan masalah kesehatan lainnya pada manusia dan hewan.
Oleh karena itu, perang nuklir dianggap sebagai ancaman besar bagi keamanan global dan keberlangsungan hidup manusia. Banyak negara dan organisasi internasional telah berusaha untuk mencegah terjadinya perang nuklir dengan mengadopsi perjanjian dan kesepakatan internasional yang melarang penggunaan senjata nuklir. Namun, ancaman perang nuklir masih ada dan perlu terus diwaspadai dan diupayakan untuk dicegah.
Di tengah meluasnya perang di Timur Tengah, invasi Rusia ke Ukraina yang masih berlangsung, dan China yang mengancam akan menyerang Taiwan, dunia dihantui situasi perang nuklir. Para peneliti juga mulai membunyikan alarm mengenai risiko musim dingin yang terjadi akibat perang nuklir, karena Bumi tak terkena sinar Matahari akibat tertutupi 165 juta ton jelaga. Menurut para ilmuwan pertanian dan atmosfer, situasi yang diakibatkan oleh perang nuklir besar-besaran, dapat mengurangi hasil panen di seluruh dunia, dan mengurangi produksi kalori global sebesar 90%.
Namun, tim peneliti internasional telah menemukan jawaban yang menarik: budidaya rumput laut yang luas, yang digantung di permukaan laut dengan tali dan pelampung. Menurut mereka, cara ini dapat membantu menyelamatkan 1,2 miliar nyawa. Tim memperkirakan bahwa rata-rata hasil panen sebesar 33,63 ton rumput laut kering atau rumput laut dapat diselamatkan jika dibudidayakan setiap tahunnya. Namun budidaya itu biasanya hanya dilakukan di area permukaan laut secara sederhana. “Jika kita menggunakan wilayah yang lebih produktif, kita memerlukan sekitar 416.000 km persegi lautan,” kata penulis utama studi tersebut, ilmuwan lingkungan Dr. Florian Ulrich Jehn, dikutip dari Daily Mail.
Dalam studinya, Dr. Jehn yang merupakan pimpinan ilmu data untuk Alliance to Feed the Earth in Disasters (ALLFED) yang berbasis di Colorado, berkolaborasi dengan Departemen Ilmu Kelautan dan Pesisir Louisiana State University, salah satu astrofisikawan Jerman, dan ilmuwan dari Texas dan Filipina. Biaya ekonomi dari program darurat ini untuk memenuhi kebutuhan pangan miliaran orang selama musim dingin nuklir yang sulit, akan lebih kecil dibandingkan dengan program-program AS yang sukses di masa lalu.
Dr. Jenh membandingkan peningkatan tersebut dengan produksi pesawat terbang di AS pada perang dunia kedua dan memperkirakan bahwa peningkatan ini kemungkinan akan memerlukan sumber daya yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang ada dan oleh karena itu dapat dilakukan, tetapi hal ini masih dalam proses. Salah satu faktor yang menurut Dr. Jehn masih ambigu, meskipun timnya masih menghitung angka-angkanya, adalah berapa harga sebenarnya rumput laut dalam skenario seperti itu. Studi mereka, yang diterbitkan bulan ini di jurnal Earth’s Future, memanfaatkan model iklim samudra dari perubahan dramatis yang akan terjadi di tengah musim dingin nuklir yang sesungguhnya. Ketika permukaan laut menjadi dingin, air menjadi lebih padat, sehingga tenggelam, mendorong sirkulasi vertikal. Hasilnya adalah gejolak seperti konveksi yang akan mendorong air yang kaya nutrisi dari kedalaman laut ke permukaan, secara efektif menyuburkan wilayah yang dibutuhkan untuk program budidaya akuatik besar-besaran ini. Ini secara resmi disebut ‘konveksi penetratif’, dan merupakan kebalikan dari konveksi yang terjadi di kompor saat Anda merebus pasta dengan air dingin yang tenggelam, bukan air hangat yang naik, yang mendorong sirkulasi vertikal.
Dikutip dari detik.com Dr. Harrison yang menjalankan Biophysical Ocean Modeling Lab di Louisiana State University, mengatakan bahwa proses ini telah terdokumentasi dengan baik selama bulan-bulan musim dingin di garis lintang tinggi, namun musim dingin nuklir akan membawa siklus ini lebih dekat ke garis khatulistiwa. Pada musim dingin Nuklir, cuaca tetap dingin selama bertahun-tahun, jadi ia terus mengalir, mengaduk air dalam dan nutrisi di sana. Karena kondisinya gelap dan dingin, nutrisi ini tidak cepat digunakan oleh fitoplankton, alga yang menjadi dasar jaring makanan di lautan. Sayuran hijau laut yang lebih ramah manusia, seperti rumput laut berhasil dengan baik dalam kondisi seperti ini, menjadikannya sumber makanan alternatif yang bagus. Namun, para peneliti menekankan bahwa masyarakat tidak perlu membayangkan masa depan dengan menyendok rumput laut ke dalam piring mereka setiap kali makan. Karena yodium yang ditemukan dalam rumput laut dapat menjadi racun bagi manusia dalam jumlah besar, kontribusi rumput laut terhadap jaring makanan kemungkinan besar bersifat tidak langsung.
Peternakan rumput laut, menurut ilmuwan, diperkirakan hanya dapat menggantikan 15% dari total makanan yang dikonsumsi manusia saat ini. Namun, sebagian besar dari produksi tersebut akan digunakan sebagai pakan ternak dan untuk menghasilkan biofuel. Para peneliti juga meyakini bahwa peternakan rumput laut dapat memenuhi sekitar 50% dari kebutuhan produksi biofuel saat ini serta sekitar 10% dari kebutuhan ternak dan pakan ternak. Menurut Dr. Harrison, ini bukanlah proyek yang bermaksud apokaliptik atau ekstrim, melainkan dapat digunakan sebagai upaya bantuan kemanusiaan dalam mengatasi gangguan pada rantai pasokan makanan global. Dalam berbagai skenario terburuk seperti dampak asteroid yang signifikan, ledakan gunung berapi besar, kegagalan panen regional, atau kekeringan lokal, peternakan rumput laut bisa menjadi solusi yang dapat mengkompensasi dampak tersebut.
Sepanjang sejarah, letusan besar telah menyebabkan kelaparan baik secara regional maupun global. Bagaimanapun, kita memerlukan rencana untuk memberi makan diri kita sendiri dalam skenario jika terjadi musim dingin akibat pengurangan sinar Matahari yang tiba-tiba ini.
REFERENSI:
- Rhodes, Richard. 2019. The Making of the Atomic Bomb. New York: Simon & Schuster.
- Schlosser, Eric. 2013. Command and Control: Nuclear Weapons, the Damascus Accident, and the Illusion of Safety. New York: Penguin Press.
- Hersh, Seymour M. 2018. The Samson Option: Israel’s Nuclear Arsenal and American Foreign Policy. New York: W.W. Norton & Company.
Alumni S1 Fisika Teori Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Penulis di: Dandelion Publisher, Guepedia Publisher, Fisika Teori UIN Maliki Malang, dan warstek.com
Admin Website cariaku.com