Apakah kalian mengetahui apa itu senyawa biosurfaktan? Senyawa ini merupakan salah satu senyawa yang banyak diteliti pada abad ini. Senyawa ini pula telah mulai diproduksi pada skala industri karena manfaatnya yang lebih besar dibandingkan dengan surfaktan sintetis. Akan tetapi, sebelum mengetahui apa itu biosurfaktan, akan lebih baik untuk mengetahui apa itu senyawa surfaktan terlebih dahulu.
Apa itu surfaktan?
Senyawa surfaktan ini sebenarnya dapat kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam produk-produk kebersihan. Cobalah untuk melihat daftar komposisi senyawa yang terkandung di dalam sampo, sabun, atau produk kebersihan lainnya, mungkin kalian akan menemukan tulisan “sodium laureth sulfate” di dalam daftar tersebut. Senyawa tersebut merupakan senyawa surfaktan. Akan tetapi, apa yang menjadi keistimewaan dari senyawa ini?
Surfaktan berasal dari kata surfactant, yang merupakan singkatan dari surface active agent. Senyawa ini disebut demikian karena mampu menurunkan tegangan permukaan air bila senyawa ini dilarutkan di dalamnya. Molekul surfaktan memiliki bagian yang bermuatan atau polar sehingga bersifat hidrofilik (menyukai air), sedangkan bagian lainnya biasanya rantai hidrokarbon panjang atau nonpolar yang bersifat hidrofobik (menolak air). Sifat molekul seperti itu (hidrofilik dan hidrofobik) sering disebut juga sebagai amfifilik. Ketika molekul tersebut dilarutkan ke dalam air, bagian hidrofilik dari molekul tersebut akan berikatan dengan air, sedangkan bagian hidrofobik akan berada di atas permukaan air. Karena adanya senyawa surfaktan pada permukaan air, efek kohesi antar molekul air menurn sehingga tegangan permukaan air menjadi menurun pula.
Penambahan surfaktan pada air akan menurunkan tegangan permukaan sampai pada titik tegangan permukaan tidak dapat turun lagi walaupun konsentrasi surfaktan bertambah. Titik tersebut dinamakan kosentrasi misel kritis (critical micelle concentration atau CMC). Grafik penurunan tegangan permukaan terhadap konsentrasi surfaktan dapat dilihat pada Gambar 2. Pada titik tersebut, molekul surfaktan telah memenuhi tempat dipermukaan air sehingga surfaktan yang tidak berada di permukaan akan berikatan dengan bagian hidrofobik molekul surfaktan lainnya membentuk seperti bola yang dinamakan dengan misel. Ketika bagian hidrofobik molekul saling berikatan, senyawa yang tidak larut di dalam air, seperti minyak, dapat berikatan dengan bagian tersebut dan berada di dalam misel (Gambar 3). Oleh karena itu, keberadaan surfaktan mampu melarutkan senyawa yang biasanya tak larut di dalam air[2].
Biosurfaktan dan Kategori Biosurfaktan.
Surfaktan biasanya diproduksi secara sintetik dengan bahan baku dari senyawa petrokimia (senyawa yang berasal dari turunan bahan bakar fosil) dan oleokimia (senyawa yang berasal dari turunan minyak nabati dan hewani)[3]. Akan tetapi, seiring dengan isu lingkungan dan sustainable industry yang sedang marak, industri-indsutri yang memanfaatkan surfaktan ingin mulai meninggalkan surfaktan yang berasal dari bahan baku tak terbarukan dan mencari senyawa alternatif yang memiliki sifat serupa, tetapi ramah lingkungan. Di alam, terdapat senyawa-senyawa yang dihasilkan makhluk hidup yang memiliki karakterisitik dan sifat yang sama dengan surfaktan. Senyawa-senyawa tersebut akhirnya dinamai dengan biosurfaktan. Berbagai jenis mikroorganisme mampu menghasilkan senyawa-senyawa tersebut. Dengan mengkultivasi mikroorganisme tersebut, biosurfaktan dapat diproduksi terus-menerus sehingga didapat proses produksi surfaktan yang berkelanjutan.
Biosurfaktan dapat dikategorikan berdasarkan jenis molekulnya. Beberapa di antaranya adalah asam lemak, fosfolipid (senyawa yang tersusun atas asam lemak dan fosfat), glikolipid (senyawa yang tersusun atas molekul asam lemak dan molekul monosakarida), lipopeptida (molekul yang tersusun atas molekul asam lemak dan molekul asam amino), poliketideglikosida, karotenoid, isoprenid, dan biopolimer dengan berat molekul yang besar seperti eksopolisakarida[4]. Salah satu contoh dari biosurfaktan yang telah diproduksi skala industri adalah rhamnolipid. Rhamnolipid merupakan biosurfaktan yang diproduksi oleh bakteri Pseudomonas aeruginosa. Struktur senyawa ini dapat dilihat pada Gambar 4. Senyawa ini terdiri dari molekul monosakarida, tersusun atas satu atau dua molekul α-L-rhamnosa (bagian hidrofilik) yang berikatan O-glikosidik dengan molekul yang tersusun dari dua atau tiga molekul asam lemak(bagian hidrofobik)[4].
Keunggulan biosurfaktan diabandingkan dengan surfaktan pada umumnya.
Selain berkelanjutan, biosurfaktan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan surfaktan sintetis. Salah satunya adalah biosurfaktan mampu didegradasi secara biologis sehingga tidak mencemari lingkungan dibandingkan dengan surfaktan biasa. Selain itu, biosurfaktan tidak bersifat racun terhadap makhluk hidup sehingga tidak membahayakan kehidupan di alam[4]. Akan tetapi, jenis biosurfaktan tipe lipopeptida diketahui memiliki sifat antimikroba. Berdasarkan hasil studi, beberapa jenis lipopeptida, seperti rhamnolipid mampu membentuk pori pada membran bakteri yang mengakibatkan adanya perpindahan ion dari luar membran ke dalam sehingga terjadi disrupsi (pecah) pada sel bakteri[5]. Terakhir, biosurfaktan dapat diproduksi dari bahan baku limbah organik industri. Industri pangan dan pertanian banyak menghasilkan banyak limbah, seperti limbah minyak goreng, limbah whey, molase, biomassa tanaman pertanian yang merupakan limbah yang masih mengandung banyak karbon[6]. Limbah-limbah tersebut dapat digunakan sebagai sumber karbon atau makanan bagi mikroorganisme untuk tumbuh dan menghasilkan biosurfaktan. Dengan memanfaatkan limbah industri, tidak hanya didapatkan biosurfaktan, tetapi juga dapat mengurangi jumlah limbah pada industri.
Pemanfaatan biosurfaktan pada remediasi lingkungan.
Sama seperti pada surfaktan pada umumnya, biosurfaktan dapat dimanfaatkan di berbagai industri, seperti industri farmasi dan kesehatan, kosmetik, dan detergen. Biosurfaktan juga dapat dipakai sebagai pengemulsi pada industri makanan. Akan tetapi, biosurfaktan lebih banyak diteliti dan dimanfaatkan fungsinya dalam pengolahan lingkungan yang tercemar (remediasi).
Salah satu permasalahan lingkungan adalah adanya kontaminasi tanah dan perairan yang disebabkan oleh tumpahan minyak. Tumpahan minyak dapat terjadi ketika terjadi kebocoran pada tangka penyimpanan, proses transportasi, dan perpipaan. Salah satu cara untuk menangani tumpahan minyak pada tanah dan perairan adalah dengan melakukan bioremediasi. Berbagai jenis mikroorganisme mampu untuk mengurai hidrokarbon sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghilangkan kontaminasi minyak pada lingkungan. Akan tetapi, karena mikroorganisme hidup pada lingkungan berair, mikroorganisme sulit mengurai minyak yang bersifat nonpolar sehingga berbeda fasa. Oleh karena itu, dengan menambahkan biosurfaktan, minyak dapat teremulsi ke dalam air akibat terbentuknya misel dari biosurfaktan sehingga minyak dapat larut di dalam air dan dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme (dapat dilihat pada Gambar 7). Dibandingkan dengan surfaktan lainnya, biosurfaktan memiliki kemampuan emulsifikasi lebih tinggi sehingga penggunaan biosurfaktan lebih dipilih[7].
Selain mampu meningkatkan kontak antara mikroorganisme dengan minyak, biosurfaktan, khususnya rhamnolipid, mampu membentuk pori pada membran sel sehingga biosurfaktan dapat meningkatan permeabilitas dari minyak ke dalam sel sehingga meningkatkan kinerja sel dalam mengurai minyak. Hal tersebut dapat terjadi karena ketika rhamnolipid berikatan dengan membran sel bakteri, materi membran sel, seperti lipopolisakarida (LPS) dapat terlepas dari membran sel sehingga terbentuk celah pada membran. Celah tersebut mengakibatkan molekul minyak dapat mudah masuk ke dalam sel dan terdegradasi oleh enzim yang ada di dalam sel[7]. Proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Selain minyak, limbah-limbah logam berat dari industri juga sering mengotori perairan atau tanah sekitar. Banyak industri yang sengaja membuang limbah ke sungai atau danau tanpa mengolah limbahnya terlebih dahulu sehingga senyawa toksik seperti logam berat larut dalam perairan dan mematikan biota yang ada di perairan tersebut. Biosurfaktan mampu menyerap ion-ion logam berat yang ada di perairan dengan membentuk ikatan kompleks dengan ion tersebut. Selain itu, biosurfaktan juga sangat selektif dalam menyerap ion-ion logam tertentu, seperti rhamnolipid yang memiliki afinitas yang tinggi dalam menyerap Cd2+, Zn2+, dan Pb2+. Setelah biosurfaktan mengikat ion logam berat, biosurfaktan tersebut perlu dipisahkan dari perairan. Presipitasi biosurfaktan dapat dilakukan untuk senyawa biosurfaktan jenis biopolmer dengan berat molekul yang besar, seperti eksopolimer atau ekspolisakarida. Untuk biousrfaktan dengan berat molekul yang lebih rendah, dapat dilakukan metode foaming, yaitu pengambilan busa yang terbentuk dan ultrafiltrasi biosurfaktan yang membentuk misel[9].
Demikian pengertian dan manfaat dari biosurfaktan. Sampai saat ini, biosurfaktan merupakan teknologi yang masih berkembang. Dengan sumber daya alam yang ada di Indonesia, diharapkan Indonesia juga ikut mengembangkan teknologi ini sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengolahan limbah dan remediasi lingkungan di negeri ini.
Referensi:
[1]Santos, D., Rufino, R., Luna, J., Santos, V., & Sarubbo, L. (2016). Biosurfactants: multifunctional biomolecules of the 21st century. International journal of molecular sciences, 17(3), 401.
[2]Rosen, M. J., & Kunjappu, J. T. (2004). Surfactants and interfacial phenomena, John Wiley & Sons, Inc., New Jersey, 1-206
[3]Fleurackers, S. (2014). Biosurfactants versus chemically synthesized surface-active agents. Biosurfactants: Production and Utilization—Processes, Technologies, and Economics, 159, 37.
[4]ausmann, Rudolf, and Christoph Syldatk. “Types and classification of microbial surfactants.” Biosurfactants: Production and Utilization—Processes, Technologies, and Economics 159 (2014): 1.
[5]Fracchia, L., Ceresa, C., Franzetti, A., Cavallo, M., Gandolfi, I., Van Hamme, J., … & Banat, I. M. (2014). Industrial applications of biosurfactants. Biosurfactants: Production and Utilization—Processes, Technologies, and Economics, 159, 245.
[6]Henkel, M., Syldatk, C., & Hausmann, R. (2014). The Prospects for the Production of Rhamnolipids on Renewable Resources: Evaluation of Novel Feedstocks and Perspectives of Strain Engineering. In Biosurfactants (pp. 92-109). CRC Press.
[7]Ma, Y., Li, Y., Huang, C., Tian, Y., & Hao, Z. (2018). Rhamnolipid biosurfactants: functional properties and potential contributions for bioremediation. Biodegradation, 1-11.
[8]Kardena, E., Helmy, Q., & Funamizu, N. (2014). Biosurfactants and soil bioremediation. Biosurfactants: Production and Utilization—Processes, Technologies, and Economics, 159, 327.
[9]Franzetti, A., Gandolfi, I., Fracchia, L., Van Hamme, J., Gkorezis, P., Marchant, R., & Banat, I. M. (2014). Biosurfactant use in heavy metal removal from industrial effluents and contaminated sites. Biosurfactants: Production and utilization—Processes, technologies, and economics, 159, 361.
Mahasiswa S2 Teknik Kimia ITB. Memiliki ketertarikan pada dunia sains dan teknologi hayati.