Oleh: Arief Ramadhan Rifky Hidayat
Munculnya paham-paham aneh dan radikal yang didukung dengan semakin berkembangnya kebebasan untuk berbicara dan didengar memicu begitu mudahnya berita HOAX muncul di lingkungan masyarakat, apalagi masyarakat awam yang begitu mudah terpengaruh begitu saja tanpa mampu berpikir kritis terhadap apa yang mereka terima. Salah satunya yang cukup heboh adalah teori flat earth yang mengatakan bahwa bentuk bumi bukanlah seperti bola pepat melainkan seperti piringan dengan kubah yang tidak bisa ditembus di atasnya, bahkan teori ini telah dipercaya oleh 187.000 orang di dunia termasuk 63.000 orang di Indonesia. Hal ini memunculkan perdebatan tak berujung antara kelompok Glober dan Flater dengan pahamnya masing-masing. Sehingga solusi yang digunakan untuk mengetahui bentuk bumi yang sesungguhnya yaitu dengan menggunakan pengamatan bayangan bumi ketika terjadi gerhana bulan karena terjadi konfigurasi matahari-bumi-bulan yang akan memunculkan bayangan mengenai bentuk bumi di permukaan bulan.
Tantangan yang dihadapi sekarang adalah membuat hasil pengamatan yang jelas dengan perbesaran yang lebih tinggi supaya dapat memahami bentuk bumi yang sebenarnya dan bahkan dapat mengamati adanya exo planet yaitu planet yang dapat menunjang kehidupan penghuninya. Hasil pengamatan sebelumnya yang dilakukan menggunakan teleskop refraktor unitron di observatorium Bosscha belum dapat mengamati adanya garis-garis unsur yang terionisasi secara menyeluruh dari bintang pusat seperti hidrogen dan helium sehingga kurang jelas gambaran objek yang diamati baik secara fisis maupun kimiawi.
Pada awal bulan Januari 2018, peneliti NASA telah membuat terobosan baru dengan meluncurkan teleskop TESS (Transiting Exoplanet Survey Satellite) ke ruang angkasa. TESS memiliki misi untuk memantau ratusan ribu bintang dan mencari adanya tanda-tanda exo planet, mulai dari planet seukuran bumi atau yang lebih besar. TESS juga bertugas mencari planet yang mengorbit bintang paling terang di angkasa. Serta mengamati bentuk bumi dari perspektif luar angkasa yang lebih jelas.
Diwartakan Space.com, Senin (9/4/2018), TESS akan melakukan perburuan exo planet dengan menggunakan metode transit dan mencatat penurunan cahaya yang dihasilkan sebuah planet ketika melintasi bintang induknya dari perspektif pesawat ruang angkasa. Strategi ini sebenarnya sudah digunakan dalam misi teleskop Kepler milik NASA yang telah menemukan sekitar dua pertiga dari 3.700 exo planet yang diketahui. Bedanya teleskop TESS akan menemukan exo planet yang dekat dengan bumi dan sebaliknya teleskop Kepler digunakan untuk menemukan exo planet yang jauh dari bumi. Dengan jarak yang lebih dekat, maka hasil penelitian akan dilakukan lebih efektif dan efisien. Tugas ini nantinya akan dikerjakan oleh satelit raksasa James Webb milik NASA yang peluncurannya dijadwalkan pada tahun 2020.
Setelah diluncurkan, TESS akan mempunyai sudut pandang yang unik yaitu orbit sangat elips yang tidak pernah ada di pesawat luar angkasa lainnya serta teleskop ini akan mendekat ke bulan untuk menerima bantuan gravitasi. TESS akan mengorbit bumi setiap 13,7 hari dengan titik terdekat sekitar tiga kali jarak orbit geosynchronous, tempat sebagian besar satelit komunikasi beroperasi.
TESS akan menghabiskan dua tahun berada di orbit ini. Titik terjauh atau apogee sekitar 373.000 km dari bumi sedangkan titik terdekatnya yaitu perigee sekitar 108.000 km diukur dari bumi. TESS pada tahun pertama akan digunakan untuk mengamati bumi bagian selatan dan terus-menerus berpindah posisi setiap 27 hari ke tempat lain hingga belahan bumi utara pada tahun keduanya. Misi TESS dipimpin oleh George Ricker, astrofisikawan di MIT sedangkan misi ini dikelola oleh Pusat Penerbangan Luar Angkasa Gooddarn NASA di Greenbelt, Maryland.
Gambar 1. Cara kerja teleskop TESS (Transiting Exoplanet Survey Satellite) di luar angkasa.
Sesuai dengan tujuan utama untuk membantah teori flat earth dengan menggunakan peralatan ini maka langkah yang dilakukan adalah pengamatan menggunakan teknologi teleskop TESS untuk mengamati bentuk bumi dari fenomena gerhana bulan. Fenomena ini diambil ketika matahari, bumi, dan bulan membentuk konfigurasi matahari-bumi-bulan sehigga bayangan bumi akan terbentuk di bulan karena bulan akan tertutupi oleh bumi dari sinar matahari sehingga sinar matahari akan menyinari bumi saja dan akan terbentuk bayangan. Hal ini terjadi seperti permainan membentuk bayangan di ruang gelap menggunakan lilin yaitu dengan lilin sebagai matahari, objek pembentuk bayangan adalah bumi, dan tembok yang berfungsi layaknya bulan.
Berdasarkan laporan hasil pengamatan yang dilakukan di Observatorium Bosscha pada 31 Januari 2018 mengemukakan bahwa bentuk bumi itu bulat melalui pengamatan GBT atau gerhana bulan total yang meliputi tiga fenomena yaitu blood moon, blue moon, dan supermoon. Dari pengamatan tiga fenomena ini maka diketahui bahwa bentuk bumi itu geoid atau bersifat bulat pepat yang dibuktikan dengan bayangan bumi di bulan pada jarak 356.400 km dari bumi
Gambar 2. Ilustrasi gerhana bulan total. a) Gerhana bulan teradi saat bulan berada di dalam bayangan umbra bumi. b) Tidak setiap purnama akan terjadi gerhana karena kemiringan orbit bulan terhadap ekliptika. c) Gerhana bulan total yang terjadi tanggal 31 Januari 2018 akan mengalami puncaknya pada jam 20.31 WIB.
Seandainya bentuk bumi itu datar seperti piringan dengan kubah di atasnya maka kenampakan bumi yang akan terlihat di bulan pada saat gerhana bulan bukan merupakan lingkaran yang menutupi secara menyeluruh melainkan hanya berupa piringan cakram dan otomatis bulan tidak akan berubah warna secara signifikan karena insolasi (energi yang diterima suatu benda langit dari benda pusat) yang diterima oleh bulan masih cukup banyak. Bahkan jika bumi berbentuk datar dan segaris dengan bulan pada saat gerhana bulan maka bayangan yang muncul harusnya seperti berikut.
Gambar 3. Tampilan bumi yang terlihat di bulan jika bumi berbentuk piringan datar.
Sehingga berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan dapat dibuktikan bahwa berbentuk geoid atau bulat pepat yang dibuktikan melalui pengamatan oleh teleskop TESS bahwa jika bumi berbentuk datar seharusnya gerhana bulan membentuk bayangan bumi sebagai piringan. Pengamatan bentuk bumi yang dilakukan menggunakan teleskop TESS akan memberikan perbesaran yang lebih maksimal sehingga melalui bayangannya saja maka bentuk bumi dapat diketahui secara jelas dan bahkan melalui warna bayangan yang terbentuk di bulan dapat diketahui tingkat pencemaran udara yang ada di bumi.
Referensi
[1] Massachusetts Institute of Technology. 2018. TESS Follow-up Observising Program (TFOP). Diakses dari: https://tess.mit.edu/followup/ pada tanggal 15 Mei 2018
[2] Observatorium Bosscha Fakultas MIPA – Institut Teknologi Bandung. 2018. PRESS RELEASE Gerhana Bulan Total 31 Januari 2018. Diakses dari: http://bosscha.itb.ac.id/id/index.php/2018/01/29/press-release-gerhana-bulan total-31-januari-2018/ pada tanggal 16 Mei 2018
[3] Wall, Mike, Space.com Senior Writer. 2018. NASA’s TESS Satellite Launches to Seek Out New Alien World. Diakses dari: http://www.space.com/40320-spacex-nasa-tess-exoplanet-satellite-launch.html pada tanggal 15 Mei 2016
Warung Sains Teknologi (Warstek) adalah media SAINS POPULER yang dibuat untuk seluruh masyarakat Indonesia baik kalangan akademisi, masyarakat sipil, atau industri.