Thorium merupakan bahan bakar nuklir yang belum populer digunakan. Teknologi reaktor maju seperti molten salt reactor (MSR) diproyeksikan untuk menggunakan thorium sebagai bahan bakar. Sementara, beberapa penelitian telah mengungkapkan potensi thorium untuk digunakan di reaktor maju lain seperti sodium-cooled fast reactor (SFR). Salah satu penelitian (Ismail et al) mengungkapkan bahwa penggunaan thorium dalam SFR dapat memperpanjang usia pakai bahan bakar nuklir dalam reaktor[1].
Baca juga Perkembangan Teknologi Reaktor Maju Bagian 1
Namun, belum ada MSR yang beroperasi. Sementara, SFR yang telah beroperasi di Rusia eksklusif menggunakan uranium.
Dari aspek performa, thorium memiliki potensi menjanjikan. Secara keselamatan, thorium memiliki koefisien reaktivitas suhu lebih negatif daripada uranium. Hal ini disebabkan efek Doppler yang lebih kuat pada thorium daripada uranium[2].
Ketika suhu reaktor naik, thorium menangkap netron (bentuk baku dari neutron) lebih banyak, sehingga reaksi fisi berantai berkurang. Efeknya, suhu reaktor nuklir pun kembali ke suhu semula, menjadikan operasi reaktor stabil[2]. Berkurangnya reaksi fisi ketika suhu reaktor naik inilah yang disebut sebagai reaktivitas suhu negatif. Uranium juga memiliki Doppler broadening effect ini, tetapi tidak sekuat thorium. Dengan demikian, reaktor nuklir yang menggunakan thorium dapat beroperasi lebih stabil.
Thorium memiliki performa lebih baik di spektrum netron termal, yang notabene digunakan oleh nyaris seluruh reaktor nuklir di dunia (kecuali dua unit SFR di Rusia). Uranium-233, hasil transmutasi thorium, memiliki peluang berfisi hingga 94%. Sebagai perbandingan, uranium-235 memiliki peluang berfisi 85% dan plutonium-239 sebesar 73% di spektrum termal[3].
Baca juga Thorium Bahan Bakar Nuklir Masa Depan
Usia pakai reaktor nuklir kontemporer masih lama. Pembangunan PLTN hingga medio 2020-an pun masih didominasi reaktor nuklir tersebut. Pertanyaannya, bagaimana jika thorium digunakan saja sebagai bahan bakar nuklir pada reaktor nuklir kontemporer? Akankah performanya jadi lebih baik?
Penggunaan thorium pada reaktor nuklir kontemporer sebenarnya pernah dilakukan pada reaktor eksperimental Shippingport di Amerika Serikat. Bahan bakar nuklir thorium disisipkan pada teras reaktor nuklir bertipe pressurised water reactor (PWR) tersebut. Hasilnya, pada akhir siklus pakai, PWR Shippingport menghasilkan bahan bakar fisil 1% lebih banyak daripada kondisi awal[4]. Namun, konfigurasi reaktor PWR Shippingport agak berbeda dengan reaktor kontemporer.
Baca juga Berkenalan Dengan Teknologi Reaktor Nuklir Kontemporer
Dalam taraf penelitian, beberapa riset telah dilakukan terkait pemanfaatan thorium di reaktor nuklir kontemporer, khususnya untuk light water reactor (LWR) dan Canadian Deuterium Uranium (CANDU). Sumer Sahin et al telah melakukan penelitian terhadap parameter fisika reaktor CANDU menggunakan thorium dan plutonium[5]. Hasilnya, dengan fraksi massa plutonium 3% dan thorium 97%, bahan bakar CANDU bisa digunakan selama 20 tahun dengan derajat bakar 10 kali lebih tinggi dari tipikal PWR.
Usia pakai bahan bakar yang sangat lama mengurangi kebutuhan uranium alam sebagai feedstock bahan bakar nuklir. Kebutuhan uranium alam menjadi hanya 9 g/MWd alih-alih 142 g/MWd sebagaimana CANDU dengan bahan bakar standar.
Plutonium yang disimulasikan dalam penelitian Sumer Sahin merupakan grade senjata, yaitu plutonium yang digunakan di senjata nuklir. Kombinasi bahan bakar Pu/Th di reaktor CANDU dapat membantu mengeliminasi bahan bakar nuklir untuk keperluan persenjataan.
Penelitian lain yang dilakukan A. Nuttin et al menguji performa thorium di CANDU dan PWR[6]. Hasilnya, di reaktor CANDU, penggunaan thorium dapat menaikkan derajat bakar hingga dua kali level standar. Sedikit modifikasi pada susunan bahan bakarnya meningkatkan derajat bakar lebih lanjut hingga 70%. Selain itu, thorium meningkatkan rasio konversi CANDU hingga 0,98 (normalnya 0,8). Tingginya rasio konversi meniscayakan kebutuhan bakar bakar baru berkurang.
Di PWR, thorium tidak menghasilkan penghematan terlalu banyak. Namun, jika dilakukan modifikasi pada rasio moderator terhadap bahan bakar, barulah PWR mampu meningkatkan rasio konversi menjadi 0,8 (normalnya 0,6). Rasio moderator terhadap bahan bakar diperkecil, sehingga moderasi berkurang dan spektrum netron bergeser ke epitermal, yang lebih optimal untuk tangkapan netron oleh thorium.
Di dalam negeri, Dr. Topan Setiadipura dan Prof. Zaki Su’ud membuat konsep PWR mini 20 MWt dengan waktu operasi lama menggunakan thorium[7]. Bahan bakar nuklir yang digunakan merupakan campuran uranium-233 dan thorium, dengan elemen kendali protaktinium-231. Hasil simulasi fisika reaktornya menunjukkan bahwa PWR mini tersebut dapat beroperasi selama 10 tahun tanpa perlu mengganti bahan bakar. Siklus bahan bakar thorium yang digunakan menjamin reaktor dapat beroperasi dalam waktu lama dengan reaktivitas berlebih relatif kecil.
Tiga penelitian di atas setidaknya menunjukkan bahwa pemanfaatan thorium dalam reaktor nuklir kontemporer dapat berimbas pada performa yang lebih baik. Usia pakai bahan bakar nuklir jadi lebih panjang, sehingga kebutuhan uranium dapat dipangkas. Tingkat keselamatan pun lebih baik dengan reaktivitas suhu lebih negatif daripada menggunakan uranium saja. Thorium lebih optimal digunakan di reaktor CANDU, karena nilai ekonomi netronnya lebih baik daripada LWR.
Jika thorium dikombinasikan dengan plutonium, maka kombinasi tersebut dapat membantu mengeliminasi elemen aktinida minor/transuranik yang bagi sebagian kalangan dianggap mengganggu pengelolaan limbah nuklir. Mengingat, thorium menghasilkan sedikit sekali elemen transuranik, sehingga tingkat produksi elemen transuranik menjadi negatif[8].
Konsekuensi dari pemanfaatan thorium dalam reaktor nuklir kontemporer adalah kebutuhan pengayaan uranium lebih tinggi. Rerata fasilitas pengayaan uranium di dunia hanya bisa melakukan pengayaan hingga 5%, sementara jika menggunakan thorium, bisa lebih dari 5% bahkan hingga 20%. Namun, kendala ini tidak terbatas pada thorium saja, tetapi juga pada reaktor maju.
Jika kendala infrastruktur ini dapat diatasi, maka tidak ada salahnya thorium digunakan di reaktor nuklir kontemporer. Bahkan dengan konfigurasi dan siklus bahan bakar yang tepat, bisa saja reaktor nuklir kontemporer ini mencapai level pembiakan sebagaimana reaktor maju.
Referensi
- Ismail et al. 2008. Performance of natural uranium-and-thorium -fueled fast breeder reactors (FBRs) for 233U fissile production. Progress in Nuclear Energy 50: 290-294.
- John R. Lamarsh. 1978. Introduction to Nuclear Reactor Theory, 2nd Edition. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company.
- Nuclear Fission. https://www.nuclear-power.net/nuclear-power/fission/ diakses pada 23 Februari 2018.
- Robert Hargraves. 2012. Thorium Energy Cheaper Than Coal. Hanover: CreateSpace Independent Publishing Platform.
- Sumer Sahin et al. 2006. Increased fuel burn up in a CANDU thorium reactor using weapon grade plutonium. Nuclear Engineering and Design 236: 1778-1788.
- Nuttin et al. 2012. Comparative analysis of high conversion achievable in thorium-fueled slightly modified CANDU and PWR reactors. Annals of Nuclear Energy 40: 171-189.
- Topan Setiadipura, Zaki Su’ud. 2007. Neutronic and Natural Circulation Aspect of Thorium Battery (ThoBatt), a Long Life Small PWR with (Th,U)O2 Fuel. International Conference on Advances in Nuclear Science and Engineering in Conjunction with LKSTN 2007 (155-160).
- R. Andika Putra Dwijayanto. Thorium, Bahan Bakar Nuklir Masa Depan. (https://warstek.com/2018/02/15/thorium/) Diakses pada 23 Februari 2018.